Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jatuhnya sarang harimau

Sarang gerakan gerilyawan macan tamil dikuasai pasukan india. wawancara tempo dengan para macan tamil yang terusir dari sarangnya, riwayat pendiri gerakan tersebut, serbuan tentara india ke jaffna.

21 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI mana-mana puing dan bangunan hangus menjadi saksi biksu sebuah perang yang sebenarnya cuma singkat. Dua minggu lebih sehari, dan Jaffna pun jatuh. Di akhir Oktober itu asap masih mengepul dari banyak wilayah bekas pertempuran. Suasana mencekam, sekali-sekali saja terdengar tembakan. Anjing-anjing dan domba-domba berkeliaran tak tentu arah di rumah tak bertuan. Jaffna tanpa manusia. Mereka semua mengungsi di gereja atau di kuil. Di hari pertempuran akhir antara tentara India dan gerilyawan separatis Tamil LTTE (Liberation Tigers of Tamil Eelam) itulah baru wartawan diizinkan masuk ke Jaffna, sebuah kota di Jazirah Jaffna, bagian paling utara Sri Lanka. Kami masuk kota yang jatuh itu dengan helikopter. Konon, jalan-jalan masih penuh ranjau yang dipasang oleh gerilyawan Macan, ya LTTE itu. Tiga hari kami berada di Jazirah Jaffna, sekitar 10 km dari kotanya. Ledakan-ledakan berat terdengar, kendaraan-kendaraan meraung-raung membawa mereka yang terluka, bis-bis mengangkuti pengungsi. Tiap setengah jam kami harus bersembunyi di belakang pohon atau di dalam rumah bila terdengar helikopter mendekat. Tak seorang berani ambil risiko terlihat. Helikopter itu tampaknya menembak apa saja yang kelihatan bergerak. Saya beruntung bisa meliput kedua belah pihak menjelang akhir perang saudara empat tahun ini. Akhir? Mudah-mudahan begitu. Saya masuk Jaffna bersama tentara India. Tapi saya pun sempat mengikuti pengungsi dari Jaffna yang melewati jalan berdebu yang jarang orang tahu. Lalu menyeberangi rawa seluas sekilometer dengan kano. Rembang pagi baru saja merayap naik ketika terdengar ledakan yang mengguncangkan Jaffna. A. Ramalinggam, tukang reparasi sepeda, tak akan pernah melupakan ledakan di pagi itu. Ramalinggam dan warga Tamil lainnya mengharapkan perjanjian damai 29 Juli membawa kedamaian bagi mereka. Nyatanya tidak begitu. Malah terjadi hal-hal yang tak diduga. India, yang semula membantu orang-orang Tamil, kini malah memerangi mereka. Sekitar 15.000 tentara India diterjunkan di Jaffna dan di wilayah utara. Dan 6.000 yang lain disebar di sepanjang pantai timur. Sakit hati karena sikap India yang membalik, warga Tamil yang biasanya membenci jalan kekerasan Macan Tamil, kini mereka justru membantu gerilyawan separatis itu. K. Vasikulam seorang dosen di Universitas Jaffna, mengambil risiko menyembunyikan gerilyawan Macan. "Tak seorang lain pun kini pihak pada kami, maka kami mendukung mereka," katanya. Dan mereka memang tak cuma kehilangan Jaffna, kota simbol perjuangan itu. Mereka juga kehilangan kesempatan berpartisipasi dalam politik yang semula dijamin oleh perjanjian 29 Juli. Bahkan penentuan daerah otonom wilayah utara dan timur pun oleh Presiden Jayewardene ditunda sampai "perdamaian dan keamanan pulih kembali." Tapi bagaimana itu mungkin? Mahattaya, wakil komandan Macan Tamil, sehari setelah Jaffna jatuh menyatakan, "Perang Jaffna selesai sudah. Tapi perang gerilya kami baru mulai." "Jangan menangis untukku, Tamil Eelam," bunyi sebuah poster bergambar Thileepan Yogi, martir yang mati karena berpuasa di kuil Kandasamy bulan lalu. Di daerah kekuasaan Macan Tamil di Chavakacheri, sejumlah poster seukuran orang bergambarkan para prajurit yang bunuh diri menelan kapsul sianida terpajang di persimpangan jalan besar. Beberapa rumah mengibarkan bendera merah bergambarkan kepala harimau disangga dua senapan bersilang. Para Macan berkeliaran dengan sepeda motor atau hanya sepeda, susah dibedakan dengan penduduk sipil, kecuali diamati benar-benar. Biasanya dalam gulungan sarung mereka menonjol kepala granat atau gagang pistol. Tapi tak jarang juga yang terang-terangan menyandang AK-47 RRC atau M-16 di pundaknya. Di sini kehidupan jalan terus, tapi tak berarti itu sebuah kedamaian. Orang-orang berusaha menghindari tempat terbuka bila terdengar helikopter meraung-raung. Rumah sakit Mandikai penuh dengan mereka yang luka dan invalid laki, perempuan, dan anak-anak. Mereka korban perang yang tak membedakan sipil dan gerilyawan. Beberapa hari sebelumnya di Palali, seorang tentara India menembaki mereka dengan membabi buta, "Ini perang. Kami mencari Macan Tamil dan mereka yang melanggar jam malam," katanya. Sebuah bis penuh pengungsi meluncur dengan bendera putih besar. Nyonya Mahendran, yang terluka dada dan kakinya, bercerita bagaimana tentara menembaki rumahnya di Desa Urumpirai "Mereka menendang pintu dan menembaki begitu saja apa saja yang terlihat selama dua menit. Lalu mereka pergi," tutur Mahendran. Ia ingat serdadu itu bukan tentara India tapi Gurkha. Dua orangtuanya langsung meninggal. Sementara itu, tetangga nyonya itu kehilangan suami dan tiga anaknya. "Kami cuma 2,8 juta dan menghadapi sikap diskriminatif bila mencari kerja atau mendaftarkan masuk universitas," kata R. Senthil, wartawan surat kabar berbahasa Tamil Eelanadu di Jaffna. Kantor surat kabar itu jadi sasaran mortir India pertama kali. Senthil, 30 tahun, tak ingin ambil bagian dalam sikap keras gerilyawan separatis. Karena itu, ia meninggalkan Jaffna. Kami semua duduk mengitari sebuah meja di rumah seorang Macan Tamil di Achuveli, yang, sebagaimana kota-kota lain di Jazirah Jaffna, aliran listrik dan air dimatikan oleh tentara India. Tapi orang-orang Jaffna tetap bisa menemukan air bersih. Selalu saja datang pengungsi dari Kota Jaffna yang membawa bahan makanan dan ikan. Mereka menyeberang dengan perahu. Tapi suatu ketika perahu mendarat dengan wajah-wajah ketakutan. Mereka menunjuk ke dasar perahu: darah. Rupanya, helikopter telah menembakinya, empat penduduk sipil mati, enam luka. Sebenarnya, tak jelas kapan perjuangan Tamil lalu identik dengan tindak kekerasan Macan Tamil. Tindak kekerasan militan Tamil pertama kali terjadi pada 1975 ketika sejumlah mahasiswa membunuh Alfred Duriappa, wali kota Jaffna. Di antara para mahasiswa adalah Velupillai Pirabhakaran, pendiri LTTE. Dan, memang, LTTE-lah kemudian yang paling besar dan paling militan. Pernah 14 Macan bunuh diri dengan berpuasa dan menelan kapsul sianida setelah membantai 150 Sinhala di provinsi timur. Disiplin, bila ini boleh disebut begitu, memang keras. Seorang Tamil yang menjadi Macan harus melepaskan hubungan keluarga. Ini ada untungnya. Sebab, bila mereka dituduh berkhianat, bila masih berhubungan dengan keluarga mereka, maka tak cuma dia yang dihukum, tapi juga seluruh keluarganya. "Saya tak tahu lagi di mana keluarga saya," kata seorang Macan 22 tahun di Achuveli yang terluka lengannya. "Saya tak takut mati," kata Kandeepan berusia 15 tahun, remaja yang sedikit lebih besar daripada AK-47 di pundaknya. Ia sedang kebagian tugas jaga. Kadang-kadang ia menjadi operator radio penghubung. Bila ia bersepeda, senjatanya ditinggalkan, hanya membawa dua biji granat di balik bajunya. Kandeepan, sungguh, masih remaja yang inosen. Dan itulah yang menyulitkan tentara India. "Suatu hari mereka berpakaian hitam-hitam dan menodongkan senjata. Di hari berikut mereka berpakaian putih-putih dan berbaur dengan pengungsi. Bagaimana kami bisa melawan mereka tanpa terkadang salah memilih korban?" tutur Mayjen Kalkat, Komandan Operasi Angkatan Darat. Dan ini dituturkan sendiri oleh Anton Balasingham, salah seorang pimpinan Macan Tamil. "Dari 10 prajurit kami, tiga di antaranya wanita." Memang, para Macan bangga dengan wanita-wanita mereka. Biasanya Macan Wanita bertugas sebagai operator, perawat, dan propagandis. Dikenal sebagai Suthanthira Paravaigal, burung-burung kebebasan, Macan Wanita mengalami latihan yang sama dengan prianya. Sehari-hari di Jaffna, sebelum perang 16 hari, mereka dikenali dengan rambut yang dikepang dua, bercelana dan berbaju kaki, bersepatu kanvas. Sebagian besar mereka datang dari keluarga yang mengalami kekerasan. Dan sebagaimana prianya, mereka pun menolak menikah. "Saya tak mungkin menjadi gerilyawati militan bila menikah," kata Darshan, seorang "burung kebebasan" berusia 21 tahun. Selesai memperoleh latihan, biasanya para Macan mendapat nama baru, nama Kristen atau Tamil. Dan nama baru itulah yang diharuskan dipakai selama-lamanya. Itu untuk melindungi keluarga mereka, walaupun mereka tak lagi mengadakan hubungan. Untuk melindungi diri dari pengkhianatan, itu tadi: mereka dibekali kapsul sianida yang dikalungkan di leher, setelah mereka mengucapkan sumpah Macan Hitam. Jaffna memang telah di tangan tentara India. Tapi, tak mudah memerangi mereka yang telah berbekal racun sianida, yang tak punya takut terhadap apa pun. Apalagi, para Macan ini merasa merekalah pelindung satu-satunya penduduk sipil Tamil dari kekejaman orang atau tentara Sinhala. Yuli Ismartono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus