NAMANYA mencuat dan menjadi berita utama koran-koran Sri Lanka ketika ia terlibat pembunuhan Wali Kota Jaffna, Alfred Duriappa. Sejak itu sejarah bukan hanya melambungkan namanya sebagai pemimpin berpengaruh, tetapi juga mencatat awal berdirinya gerakan separatis Tamil militan. Dialah lelaki berkulit hitam legam, dengan tubuh sedikit gendut dan wajah simpatik. Berusia 33 tahun kini, oleh pemerintah Sri Lanka ia disebut "buronan haus darah", dan harga kepalanya 300 ribu rupee atau sekitar Rp 16,5 juta. Dialah pendiri Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE), gerakan separatis Tamil yang sanggup mengobarkan semangat kaum muda untuk "meneteskan darah terakhir bagi Eelam". Di kalangannya sendiri ia akrab dipanggil Tambi, adik. Orang ini dikabarkan lolos ketika Jaffna jatuh ke tangan tentara India, 26 0ktober lalu. Ia dilahirkan di Velvedithurai, sebuah dusun di pinggir pantai Jazirah Jaffna. Ayahnya, dari kasta Karaya, seorang pegawai rendahan sebuah kantor nelayan. Karena berkasta terendah itulah Pirabhakaran dilarang berdoa di kuil Hindu setempat. Bahkan anak ini tak diperkenankan minum air dari sumur penduduk yang kebanyakan berkasta Brahmana. Bukan hanya itu. Perlakuan dari suku Sinhala sebagai mayoritas di Sri Lanka yang sewenang-wenang terhadap orang Tamil merupakan santapan sehari-hari bagi Pirabhakaran balita. Serombongan polisi patroli Sinhala yang menganiaya penduduk Tamil secara brutal adalah pemandangan biasa. Tak heran bila Tambi tumbuh dengan rasa pahit. Di samping itu, desa kelahirannya juga mendidiknya akrab dengan kejahatan: desanya dikenal sebagai daerah obat bius dan kejahatan lain. Maka, dengan modal latar hitam seperti itu, setamat SMA, 1973, ia langsung bergabung dengan Front Pemuda. "Aku ingin seperti Subash Chandra Bose, pemimpin India yang melawan penjajah Inggris. "Aku ingin seperti Napoleon dan Alexander Agung," katanya suatu saat. Maka, ia pun berlatih menggenggam revolver dan melemparkan granat. Sekali-sekali pemuda ini tampak terlibat kerusuhan. Lalu ia menyeberang ke utara, ke Madras, India, untuk mengikuti latihan militer dua tahun . Di penghujung 1975, kembalilah Pirabhakaran ke Jaffna. Ambisinya yang menonjol dan pikiran cemerlangnya mengantar pemuda berambut ikal ini ke lapisan atas kelompok The Tamil New Tigers yang didukung kaum politikus asal Madras. Waktu itu kelompok Tamil mulai retak. Beberapa orang memisahkan diri, membentuk kelompok lain. Ini mendorong Pirabhakaran membentuk kelompok sendiri, yang diberi nama itu tadi, LTTE. "Dia ingin agar LTTE menjadi kekuatan gerilyawan yang efisien dan berdisiplin," kata penasihat senior bidang politik dan strategi LTTE, Anton Balaingham. Mengambil model kepemimpinan Fidel Castro, ia membentuk anggotanya berdisiplin tinggi dan berani mati. Sengaja ia mencari anggota dari golongan usia muda, karena mereka "belum dirasuki nafsu berahi dan mudah dibentuk," ujar seorang sumber. Setelah menjalani "cuci otak" secara intensif, mereka dilatih menggunakan senjata. Dan tak lupa dibekali kapsul Potasium cyanida, simbol persekutuan dan keberanian Tamil Eelam -- sekaligus alat untuk bunuh diri dalam keadaan gawat. "Semangat Bima dan Adipati Karna dalam Bharatayudha sungguh menarik. Kesediaan berkorban Karna saya pakai sebagai dasar perjuangan kami," ujar Pirabhakaran. Ada larangan di antara Macan-Macan untuk menjamah minuman keras dan rokok, dan mereka dilarang menikah. Tapi pada 1984 Pirabhakaran menikah dengan Madhi Vadavi. Ini sempat menimbulkan protes di LTTE. Entah bagaimana Macan nomor satu mempertanggungjawabkan tingkahnya, hingga gerakan tetap utuh. Kini mereka hidup berpindah-pindah ke beberapa tempat persembunyian di Jaffna, bersama kedua anaknya. Dari tempat persembunyian satu ke yang lain itulah Tambi atau si Macan memupuk impiannya untuk mewujudkan sebuah negara bagian Tamil Sosialis dengan hanya satu partai. Sebab, katanya, "melalui satu partai ini pembangunan demokrasi dan ekonomi Eelam dapat tercapai lebih cepat." Yang tak bisa cepat, berdirinya negara Tamil Sosialis itu. Di Jaffna kini bercokol ribuan tentara India. Yuli Ismartono (Bangkok) & Didi Prambadi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini