Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA akhir 1949, sukacita merebak di segala penjuru Tanah Air. Pada pengujung Konferensi Meja Bundar di Den Haag, pemerintah Kerajaan Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Republik Indonesia yang diproklamasikan empat tahun sebelumnya. Perjuangan panjang mempertahankan kemerdekaan berbuah manis.
Setelah itu, Presiden Sukarno bergegas berbenah, menyiapkan segala perangkat tata negara yang sebelumnya terbengkalai. Dia menunjuk Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie, yang lebih dikenal sebagai Sultan Hamid II, untuk membuat lambang negara. Raja dari Pontianak, Kalimantan Barat, itu memang menjabat menteri negara zonder portofolio di kabinet Sukarno.
"Saya segera berkonsultasi dengan Mr Yamin," tulis Sultan Hamid dalam sepucuk suratnya kepada wartawan Berita Buana, Solichin Salam, pada 14 April 1967. Surat itu dimuat dalam buku Sultan Hamid II: Sang Perancang Lambang Negara "Elang Rajawali-Garuda Pancasila" karya Turiman Fachturrahman Nur.
Tindakan Hamid bisa dipahami. Pasalnya, Yamin adalah sekretaris Panitia Indonesia Raya. Pada 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menugasi lembaga itu untuk meneliti pola dan lambang dalam peradaban Indonesia. Panitia Indonesia Raya kemudian diminta mengusulkan satu lambang sebagai simbol negara baru ini.
SETELAH mendapat mandat mencari lambang negara, Yamin menggandeng Ki Hadjar Dewantara untuk menelusuri situs-situs purbakala dan mempelajari kesusastraan kuno di beberapa wilayah di Indonesia.
"Mereka menemukan sosok burung Garuda di Candi Kidal, Candi Prambanan, dan Candi Mendut," kata Nanang Hidayat, dosen Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang juga pemilik Museum Rumah Garuda.
Selain karena sosoknya yang perkasa, Garuda dipilih karena ada mitologi yang mendukung keberadaannya sebagai pelindung negara. "Dalam kitab pewayangan Adhiparwa, ada kisah tentang Garuda yang membebaskan ibundanya dari penjajahan seribu naga," ujar Nanang.
Yamin dan Ki Hadjar kemudian meminta bantuan seorang seniman, Basuki Reksobhowo, untuk membuat sketsa dari berbagai relief tersebut. "Basuki ini murid Ki Hadjar Dewantara di Taman Siswa," kata Nanang.
Sayangnya, upaya perumusan lambang negara ini terhenti karena gentingnya situasi politik dan keamanan pada tahun-tahun pertama pasca-kemerdekaan itu. Pada 1947, upaya itu bergulir kembali ketika pemerintah mengundang para seniman mengikuti sayembara pembuatan lambang negara. Para seniman yang tergabung dalam kelompok Seniman Indonesia Muda dan kelompok seni lain beramai-ramai ikut lomba.
Total ada 15 rancangan yang lolos sampai babak akhir. Semuanya dibuat oleh lima pelukis: Kerton, Kusnadi, Djajeng Asmoro, Suromo Warno, dan Agus Salam. Macam-macam lambang yang diusulkan. Ada bintang delapan, banteng, sinar matahari, sampai burung elang. Belum sempat dipilih dan diputuskan, gonjang-ganjing Republik kembali menunda proses ini.
Barulah pada akhir 1949, ketika kondisi sosial, politik, dan ekonomi Indonesia mulai stabil, proses perumusan lambang negara dimulai lagi. Kali ini Sultan Hamid II yang dipercaya untuk menuntaskan proses pemilihan lambang negara sampai rampung.
SETELAH berkonsultasi dengan Yamin, Sultan Hamid bergerak cepat. Berbekal petunjuk Yamin, ia menghubungi Ki Hadjar Dewantara di Yogyakarta. Semua sketsa burung Garuda dari candi-candi di Jawa yang dulu dibuat Basuki Reksobhowo segera diboyong ke Jakarta. "Sketsa itu dikirim ke Hamid melalui Mohammad Hatta," kata Nanang Hidayat.
Hamid juga membentuk Panitia Lambang Negara, yang bertugas melaksanakan proses perumusan lambang negara. Untuk menjamin kesinambungan dengan penelusuran Panitia Indonesia Raya empat tahun sebelumnya, Yamin ditunjuk menjadi ketua panitia. Anggotanya adalah Ki Hadjar Dewantara, M.A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan Profesor Dr RMNg Poerbatjaraka.
"Panitia Lambang Negara ini dibentuk segera setelah Hamid berkonsultasi dengan Yamin dan Ki Hadjar Dewantara," kata Turiman Fachturrahman Nur, peneliti lambang negara lulusan magister ilmu hukum Universitas Indonesia. Tesis Turiman yang mengambil topik seputar proses perumusan lambang negara inilah yang belakangan dibukukan dengan judul Sultan Hamid II: Sang Perancang Lambang Negara "Elang Rajawali-Garuda Pancasila".
Uniknya, panitia ini justru tidak bisa menghasilkan suara bulat untuk mengajukan satu rancangan kepada Presiden Sukarno. "Mereka akhirnya mengajukan dua rancangan utama: satu buatan Sultan Hamid dan satunya buatan Yamin," kata Turiman.
Rancangan Hamid dan Yamin sebenarnya tak berbeda jauh. Keduanya sama-sama mengajukan burung Garuda sebagai lambang negara. Perbedaannya ada pada gambar perisai di dada Garuda.
Pada rancangan Hamid, perisai Garuda digambarkan polos dengan satu garis tebal melintang yang melambangkan garis khatulistiwa. Adapun perisai Garuda yang dirancang Yamin penuh dengan simbol. Ada matahari dan bulan dengan lima garis sinar, ada pohon kelapa, dan ada tujuh garis yang melambangkan tujuh pulau/kepulauan utama Indonesia (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara).
Hatta, yang ketika itu menjabat perdana menteri, membawa kedua rancangan itu ke sidang kabinet. Para menteri diminta memutuskan rancangan mana yang dipilih: buatan Sultan Hamid atau Yamin.
TURIMAN Fachturrahman Nur meyakini sidang kabinet yang dipimpin Hatta akhirnya memilih rancangan Sultan Hamid. "Rancangan Yamin berisi gambar sinar matahari, yang dinilai mirip bendera Jepang," katanya.
Meski begitu, sampai berpuluh tahun kemudian, banyak kalangan justru meyakini Yamin adalah perancang utama lambang Garuda. Baru belakangan peran Sultan Hamid diakui dan dihormati.
Kenapa bisa begitu? "Ketika itu Yamin memang sering berpidato menjelaskan lambang Garuda," kata Turiman. Apalagi filosofi di balik lambang Garuda juga ditulis panjang-lebar di buku Yamin yang berjudul 6.000 Tahun Merah Putih.
Adapun pada periode yang sama, Sultan Hamid II justru hilang dari percaturan politik Tanah Air. Pada April 1950, dia ditangkap dan dipenjara selama sepuluh tahun dengan tuduhan terlibat dalam aksi penyerbuan Raymond Pierre Westerling dan Angkatan Perang Ratu Adil ke Divisi Siliwangi di Bandung pada 23 Januari 1950.
Nanang punya penjelasan berbeda. Menurut dia, Garuda Pancasila yang kita kenal sekarang merupakan gabungan dari rancangan Yamin dan Hamid. Penyempurnaan lambang itu dilakukan panitia khusus yang dibentuk pemerintah.
"Jadi Yamin dan Hamid sama-sama berperan karena keduanya memang mengajukan rancangan lambang negara berupa gambar Garuda," ujar Nanang. Dia menunjuk pada 18 rancangan Garuda Yamin dan sembilan rancangan Garuda Hamid. "Ada proses revisi yang terus-menerus," katanya.
Turiman tak menampik penjelasan itu. Dia mengakui kepala banteng di perisai Garuda sekarang diambil dari rancangan Yamin. "Kalau pohon beringin itu usul Poerbatjaraka. Sedangkan padi dan kapas itu usul Ki Hadjar Dewantara," kata Turiman.
Adapun Sultan Hamid menyumbangkan simbol rantai dari mitologi Dayak. Burung Garuda sendiri juga dikenal sebagai lambang di Kerajaan Sintang, Kalimantan Barat. Artinya, semua anggota Panitia Lambang Negara sebenarnya punya peran setara dalam perumusan lambang negara Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo