Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJELANG tengah hari seusai kuliah, Maria Felix tak beranjak dari tempat duduknya di ruang laboratorium komputer lantai dua gedung Engineering Center kampus Arizona State University. Ia dan dua mahasiswa lainnya berbicara tentang hasil pemilihan umum presiden sehari sebelumnya yang dimenangi Donald John Trump.
Wajah Maria, perempuan 19 tahun berkebangsaan Meksiko, kuyu. Nona yang sejak berusia 7 tahun dibawa ibunya, Blanca Felix, bermigrasi ke Amerika Serikat ini menahan air mata ketika berbicara dengan Tempo, Rabu pekan lalu. "Semalam, ketika angka sudah mengarah ke kemenangan Trump, saya tak melanjutkan menonton televisi. Terlalu menyakitkan," kata Maria.
Sepekan sebelum pemilihan, ketika Tempo mengunjungi dia pertama kali di rumahnya di Phoenix, Arizona, Maria sangat bersemangat menghadapi pemilu presiden. Meskipun tak ikut memilih karena masih berstatus pemegang kartu hijau, ia mendukung kandidat Demokrat, Hillary Rodham Clinton, sepenuh hati.
"Ini benar-benar saat yang kelam bagi Amerika Serikat, terutama bagi kami, kaum imigran. Dalam setiap kampanye, Trump menginspirasi pendukungnya untuk memandang kami sebagai ancaman. Sulit menggambarkan bagaimana resahnya saya memikirkan masa depan kami, kaum minoritas, dengan Trump sebagai pemimpin. Sedih, takut, juga agak putus asa," ujar Maria.
Menjadi seorang imigran, tutur Maria, berarti hidup terus-menerus dalam kekhawatiran. Ilegal atau legal, selalu ada ketakutan apakah mereka akan dipulangkan ke Meksiko. "Apakah hari ini kami akan dipisahkan dari orang-orang yang kami cintai?" Kali ini Maria tak lagi menahan tangis. Dua tetes air jatuh dari sudut-sudut matanya.
"Mungkin ketakutan kami yang terbesar bukan Donald Trump. Ia hanya satu orang. Yang kami takutkan adalah pendukung Donald Trump yang dengan terpilihnya Trump punya legitimasi untuk menindas kaum imigran. Terus terang saya sungguh takut," katanya.
Setidaknya Maria dan komunitas Hispaniknya tak perlu khawatir dicurigai sebagai teroris seperti yang terjadi pada kaum muslim. Bagi imigran muslim, persoalan menjadi lebih berat. Selain harus mengusung beban imigran, mereka waswas terhadap atribut yang mereka sandang sebagai pemeluk Islam.
"Anak saya, Kayla, baru mulai berhijab tahun ini. Saya sebenarnya agak waswas. Tapi, alhamdulillah, di sekolah ia justru merasa aman. Ada beberapa murid lain juga yang berhijab," ujar Ditta Yamanita, ibu Kayla, 14 tahun dan Rayhan, 12 tahun.
Terpilihnya Trump membuat perempuan asal Indonesia ini sedikit khawatir. Sebagai aktivis masjid yang rutin terlibat pengajian, kekhawatiran Ditta beralasan. Trump pernah melontarkan gagasan untuk melarang kaum muslim memasuki Amerika. "Saya imigran legal di sini. Kalau memang saya terpaksa harus pulang, ya, pulang saja. Tapi saya senang sekali pada sekolah tempat anak saya."
Beberapa jam sebelum Ditta berbincang dengan Tempo, Kayla melapor kepada ibunya bahwa sang guru memanggil dia dan meyakinkannya. "Jangan khawatir dengan terpilihnya Donald Trump. Kalau ada yang coba-coba menyakiti kamu, saya akan melindungi kamu," tutur Ditta dengan terharu.
Hani White, Wakil Direktur Kantor Urusan Imigran Kota Philadelphia, Pennsylvania, menyebutkan partisipasi 12 ribu warga Indonesia-Amerika di Philadelphia dalam pemilihan presiden lalu tak cukup besar. Hanya beberapa ratus yang memiliki hak suara, "Dan dari jumlah tersebut tidak semuanya menggunakan hak memilih."
Perempuan kelahiran Jakarta ini mengatakan kepada Tempo bahwa dalam pemilihan lalu ia memilih partai yang pro-imigran, Demokrat. "Karena saya berkecimpung di bidang keimigranan sehari-hari, hati saya selalu membela kepentingan para imigran. Bukan hanya yang mempunyai surat, tapi juga yang tidak mempunyai surat."
Selain imigran, kampanye pilpres membuat perempuan dari berbagai umur dan latar belakang ras khawatir terhadap meningkatnya kejahatan seksual. Trump, yang akan diperiksa atas sejumlah kasus pelecehan seksual pada Desember mendatang, berhasil memenangi pemilihan. Ini menandakan warga Amerika tidak enggan memilih terduga penjahat seksual sebagai pemimpin.
Wartawan rubrik Hukum New York Daily News, Shaun King, dalam akun Twitter miliknya mengunggah kisah seorang warga tentang ancaman pelecehan terhadap perempuan di dalam kereta bawah tanah sehari setelah Trump menang. "Tiga pria kulit putih mendekati seorang perempuan yang mengenakan gaun. Mereka berteriak, 'Sentuh kemaluannya', seperti yang diucapkan Trump dalam rekaman," demikian tulis warga dengan akun Antwan Legacy Carter di Facebook yang diunggah King.
Salah seorang pria benar-benar berusaha menyentuh sang perempuan hingga ia berteriak ketakutan. "Saat ketiganya tertawa, saya dan sejumlah penumpang mendorong mereka keluar dari kereta."
Warga kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) pun merasakan kekhawatiran seperti warga minoritas lain. Michael Pence, Gubernur Indiana yang kini terpilih sebagai wakil presiden Trump, pernah mengeluarkan kebijakan memperbolehkan pengusaha menolak calon pegawai dengan orientasi seksual sejenis. Trump juga terang-terangan menolak pernikahan sejenis.
Kemenangan pasangan homofobik itu membuat Marc Borzelleca, pria gay asal Kota Staunton, Virginia, mempertimbangkan kemungkinan pindah ke Eropa atau Kanada. "Saya tahu prosesnya sulit. Makanya saya dan suami juga mempertimbangkan pindah ke California. Masih di Amerika tapi mereka (warga California) lebih terbuka," ucapnya kepada News Leader.
Laura van Assendelft, pakar politik dari Mary Baldwin University, mengingatkan kelompok minoritas bahwa presiden bukanlah satu-satunya kekuatan di Negeri Abang Sam. Memang diakui Assendelft bahwa presiden memiliki kekuasaan mengeluarkan keputusan eksekutif. "Tapi kekuasaan politik lebih luas, dibagi antara presiden, Kongres, Senat, Mahkamah Agung, dan rakyat Amerika."
Sayangnya, kali ini Amerika benar-benar memerah. Kongres dan Senat secara bersamaan saat ini dikuasai Republik, pendukung Trump. Assendelft berkukuh belum saatnya patah semangat. "Anda dapat berkomunikasi dengan Kongres, membentuk kelompok dan berunjuk rasa, bergabung dengan sejumlah kelompok lain untuk berjuang bersama. Temukan suara Anda karena demokrasi membutuhkan kerja keras dan tanggung jawab," ia menegaskan.
Seperti mendengar saran Assendelft, ribuan warga Amerika Serikat membanjiri jalan-jalan di sedikitnya sepuluh kota besar Amerika pada Rabu malam pekan lalu. Pria, perempuan, dari berbagai ras dan agama di Chicago; Seattle; Washington, DC; dan San Francisco memprotes kemenangan Trump. Polisi antihuru-hara bersiap menjaga aksi damai demonstran yang berteriak "Bukan Presiden Saya" dan "Tolak Amerika Rasis". Di Los Angeles, demonstran menutup jalan yang sedang padat sehingga terjadi kemacetan total.
"Kami turun ke jalan karena murka," kata Omar Aqeel, pria 27 tahun yang tinggal di Brooklyn, New York, kepada USA Today. Meski sadar unjuk rasa tidak mampu menghentikan Trump dari Gedung Putih, para demonstran berharap aksi mereka akan berdampak di masa depan. "Saya harap ini akan membangunkan rakyat Amerika yang masih tertidur," ujar Aqeel.
Uly Siregar (Arizona), Indah Nuritasari (Philadelphia), Sita Planasari Aquadini (News Leader, USA Today)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo