Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pukul 02.38 waktu Amerika timur, saat Trump meraih 268 dari 270 suara perwakilan pemilih yang diperlukannya untuk menguasai Gedung Putih, Hillary Clinton menelepon. Mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat ini mengakui kekalahannya. Sepuluh menit kemudian Trump muncul untuk merayakan kemenangannya. Yang mengejutkan, Trump muncul sebagai orang yang berbeda. Gaya arogan, agresif, dan garang, yang selama kampanye melekat erat pada dirinya, tidak tampak lagi.
Dengan simpatik, Trump memuji Clinton yang telah menjalankan perannya dengan baik sebagai menteri luar negeri dalam 10 tahun terakhir. "Hillary telah bekerja sangat keras selama masa yang panjang dan kita berutang budi atas pengabdiannya untuk bangsa ini. Kini tiba waktunya Amerika membalut luka akibat perpecahan."
Trump juga menyerukan kepada rakyat Amerika untuk bersatu kembali. Trump sadar kini ia adalah presiden bagi seluruh rakyat Amerika, bukan hanya bagi rakyat yang memilihnya.
Terpilihnya Trump dalam pemilihan Presiden Amerika bagaimanapun telah mengirimkan isyarat ketidakpastian di antara penduduk, juga sekutu Amerika. Pada 20 Januari 2017, Trump akan mulai memimpin Amerika yang masih terbelah. Para pendukungnya berdiri rapat di belakangnya, sedangkan orang-orang yang kecewa terhadap hasil pemilihan terus melancarkan demonstrasi.
Sementara itu, dunia internasional mengamati setiap langkahnya. Pertanyaan utamanya adalah apakah Trump, kalau nanti memegang kendali pemerintahan Amerika, akan melaksanakan kebijakan luar negeri seperti yang disampaikan dalam kampanye.
Pidato-pidato kampanye Trump mengirim pesan bahwa Amerika akan cenderung "menarik diri", mengutamakan urusan rumah tangganya, ketimbang dunia luar. Dari sikap isolasionis ini, imajinasi taipan properti itu pun melambung. Ia berjanji membangun tembok besar di perbatasan Meksiko-Amerika guna mencegah imigran asal Meksiko masuk secara ilegal. Dan pembangunan tembok besar itu harus dibiayai Meksiko. Tentu, bagi Meksiko, kalau gagasan Trump itu dilaksanakan, untuk pertama kali harus berkonfrontasi dengan negara tetangga sebelah utara tersebut.
Trump juga mendorong pembentukan "aliansi abad ke-21 yang baru". Belum pasti benar aliansi seperti apa yang ada dalam benak Trump. Yang jelas, selama kampanye, Trump selalu memuji-muji pemimpin Rusia Vladimir Putin.
Gagasannya di bidang ekonomi pun membuat banyak pemimpin dunia waswas. Trump, misalnya, mengusulkan penghapusan perjanjian perdagangan yang disebut Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), yang diteken Presiden Barack Obama. Ia juga mengusulkan agar dilakukan reorganisasi terhadap Perjanjian Kawasan Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA).
Pernyataan kontroversial Trump lainnya adalah larangan muslim, juga pengungsi Suriah, masuk ke Amerika. Inilah untuk pertama kali sepanjang sejarah Amerika, seorang presiden membalik internasionalisme yang selama ini dijalankan pemimpin Amerika. Perhatian dunia menunggu-nunggu apakah Trump akan melaksanakan gagasan-gagasannya atau ia mengabaikannya. Jika ya, dampak kebijakan luar negeri itu sangatlah besar.
Bagi banyak negara, misalnya negara-negara Eropa dan Asia, kebijakan luar negeri seperti itu akan memaksa mereka menulis dan menyusun ulang aturan main dalam membangun aliansi dan kerja sama perdagangan baru. Tidak mudah. Pendek kata, Trump telah melemparkan ketidakpastian dan kekhawatiran baru bagi dunia meskipun, barangkali, memuaskan rakyat Amerika yang selama ini merasa kurang diperhatikan pemimpinnya karena lebih memperhatikan dunia luar dengan menjadi "polisi dunia".
Idrus F. Shahab (BBC, CNN, The Washington Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo