Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ZÜRICH, Swiss, 1985. Saat musim semi menyelimuti Zürich, Yayasan James Joyce berdiri di Augustinergasse 9. Pendirian yayasan yang diprakarsai Renée Wolf—saat itu Sekretaris Union Bank of Switzerland (UBS)—ini bertujuan mengenalkan karya-karya Joyce kepada publik sastra, khususnya di Zürich, kota tempat penulis legendaris asal Irlandia tersebut melewati hari-hari terakhirnya, termasuk menulis novel Ulysses.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Riwayat Yayasan James Joyce di Zürich itu bermula pada 1970-an, saat Jury’s Hotel di Dame Street, kota tua Dublin, Irlandia, harus membuat jalan sehingga ornamen interior dari Jury’s Antique Bar dilelang. Di masa mudanya, Joyce telah mengenal bar ini, bahkan menyebutnya dalam Ulysses: “Barmaid in Jury`s.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perayaan Bloomsday di Zurich, yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Irlandia di Swiss dan Yayasan James Joyce, pada 2020. dfa.ie
Beberapa penggemar karya Joyce di Zürich membeli interior bar itu. Mereka kemudian membawanya ke Zürich untuk dipakai di James Joyce Pub di Pelikanstrasse pada 1978. Tahun berikutnya, tempat ini menjadi lokasi pertemuan resmi peserta Simposium Internasional James Joyce Ke-7.
Beberapa tahun kemudian, muncul ide dari sejumlah kalangan di Zürich untuk mendirikan Yayasan James Joyce. Atas prakarsa Renée Wolf, yang juga mendapat dukungan dari mantan Ketua UBS, Robert Holzach, yayasan ini secara resmi berdiri pada 1985. Fritz Senn, pengagum karya-karya James Joyce, menghibahkan koleksi buku karangan Joyce yang lumayan lengkap untuk mengisi perpustakaan yayasan itu.
Senn, 93 tahun, kini menjadi direktur yayasan tersebut. Senn juga seorang Joycean—sebutan untuk ahli karya James Joyce—kenamaan di semua negara berbahasa Jerman. Ia menerima penghargaan doctor honoris causa dari tiga universitas: Köln, Zürich, dan Dublin. Sebagai Joycean ternama, ia juga kerap diundang ke berbagai simposium karya Joyce.
Dalam buku Joycean Murmoirs, Fritz Senn on James Joyce disebutkan, awalnya Senn belajar di London dan menjadi pengagum karya Joyce. Setelah kembali ke Swiss, ia bekerja sebagai proofreader di sebuah penerbit. Sejak 1972, Senn, yang lahir pada 1 Januari 1928, menekuni teks-teks Joyce. Boleh dibilang hampir separuh hidupnya ia curahkan untuk mengabdi pada karya Joyce.
•••
SAYA beruntung tinggal di Kota Zug, dekat Zürich, tempat Yayasan James Joyce di Augustinergasse 9. Pada 28 Maret 2006, saya kesasar ke yayasan ini dan bertemu dengan Fritz Senn. Pada hari itu kebetulan sedang ada kegiatan reading group Ulysses dan saya disarankan mengikutinya. Ia memberi pesan, “Hati-hati membaca Ulysses, bisa kecanduan, tapi kecanduan intelektual.”
Tak lama, pembaca karya Joyce hadir satu per satu. Saya amati, hampir semua yang hadir adalah kakek dan nenek. Ada yang membaca dengan kaca pembesar. Saya hitung, ada 23 orang yang hadir. Rupanya, Senn mengawali kegiatan itu dengan memutar rekaman cerita Ulysses dari cakram padat dan kami semua diminta mendengarkan sambil mencocokkan kalimat per kalimat. Di beberapa paragraf, ia berhenti. Ia membaca ulang kata per kata dan sesekali berhenti membuka buku yang ukurannya lebih besar dari novel Ulysses, yang ternyata buku pendamping berjudul Ulysses Annotated karya Don Gifford dan Robert J. Seidman. Saya baru sadar, ternyata membaca novel sulit itu memerlukan buku pendamping.
Saat tiba pada ungkapan “black closed breeches”, Senn bertanya, “Apakah hadirin ingin tahu jenis celana pendek khas Irlandia itu?” Semuanya antusias ingin tahu. Ia membalikkan tubuh, meraih amplop besar dari karton, lalu mengeluarkan isinya: dua celana pendek berwarna krem yang bahannya dari semacam karung terigu, seperti celana kolor tapi bertali panjang. Banyak hadirin yang tertawa melihat celana unik itu.
Sampai di sini, saya merasakan manfaat membaca bersama dalam kelompok. Ternyata membaca bersama itu indah, apalagi ada yang memandu. Hadirin dibuat tidak bosan karena kata tertentu benar-benar dihadirkan secara visual.
Tak terasa, satu setengah jam pembacaan Ulysses itu hanya sampai tiga halaman. Acara pada Selasa itu berbuntut ke Selasa-Selasa lain sehingga saya baru pertama kali khatam membaca Ulysses pada 3 Maret 2009. Novel setebal 700 halaman itu kami khatamkan selama tiga tahun. Joyce sendiri menulisnya sampai delapan tahun.
Banyak pembaca novel Ulysses berhenti di tengah jalan. Problem utama mereka mungkin tingkat kerumitan cerita yang dibalut berbagai kisah kehidupan sehari-hari di Dublin dengan bahasa yang akrobatik. James Joyce, yang biasa dipanggil Jim, sengaja menyelundupkan berbagai bahasa asing, seperti Latin, Yunani, Italia, Prancis, dan Jerman, bahkan sejumlah dialek bahasa dunia. Maklum, ia guru bahasa Inggris di Berlitz School, Trieste, Italia.
Stuart Gilbert menulis buku berjudul Das Rätsel Ulysses (Teka-teki Ulysses) yang menceritakan alur cerita novel ini secara detail disertai waktu peristiwanya. Bahkan pada halaman sampul belakang disertakan bagan Ulysses. Cerita dimulai dari Martello Tower pada pukul 08.00 dan berakhir di rumah pada pukul 02.00. Ulysses adalah novel biografi percintaan Joyce dengan pacarnya, seorang room girl di Finn’s Hotel di Dublin bernama Nora Barnacle, yang pertama kali berkencan pada 16 Juni 1904 di Nassau Street. Joyce adalah tokoh Leopold Bloom dan Barnacle adalah Molly Bloom. Dari situ, muncul perayaan bernama Bloomsday yang diperingati setiap 16 Juni.
Fritz Senn, Joycean dan Ketua Yayasan James Joyce di Zürich. Dok.Sigit Susanto
Bloomsday dirayakan pertama kali pada 16 Juni 1954 di Dublin. Sekelompok pengarang berkumpul dan mengadakan perjalanan ke Martello Tower. Sejak peristiwa itu, Bloomsday dirayakan di berbagai belahan dunia. Pada 2007, di Zürich, saya ikut dalam rombongan dari Yayasan James Joyce yang mengadakan program mengunjungi tujuh bekas rumah Joyce di kota itu. Perjalanan berakhir di makamnya di Flüntern. Pada Rabu, 16 Juni lalu, Yayasan James Joyce menggelar acara bedah buku berjudul James Joyce in Zürich: A Guide karya Andreas Fischer.
Menurut Fritz Senn, banyak adjektiva aneh yang dipakai Joyce, seperti stately dan plump. Joyce juga memasukkan bahasa Latin Introibo ad altare dei, yang artinya “saya akan memasuki alam Tuhan”, dalam tulisan pembuka karyanya. Frasa ini sering dipakai pendeta dalam khotbah di gereja di Irlandia.
Ketika hendak pulang ke Dublin dari Paris, Joyce mampir ke kios dan membeli buku kecil berjudul Les lauriers sont coupés karangan Édouard Dujardin, buku yang tak laku pada 1920-an di Paris. Tapi buku berirama monolog interior itu ia pakai untuk menutup Ulysses. Joyce nekat menuliskan igauan erotis Molly Bloom saat sedang rebahan di ranjang dalam 40 halaman tanpa koma, hanya ada dua titik. Bab 18 sebagai penutup dibuka dengan yes dan diakhiri dengan yes pula.
Ketika saya menanyakan teknik menulis tanpa koma ini kepada Fritz, ia menjawab bahwa tak mungkin igauan itu dihentikan. Narasi yang dipakai Joyce memakai teknik stream of consciousness. Carl Gustav Jung mengagumi khusus bab akhir ini. Ia menganggap untaian kalimatnya bagaikan mutiara.
Saat pecah Perang Dunia I, Joyce tetap menulis Ulysses di tiga tempat: Trieste, Zürich dan Paris. Saat teman-temannya mencemooh, ia membalas dengan ungkapan yang menjadi aforisme, “I wrote Ulysses and what did you do?”
Ulysses mengkritik kelompok garis keras Katolik di Irlandia dan mengecam Inggris Raya yang mencaplok Irlandia, juga para politikus Irlandia yang berkolaborasi dengan penjajahnya. Mungkin Joyce hanya berani dua kali kembali ke negerinya, hingga ia meninggal di Zürich, karena banyak tokoh politikus Irlandia ditulis dengan nama asli dalam Ulysses.
Kekritisan Joyce terhadap Katolik diwujudkan dalam dua hal. Pertama, ia tak mau kawin secara gerejawi. Kedua, ia tak mengizinkan kedua anaknya dibaptis. Saat Joyce suka mabuk di Trieste, Barnacle sering mengancam, kalau ia terus-terusan mabuk, anak-anak mereka akan dibaptis. Joyce pun lekas berhenti minum. Ketika Joyce meninggal pada 1941 dan ada pendeta yang akan memimpin doa, Barnacle lekas bereaksi: “I couldn`t do that to him.”
Joyce pernah berucap kepada penerjemahnya dalam bahasa Prancis, “Saya begitu banyak menyusupkan kerumitan dan teka-teki dalam Ulysses supaya para profesor sibuk berargumen selama ratusan tahun tentang apa yang saya maksudkan. Dengan begitu, yakin bahwa saya tak akan pernah mati.”
Dalam catatan saya, sejak 2006 sampai sekarang, Juni 2021, saya telah lima kali mengkhatamkan Ulysses dan enam kali mengulangi pembacaannya. Saya memerlukan waktu dua setengah sampai tiga tahun untuk sekali khatam.
Reading Group Ulysses di Yayasan James Joyce di Zürich. Sigit Susanto
Sewaktu belum terjadi pandemi Covid-19, saya pernah mencoba sekali mengikuti acara grup baca Finnegans Wake yang juga dipandu oleh Fritz Senn. Rasa penasaran saya dipicu esai Susan Sontag yang menyebut novel Joyce ini sebagai salah satu novel dunia yang sulit diterjemahkan ke bahasa lain. Selama satu setengah jam, saya hanya mampu membaca 38 baris dari total 628 halaman. Menurut Senn, untuk mengkhatamkan novel mahasulit ini, diperlukan waktu 12 tahun.
Keunikan Finnegans Wake adalah Joyce benar-benar memelesetkan nama penyair dalam novel itu. Misalnya Daunty untuk Dante, Gouty untuk Goethe, dan Shopkeeper untuk Shakespeare (halaman 539). Tak hanya itu, ia juga menciptakan beberapa kata baru yang berasal dari dua atau tiga bahasa. Contohnya passencore (bahasa Prancis pas encore, passenger, core); rearrived (dari kata rear); wielderfight (wieder [fechten] fight, wield); dan penisolate war (Peninsular War, pen, isola, penis).
Pembuka novel ini adalah kata riverrun. Menurut Senn, asalnya dari run of a river. Novel ditutup dengan kata the tanpa titik. Ketika keanehan ini saya tanyakan, Senn menjawab bahwa Joyce ingin novel itu dibaca terus-menerus seperti lingkaran sehingga tak diberi titik.
•••
SEBUAH edisi jurnal Jahresbericht terbitan Yayasan James Joyce memuat foto suatu gubuk di kampung halaman saya, Desa Bebengan, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Salah satu pilar pada gubuk itu berbentuk tumpukan buku, di antaranya Ulysses. Anak-anak kampung suka membaca di gubuk itu. Tak jauh dari gubuk itu, berdiri patung Joyce di bawah bambu petung. Anak-anak kampung suka berfoto dengan patung tersebut.
Di pinggir jalan menuju gubuk dan patung Joyce itu saya dirikan plang “Jalan Ulysses”. Dulu di dekat rumah Joyce di Zürich ada halte trem bernama Halte Ulysses, tapi namanya kemudian diganti.
Tak sampai di situ, saya mengenalkan format reading group untuk kegiatan di beberapa jaringan perpustakaan di daerah di Tanah Air. Buku terjemahan bahasa Indonesia karya Joyce juga saya sumbangkan ke Yayasan James Joyce. Di antaranya Dubliners dan A Portrait of the Artist as a Young Man yang diterjemahkan Wawan Eko Yulianto, cerita pendek Ibunda (Anton Kurnia), serta kumpulan puisi Bilik Musik (Gita Kharisma).
Sayangnya, kita belum memiliki novel Ulysses terjemahan bahasa Indonesia. Kapan kita akan punya Ulysses, karya legendaris James Joyce, dalam bahasa Indonesia? Ini tantangan kita bersama untuk mewujudkannya.
SIGIT SUSANTO (ZÜRICH)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo