Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEMARI kaca panjang di rumah warga bernama Samudi di Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, penuh deretan guci Cina. Guci-guci itu berasal dari era Dinasti Tang (618-907 Masehi). Terlihat beberapa guci hasil rekonstruksi kepingan-kepingan atau fragmen-fragmen pecahan. Samudi adalah petugas satuan pengamanan situs arkeologis Liyangan di Temanggung. Guci-guci itu adalah hasil temuan para arkeolog Yogyakarta saat menggali situs Liyangan. Rata-rata guci dari Dinasti Tang saat ditemukan dalam bentuk pecahan. “Samudi saya ajari untuk merekatkan fragmen-fragmen keramik. Sekarang dia sudah jago membentuk utuh,” kata Sugeng Riyanto, arkeolog Yogyakarta, peneliti ahli madya Badan Riset dan Inovasi Nasional. Sugeng dulu bertugas di Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta dan memimpin eksvakasi-eksvakasi di Liyangan.
Menurut Sugeng, temuan keramik lain disimpan di Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah. Di rumah Samudi tak hanya ada keramik, tapi juga aneka temuan lain dari ekskavasi yang dilakukan Sugeng. Misalnya alat pertukangan, alat pertanian, perkakas rumah tangga, tempat menyalakan lampu minyak atau clupak, lampu gantung, tempat meletakkan tungku atau plengker, dan penggilingan rempah dari batu. Balai Arkeologi Yogyakarta dan BPCB Jawa Tengah melakukan penelitian pada 2009-2019. Proses ekskavasi terhenti saat pandemi merebak. “Sekarang seharusnya kami melangkah lagi untuk mengetahui detail permukiman, arkeobotani, dan unsur ritualnya,” ucap Sugeng. Pada Sabtu pagi, 17 Desember lalu, Sugeng membawa rombongan peserta pendidikan dan pelatihan jurnalisme arkeologi yang dikoordinasi Borobudur Writers and Cultural Festival Field Study ke Liyangan.
Sebelum situs itu ditemukan, lahan yang berada di ketinggian 1.100-1.165 meter di atas permukaan laut di lereng timur laut Gunung Sindoro tersebut adalah lahan tembakau. Pada 2007, harga tembakau anjlok dan membuat petani menyewakan lahannya kepada penambang pasir. Sugeng ingat, saat menggali sampai kedalaman 10-14 meter, ia berkolaborasi dengan penambang pasir. Setiap mereka menemukan suatu benda yang diduga artefak, tim ekskavasi akan menindaklanjuti.
Sampai sekarang para arkeolog telah menemukan empat teras di Liyangan. “Dimungkinkan akan bertambah lagi apabila area ekskavasi diperluas,” tutur Sugeng. Teras-teras itu menuju pada satu titik teras yang dianggap suci yang letaknya paling tinggi. Teras terendah (Teras 4) adalah tempat petirtaan, yaitu tempat bersuci sebelum pengunjung naik ke bangunan suci. Di teras itu juga ditemukan lumbung padi yang masih menyisakan arang padi. Teras 3 memiliki sebuah candi kecil unik tapi tanpa tangga. Diperkirakan candi itu adalah lokasi kremasi jenazah dan tempat ibadah pada waktu ritual tertentu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guci-guci hasil pertukaran barang dengan pedagang Cina masa Dinasti Tang yang ditemukan di Situs Liyangan, Temanggung, Jawa Tengah, 17 Desember 2022. TEMPO/Pito Agustin Rudiana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lalu naik ke Teras 2, terdapat batur dengan altar. Diduga tempat itu dulu dipenuhi bunga. Juga terdapat cekungan-cekungan seperti permainan dakon pada batu-batu. Teras paling tinggi adalah Teras 1. Di situ terdapat batu yoni panjang seperti peti. Uniknya, yoni itu tidak dibuat dari satu batu utuh seperti pada umumnya, melainkan tiga batu. Di sana juga terdapat empat batur kecil dan satu batur besar. Di samping teras itu ada jalan turun ke bawah berupa jalan batu. Sebagian jalan terdiri atas batu-batu boulder yang ditanam menjadi alas. Kemudian terputus di tengah berganti menjadi jalan tanah. “Kami memperkirakan jalan batu boulder ini adalah jalan menuju lahan pertanian. Jadi di masa lalu kawasan sakral atau kudus berdampingan dengan kawasan lahan pertanian,” ujar Sugeng. Di kawasan yang diperkirakan lahan pertanian, rombongan diajak Sugeng melihat yoni berbentuk ceper. “Mungkin ini adalah pusat pengairan lahan. Yoni menandakan air yang mengaliri sawah adalah air suci,” kata Sugeng.
Sugeng memperkirakan Situs Liyangan merupakan situs permukiman pandita, tempat asal Rakai Dyah Tulodong, penguasa Mataram kuno (919-924 Masehi). “Nama lengkap Dyah Tulodong adalah Sri Maharaja Rakai Layang Dyah Tulodong Sri Sajjana Sanmatanuraga Uttunggadewa. Kata rakai layang menandakan dia berasal dari penguasa Layangan. Saya menduga nama Liyangan berasal dari kata Layangan. Jadi kawasan situs Liyangan ini dulu berada di wilayah kekuasaan Dyah Tulodong,” ucap Sugeng.
Sugeng mengatakan Situs Liyangan ini unik karena data-data yang ditemukan di sini tidak ditemukan di situs lain, misalnya arang padi. Arkeolog menemukan bulir-bulir padi dalam ikatan jerami yang gosong. “Kami juga menemukan arang jagung pada centong. Itu disimpan di BPCB Jawa Tengah,” ucap Sugeng. Sugeng memperkirakan muntahan material Sindoro berlapis. Muntahan material diawali pasir vulkanis sangat panas yang membuat kayu, ijuk, bambu, beras, dan lainnya terbakar. Kemudian yang terlempar adalah abu vulkanis. Abu menutup ijuk, kayu, dan bambu yang gosong “Itu membuat arang bekas benda terbakar itu masih awet dan bisa kita lihat saat ekskavasi,” Sugeng memaparkan. Di Teras 1 ditemukan kayu-kayu bangunan yang menyembul dari lapisan abu vulkanis. Diduga itu dulu adalah rumah yang cukup besar lantaran ukuran papan kayunya mencapai delapan sentimeter. Oleh Sugeng bagian permukaan kayu-kayu itu ditutup dengan aluminium foil dan terpal. Dia dan para arkeolog sampai sekarang membiarkan kayu-kayu itu. “Karena riskan, kalau digali rentan hancur,” tutur Sugeng. Dia menunggu ada teknologi baru untuk mengekskavasi artefak-artefak yang terkubur abu tanpa merusaknya.
•••
SUGENG memaparkan, perkiraan total luas situs itu mencapai 12 hektare. Lahan yang sudah terbuka sejak 2008 hingga kini hanya seluas 4,5 hektare. Dari 4,5 hektare itu baru terungkap 20 persen. Kendala terberat ekskavasi, menurut Sugeng, adalah material vulkanis yang sangat tebal, batu-batu besar, dan wilayah yang sangat luas. Butuh waktu yang sangat panjang dan sumber daya manusia yang banyak.
Sugeng memperkirakan letusan Sindoro pada masa itu tak main-main karena bisa mengurung situs hingga belasan meter. Diduga material Sindoro mengalir secara piroklastik, yakni turun dengan cepat dan bersuhu sangat tinggi. Derasnya aliran lahar telah memindahkan aliran Sungai Kali Langit yang semula mengalir ke barat menjadi ke timur laut. “Letusan itu mungkin terjadi pada abad ke-11,” ujar Sugeng. Sugeng mengatakan hal itu didasarkan pada data Prasasti Rukam yang ditemukan di lereng Sindoro di Desa Petarongan, Kecamatan Parakan, Temanggung, pada 1975. Prasasti berupa dua lempeng tembaga itu bertulisan aksara Jawa Kuno dan berangka 829 Saka atau 907 Masehi.“Ini prasasti di Indonesia yang mencatat peristiwa gunung meletus,” ucap Sugeng. Prasasti Rukam mengisahkan ada desa yang “ilang dening guntur” alias desa yang hilang karena letusan gunung. Desa yang terkena bencana itu belum diketahui namanya. “Tapi kami menduga desa itu mungkin di Liyangan. Perlu kajian mendalam mengenai ada atau tidaknya kaitan Prasasti Rukam dengan Situs Liyangan,” tutur Sugeng.
Prasasti yang dibuat pada zaman Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung Sri Dharmmodaya Mahasambhu itu juga menyebutkan kewajiban Desa Rukam untuk memelihara dan memberi persembahan kepada bangunan suci di Limwung. Ada kemungkinan Limwung lokasinya di daerah Limbung yang berada di Desa Medari, Kecamatan Ngadirejo, Temanggung. “Di depan Masjid Wali Limbung ditemukan batu-batu candi. Mungkin dulu lokasi Limwung di sana,” Sugeng menjelaskan. Selain prasasti, tahun letusan juga bisa ditelisik dari hasil penanggalan karbon pada bambu yang menjadi arang di Liyangan. Tanggal karbon menunjuk angka 971 Masehi dengan standar deviasi (penyimpangan) 112 tahun. “Dan letusan hebat itu tidak hanya sekali,” kata Sugeng.
Sejauh ini, tim arkeolog belum menemukan rangka manusia ataupun hewan ternak yang terkubur material akibat erupsi Sindoro. Memang pernah ditemukan satu kerangka tak utuh berupa tengkorak, gigi, dan tulang panjang yang diidentifikasi kerangka seorang perempuan berusia 23 tahun. Fragmen kerangka itu ditemukan di Teras 3 dekat Candi II, tapi kerangka itu tidak terkubur abu vulkanis, melainkan berada di dalam kuburan sekunder. “Artinya, perempuan itu mati tidak lantaran lahar gunung Sindoro,” ucap Sugeng. Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha Smaratungga, Bhante Budi Utomo Ditthisampanno, yang turut dalam rombongan, memperkirakan kerangka itu adalah kerangka perempuan yang meninggal dengan tak wajar. “Dalam Hindu-Buddha ada tradisi mereka yang meninggal tak wajar dikubur dulu, baru 100 hari kemudian digali lagi untuk dikremasi. Mungkin ini bekas kerangka jenazah yang dikuburkan sebelum letusan Sindoro,” tutur Bhante Ditthi.
Tidak adanya temuan korban jiwa akibat letusan itu menunjukkan penduduk Liyangan telah mengetahui gelagat Sindoro kapan meletus dengan besar dan kecil, atau kapan mereka harus mengungsi atau tidak. “Saya tidak setuju apabila Liyangan dianalogikan dengan Pompeii. Di Pompeii banyak ditemukan sisa kerangka manusia mati karena terjebak lahar. Sementara di Liyangan sama sekali tidak,” kata Sugeng. Ia memperkirakan warga sudah menyingkir saat Sindoro meletus. Mereka telah ratusan tahun tinggal di sana secara turun-temurun sehingga mengetahui kebiasaan Sindoro. Menjelang letusan dahsyat pada abad ke-11 itu, penduduk lebih dulu mengungsi ke arah timur laut.
“Ada indikasi saat bencana kecil, mereka diam saja. Enggak pindah karena bisa diatasi,” ujar Sugeng. Bencana kecil itu bisa berupa erupsi kecil ataupun gempa vulkanis Sindoro. Indikasi ini terlihat dari bangunan-bangunan situs yang pernah rusak kemudian diperbaiki kembali. Hal seperti ini terlihat pada adanya talud yang berupa balok panjang disusun dengan sisi tak sama. “Itu tanda ada perbaikan karena pernah rusak. Mungkin karena tremor gunung,” ucap Sugeng. Beberapa talud yang disusun dengan batu boulder berbentuk bulat pun mengalami hal yang sama. Sejumlah batu boulder yang tersusun mempunyai ukuran yang tak sama.“Berbeda kalau membangun baru, pasti rapi. Kalau memperbaiki, kan tidak,” tutur Sugeng.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo