Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dear Joyce,
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
…If we are suppressed too often we’ll be suppressed finally and for all, to the damn’d stoppage of all our stipends. And I cant have our august editress jailed, not at any rate for a passage which I do not think written with utter maestria…..
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PASASE di atas adalah alinea terakhir dari surat bertanggal 29 Maret 1918 yang ditulis penyair besar Amerika Serikat, Ezra Pound, kepada James Joyce. Surat itu menunjukkan sebuah kekhawatiran. Pound adalah penyair yang sangat dihormati Joyce. Mereka bersahabat. Sejak awal penulisan novel Ulysses, Joyce selalu mengirim naskahnya kepada Pound di Amerika. Ulysses tidak sekali jadi dan langsung terbit. Berangsur-angsur, bagian per bagian novel ia kirimkan kepada Pound. Joyce menyelesaikan bab pertama Ulysses pada Desember 1917 di Locarno, Swiss, lalu mengirimnya kepada Pound. Semenjak itu, ia terus-menerus secara bertahap mengirim bagian Ulysses lain. Pound senantiasa merespons dan memberikan catatan di sana-sini. Ia bisa disebut sebagai “editor” dan teman dialog Joyce dalam proses kreatif Ulysses.
Pound sendiri lantas mengupayakan Ulysses dimuat secara bersambung di sebuah majalah sastra, Little Review, yang markasnya berada di Greenwich Village, suatu kawasan di New York, Amerika Serikat, yang penuh komunitas sastra dan teater off-Broadway sampai sekarang. Majalah ini memiliki moto—seperti tertera pada sampul depannya—“A Magazine of the Arts. Making No Compromise with the Public Taste”. Oleh editor Little Review, Margaret Anderson dan Jane Heap, Ulysses kemudian dimuat berseri pada 1918-1920.
Tokoh utama dalam Ulysses adalah warga Dublin, Irlandia, Leopold Bloom, salesman keturunan Yahudi; istrinya, Mary Bloom; dan Stephen Dedalus, penulis, guru, serta teoretikus sastra. Leopold dibaptis secara Katolik, tapi bertemperamen skeptik sehari-hari. Ayahnya, Rudolf Bloom, mati bunuh diri. Akan halnya Molly adalah orang yang atraktif dan penyanyi berbakat. Adapun Dedalus, meski terlihat cerdas dan menguasai seluk-beluk sastra, sesungguhnya orang yang teramat kesepian.
Sampul buku Dubliners karya Jmaes Joyce.
Tiga tokoh itu dikisahkan Joyce sejalan dengan alur cerita “Odyssey”, kisah epik Yunani Kuno karya Homer. Ulysses adalah nama Latin Odysseus, pahlawan dalam epos tersebut. Karakter Dedalus, Leopold, dan Molly sangat mirip dengan karakter Telemachus, Ulysses, dan Penelope dalam karya Homer. Karakter Dedalus sering dipandang kritikus sebagai alter ego Joyce. Karakter ini sebelumnya tampil dalam A Portrait of the Artist as a Young Man yang tak lain novel biografi Joyce.
Leopold dan Dedalus bersahabat. Leopold tinggal di 7 Eccles Street, Dublin. Mereka sering mengunjungi tempat-tempat tertentu di Dublin, seperti kawasan merah Nighttown. Novel ini dipandang banyak kritikus sebagai novel yang sulit, isinya eksperimental dengan beragam gaya sudut penceritaan, penuh alusi sejarah, bertabur humor dan parodi, kaya bahasa slang, serta sarat permainan bahasa—salah satu babnya, misalnya, ditulis tanpa tanda baca jelas. “Saya mengerjakan novel ini sebagaimana yang Aristoteles katakan: setiap bagian memiliki gaya atau caranya sendiri,” tulis Joyce kepada Pound.
Pound menulis surat berisi kekhawatiran kepada Joyce lantaran menganggap beberapa bagian novel yang dikirim kepadanya riskan jika dimuat. Terutama dialog percakapan seksual Leopold melalui telepon. Pound takut akan terjadi apa-apa kepada dua editor wanita Little Review apabila bagian yang agak kurang senonoh itu dipertahankan. Tapi Joyce menjawab bahwa ia tak akan mengubahnya dan bagian-bagian berikutnya pun demikian.
Benar prediksi Pound. Pada 1920, New York Society for the Suppression of Vice mengajukan para editor Little Review ke pengadilan karena menganggap mereka telah mempublikasikan kecabulan. Saat itu, Little Review memuat episode ke-13, “Nausicaa”. Pada bagian itu, ada adegan Leopold mengunjungi pantai Sandymount Strand dan di situ ia melakukan masturbasi karena menyaksikan seorang perempuan bernama Gerty MacDowell memperbolehkan bagian pahanya dilihat sekilas. Suatu adegan yang bersifat voyeurism.
Pengadilan menyatakan Little Review bersalah. Pemuatan seri Ulysses di Little Review dihentikan. Edisi-edisi majalah itu yang memuat Ulysses pun disita otoritas berwenang. Little Review didenda US$ 50. Di Amerika, upaya penerbitan Ulysses selanjutnya mengalami kendala. Tak ada penerbit yang berani mengambil risiko mempublikasikan Ulysses. Ulysses dianggap sebagai novel berbahaya dan perusak moral. Di luar Amerika, ada upaya-upaya menerbitkan Ulysses secara underground, tapi toh juga mengalami sensor oleh lembaga negara.
Di Prancis, seperti ditulis Cedric Watts dalam pengantar novel Ulysses terbitan Wordsworth Classics pada 2010, Sylvia Beach, pemilik toko buku terkenal Shakespeare & Company di Prancis yang letaknya tak jauh dari Notre Dame, menerbitkan bagian per bagian Ulysses secara berurutan pada 1922-1930. Sementara itu, di Inggris, dermawan Harriet Shaw Weaver mempublikasikan Ulysses melalui penerbit bernama Egoist Press. Ia membayar 200 pound sterling kepada Joyce untuk itu. Weaver mengirim sekitar 500 buku itu ke Amerika, tapi kiriman itu disita otoritas pos. Pada 1923, sastrawan Inggris, John Rodker, berusaha mencetak lagi 500 buku Joyce, tapi sebagian besar dirampas petugas bea-cukai Inggris. Pada 1927, Samuel Roth, yang dikenal di Amerika sebagai penerbit majalah pornografi, menampilkan serial Ulysses dalam majalah barunya, Two Worlds Monthly, tanpa meminta izin kepada Joyce. Hal itu membuat marah Joyce, yang kemudian menuntutnya ke pengadilan. Sebanyak 167 sastrawan membuat petisi dukungan kepada Joyce di jurnal Transition, termasuk T.S. Eliot, Thomas Mann, dan D.H. Lawrence. Roth akhirnya menghentikan pemuatan Ulysses di majalahnya, meskipun kemudian secara sembunyi-sembunyi tetap mengedarkan buku bajakan itu.
Pada 1933, penerbit Random House di Amerika Serikat mencoba membeli hak cipta Ulysses dari Sylvia Beach di Prancis. Tapi kiriman buku Ulysses dari Prancis untuk Random House disita otoritas bea-cukai Amerika. Random House membawa kasus ini ke pengadilan dan ternyata menang. Hakim distrik John M. Woolsey, setelah mempelajari Ulysses dengan saksama, menyatakan novel itu tak terkait dengan pornografi. Hal-hal eksplisit mengenai seksualitas dalam Ulysses, menurut dia, bukan sesuatu yang ditulis untuk menimbulkan rangsangan seksual, melainkan ekspresi kejujuran tokoh Leopold Bloom dalam novel. Woolsey menganggap Ulysses sebagai bagian dari kemerdekaan berekspresi. Kesimpulan hakim ini membuat Random House akhirnya bisa menerbitkan Ulysses pada 1934. Setelah selama lebih-kurang 12 tahun dilarang di Amerika, akhirnya Ulysses dapat terbit utuh melalui Random House.
James Joyce, difoto oleh Alex Ehrenzweig, pada 1915. Wikipedia
Penerbitan Ulysses disambut media. Majalah Time sampai dua kali menampilkan Ulysses dan James Joyce sebagai sampul, yakni pada 29 Januari 1934 dan 8 Mei 1939. Reputasi Joyce makin terangkat, tapi kontroversi mengenai novelnya makin memicu polemik. Pendapat pro-kontra mengenai inovasi dan eksperimen dalam Ulysses belum usai. Sesama sastrawan Irlandia, penyair W.B. Yeats, misalnya menganggap Ulysses penuh ucapan vulgar. Sedangkan penyair T.S. Eliot mengagumi Ulysses dan menganggap novel ini sebagai salah satu buku sastra terpenting di dunia, sebuah literary bible. Pada 1955, perhatian masyarakat terhadap Ulysses makin naik setelah aktris Marylin Monroe difoto dengan pakaian renang tengah membaca buku tersebut.
Sampai sekarang, novel Ulysses dirayakan para pencinta Joyce atau Joycean di seluruh dunia setiap 16 Juni. Hari perayaan novel Joyce itu disebut Bloomsday (Hari Leopold Bloom). Tanggal 16 Juni dipilih karena novel itu menceritakan kegiatan Leopold mengunjungi berbagai lokasi di Dublin pada 16 Juni 1904 selama satu hari penuh, dari pukul 8 pagi sampai malam dan bangun lagi pada pukul 8 pagi esoknya. Buku berisi sekitar 700 halaman itu terbagi dalam 18 episode, diawali dari saat Stephen Dedalus naik ke atap Martello Tower di Sandycove hingga Leopold dan istrinya, Molly, berada di ranjang mereka. Leopold diceritakan berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain di seantero Dublin, dari rumahnya di 7 Eccles Street, kantor pos Westland Row, apotek Sweny’s, perpustakaan nasional, hingga rumah sakit, bank, dan kampus.
Joyce memakai 16 Juni 1904 sebagai latar waktu novel karena pada tanggal itulah ia pertama kali berkencan dengan pacarnya, Nora Barnacle—yang kemudian menjadi istrinya—di Dublin. Bloomsday pertama kali diadakan pada 1929 di Paris oleh Sylvia Beach. Di Irlandia, Bloomsday baru diperingati 50 tahun kemudian, saat penulis Patrick Kavanagh dan Flann O’Brien menyambangi lokasi-lokasi yang dikunjungi Leopold dalam novel, seperti Martello Tower, bar Davy Byrne, dan 7 Eccles Street, sambil membaca potongan-potongan cerita Ulysses.
Berkat Joyce dan Ulysses, pariwisata Dublin terdongkrak. Turis ramai berkunjung ke Dublin untuk merasakan tur Ulysses. Begitu populernya tur ini hingga sejumlah penulis besar lain datang langsung ke Dublin untuk mengikutinya. Salah satunya penulis Argentina, Jorge Luis Borges. Penulis The Aleph ini datang ke Dublin pada Bloomsday 1982, yang bertepatan dengan satu abad usia Joyce. Kepada penyair Seamus Heaney, Borges menuturkan bagaimana “berjalan kaki di lanskap imajinasi” itu membuatnya mampu menghidupkan karya-karya Joyce yang begitu mempengaruhi hidupnya. Di berbagai negara, Kedutaan Besar Irlandia juga merayakan Bloomsday tiap 16 Juni. Tak terkecuali di Jakarta.
•••
SEBUAH instalasi tentang James Joyce dipasang Kedutaan Besar Irlandia di Galeri Dia.Lo.Gue, Kemang, Jakarta Selatan. Sebelumnya, instalasi ini sempat dipasang di Grand Indonesia Mall. Ini untuk pertama kalinya Kedutaan Besar Irlandia membuat acara khusus merayakan Bloomsday. “Kedutaan Besar Irlandia memutuskan mempromosikan Bloomsday karena kami ingin menyoroti kontribusi Joyce dalam sastra dan menunjukkan literatur Irlandia secara umum,” tutur Marita Dewi, Public Diplomacy and Consular Assistant Kedutaan Besar Irlandia. Marita menilai baik Joyce maupun karya-karyanya belum terlalu dikenal di Indonesia.
Instalasi itu menampilkan bentuk tiga dimensi sisi muka sebuah apotek di Dublin bernama Sweny’s yang lokasinya berada di kawasan Lincoln Place, Merrion Square. Pada bab kelima novel Ulysses, dikisahkan Leopold Bloom singgah di Sweny’s untuk membeli krim pelembut kulit buat Molly dan sebatang sabun beraroma lemon. Bangunan apotek yang dikunjungi Leopold itu sampai sekarang masih ada di Dublin, tapi telah beralih fungsi menjadi toko buku tempat para pencinta Joyce berkumpul dan membeli sabun lemon. Instalasi di Dia.Lo.Gue itu menyajikan fasad apotek dengan ciri khas tiga jendela lengkung. Para pengunjung bisa seolah-olah masuk ke apotek tersebut dan berpotret.
James Joyce (kedua dari kiri) bersama Ezra Pound (kedua dari kanan) di Paris pada 1923. worldhistoryprojecgt.or
Di depan instalasi apotek tersebut, terdapat sebuah standee Joyce seukuran manusia. Figur bernuansa merah itu menampakkan Joyce dalam setelan jas dan topi fedora yang berdiri dengan bertumpu pada tongkatnya. Pose ini mengacu pada patung Joyce buatan Marjorie Fitzgibbon yang diletakkan di North Earl Street, Dublin, sejak 1990. Selain memasang kedua instalasi itu, kedutaan bekerja sama dengan BookHive di Jakarta membagi-bagikan karya Joyce dan buku sastra Irlandia lain kepada mereka yang dianggap berminat.
Sebelum menulis Ulysses, Joyce membuat banyak novel lain, juga naskah drama. Lahir dengan nama James Augustine Aloysius Joyce di West Rathgar, Dublin, pada 1882, Joyce memiliki masa kecil yang diwarnai pengaruh ayahnya, John Joyce, yang berkharisma tapi perlahan kecanduan alkohol dan terjerat masalah finansial. Pada usia 17 tahun, Joyce menjadi mahasiswa University College Dublin, mempelajari bahasa-bahasa modern dan Latin. Setelah lulus pada 1902, dia bertolak ke Paris untuk mempelajari ilmu kedokteran, yang segera ia tinggalkan.
Pada periode tersebut, Joyce telah mempersiapkan novel panjang pertamanya, Stephen Hero, berdasarkan cerita kehidupannya sendiri. Draf ini menjadi cikal-bakal A Portrait of the Artist as a Young Man yang terbit pada 1916. Pada tahun itu juga, Joyce dan Nora Barnacle memutuskan pindah ke Paris. Demi nafkah sehari-hari, Joyce juga menulis sejumlah cerita pendek berlatar belakang Irlandia untuk dimuat di The Irish Homestead dengan honor 1 pound sterling per cerita. Cerita-cerita pendek ini, seperti “The Sisters”, “Eveline”, dan “After the Race”, menjadi bagian dari buku Dubliners (1914). Buku pertama Joyce yang diterbitkan justru sebuah kumpulan puisi berjudul Chamber Music pada 1907.
Joyce juga pernah menulis naskah teater, Exiles, yang merupakan pengembangan cerpen “The Dead”, pada 1918. Sejumlah karya Joyce diterbitkan secara posthumous, setelah dia wafat pada 1941. Di antaranya autobiografi Stephen Hero yang bersumber dari manuskrip yang digunakan Joyce untuk menulis A Portrait. Beberapa tahun lalu, Ithys Press menerbitkan dua buku Joyce berjudul The Cats of Copenhagen (2012) dan Finn’s Hotel (2013). The Cats ditulis Joyce untuk cucunya, Stephen James Joyce, pada 1936, sementara Finn’s Hotel diklaim penerbit sebagai karya pendahulu Finnegans Wake. Sejumlah kritik menyebut Finn’s Hotel hanyalah draf tulisan dan bukan bagian dari kanon Joyce.
Sampul buku A Portrait Of The Artist as A Young Man.
Di Indonesia, beberapa karya Joyce sudah diterjemahkan. Kumpulan cerpen Dubliners dan novel A Portrait of the Artist as a Young Man, misalnya, dialihbahasakan oleh Wawan Eko Yulianto. Empat cerpen Joyce pun sudah diterjemahkan Anton Kurnia menjadi “Pasar Malam”, “Adik Perempuan”, “Eveline”, serta “Ibunda” dan diterbitkan Nuansa dengan judul buku Ibunda. “Versi terjemahan karya James Joyce seperti “The Dead” (“Yang Telah Tiada”) dan “A Mother” (“Ibunda”) dapat ditemukan, tapi terbatas di e-commerce,” kata Marita Dewi. Wawan mengatakan bagian tersulit dalam alih bahasa karya Joyce adalah memahami konteks dan sejarah yang menjadi rujukan Joyce. Misalnya, untuk menerjemahkan A Portrait, Wawan perlu banyak membaca tentang agama Katolik dan sejarah Irlandia.
Dosen sastra Inggris di Universitas Ma Chung, Malang, Jawa Timur, itu pertama kali menerjemahkan karya Joyce saat masih menjadi mahasiswa S-1. Wawan mulanya menulis skripsi tentang motif-motif Stephen Dedalus, tokoh utama dalam A Portrait of the Artist as a Young Man, pada 2003. Agar lebih paham mengenai Joyce, Wawan menerjemahkan salah satu cerpen Joyce dan mengirim terjemahannya ke penerbit yang kebetulan juga sedang mencari pengalih bahasa karya-karya penulis tersebut. Wawan kemudian diminta menerjemahkan kumpulan cerpen Dubliners, juga novel A Portrait of the Artist as a Young Man. Satu cerpen terakhir dalam Dubliners yang diterjemahkan Wawan itu diterbitkan terpisah dalam bentuk novela dengan judul Yang Telah Tiada.
•••
ULYSSES belum diterjemahkan ke bahasa Indonesia sampai kini. Terpampang memang tingkat kesulitan yang tinggi bila hendak menerjemahkan novel itu. Dalam penceritaannya, kadang narasi James Joyce dituturkan dari sudut pandang orang pertama, tapi di lain waktu dari orang ketiga tanpa nama. Ada episode berupa monolog internal tokoh utama yang diselingi deskripsi detail tentang apa yang si tokoh itu lakukan. Namun, seperti dalam episode ketujuh, “Aeolus”, ada juga bagian yang disusun dalam bentuk mirip format surat kabar: paragraf-paragraf pendek yang dipisahkan judul-judul besar. Puncaknya adalah penceritaan bergaya stream of consciousness yang paling kentara dalam episode penutup berjudul “Penelope”. Bagian ini berisi igauan panjang Molly Bloom di tempat tidur yang ditulis tanpa tanda baca yang jelas, melompat-lompat, dan diselingi banyak distraksi.
Eksperimen tanpa batas ini masih menjadi bahan analisis di kelas-kelas sastra dunia. Joyce sendiri pernah dengan iseng mengatakan, “Aku telah memasukkan banyak enigma dan teka-teki (ke Ulysses) yang akan membuat para profesor sibuk berdebat selama ratusan tahun untuk memahami apa maksudku,” ujar Joyce. “Dan itulah satu-satunya cara untuk memastikan keabadian seseorang.” Katherine Mullin dari jurusan sastra University of Leeds, Inggris, menyebut Ulysses sebagai karya yang lebih banyak diperbincangkan ketimbang betul-betul dibaca. Posisi buku ini tak tergoyahkan sebagai kanon dalam cabang modernisme eksperimental.
Morris Beja dalam bukunya, James Joyce: A Literary Life, mengatakan Joyce mengagumi Ulysses dalam karya Homer sejak kecil. Bagi Joyce, Ulysses adalah tokoh yang memiliki kepribadian kompleks, jauh lebih kompleks daripada tokoh seperti Faust, Hamlet, ataupun tokoh lain dalam sejarah literatur Barat. Ulysses adalah Raja Ithaca, pejuang perang Troya, ayah Telemachus, suami Penelope, dan kekasih Calypso. Problem-problem dan kebimbangan-kebimbangan yang dialami Ulysses menjadi siklus yang berulang dalam konteks berbeda pada diri Leopold Bloom di Dublin pada 1904.
Menurut Beja, dalam penulisan Ulysses ini, Joyce amat memperhatikan akurasi suasana Dublin pada 1904. Meskipun masih ingat banyak hal tentang Dublin pada 1904—karena saat itu Joyce telah berumur 22 tahun—ia tetap berusaha memastikan detailnya dengan membaca segala hal mengenai Dublin pada Juni 1904. Ia mempelajari koran-koran yang terbit pada Juni 1904 di Dublin. Ia mendatangi semua kenalan dan sahabat untuk mengorek informasi tentang segala hal yang terjadi di Dublin pada bulan dan tahun itu. Ia sampai meminta bibinya, Josephine, mengirim segala bacaannya pada Juni 1904 dan banyak bertanya tentang segala hal yang “remeh-temeh”. Misalnya, ia meminta penjelasan bibinya apakah mungkin seseorang yang perawakannya tinggi-besar, tidak biasa-biasa seperti dirinya, bisa menyelinap masuk ke pagar 7 Eccles Street tanpa terluka. Joyce bertanya demikian lantaran hendak memastikan segala detail suasana 7 Eccles Street, yang dalam novel dijadikan alamat rumah Leopold. Joyce ingin novelnya menjadi sebuah ensiklopedia tentang Dublin pada Juni 1904.
Cedric Watts dalam pengantar Wordsworth Classics mengungkapkan, Dublin pada 1904 sesungguhnya dipenuhi sentimen anti-Semit atau anti-Yahudi. Dalam novel Ulysses juga ditampilkan beberapa tokoh yang membicarakan soal Yahudi Jerman dengan nada penuh prasangka dan bigotri. Menarik bahwa tokoh Leopold memiliki simpati kepada para keturunan Yahudi. Ia sangat toleran kepada mereka. Dalam kehidupan nyata, Joyce sendiri pernah menyelamatkan seorang warga Yahudi dari kejaran Nazi pada 1938.
Wawan Eko Yulianto mengakui penerjemahan Ulysses akan lebih sulit dibanding alih bahasa Dubliners atau A Portrait of the Artist as a Young Man karena faktor-faktor itu. Wawan mengungkapkan, untuk memahami kitab babon Joyce itu, ia berpegang pada buku berjudul Ulysses Annotated karya Don Gifford. Dalam buku ini, Gifford menjelaskan beragam rincian dalam Ulysses, dari nama tempat, istilah slang, konteks sejarah, legenda lokal Irlandia, hingga sejumlah praktik keagamaan dan referensi terhadap tradisi lain. Kepada Tempo, Ari J. Adipurwawidjana, Lektor Program Studi Sastra Inggris Universitas Padjadjaran, Bandung, menyebutkan Joyce selalu menulis dalam perspektif orang Irlandia.
Sampul buku Ulysses cetakan pertama pada 1922. Wikipedia
Wawan menuturkan, ia pernah hendak menerjemahkan Ulysses. Tapi ternyata novel itu belum masuk domain publik sehingga ia diarahkan untuk meminta izin kepada pemegang hak cipta buku itu, yang tak lain adalah cucu Joyce. “Saya sempat mengontak dua-tiga kali, tapi diberi harga sekian dolar untuk hak cipta penerjemahan yang pada waktu itu bagi saya tidak reasonable,” ucapnya. Wawan sempat mengajukan permohonan bantuan pendanaan untuk menerjemahkan Ulysses kepada Yayasan James Joyce, tapi belum mendapatkan hasil. Kedutaan Besar Irlandia di Indonesia pun menyatakan penerjemahan Ulysses ke bahasa Indonesia tak mudah, mengingat kompleksitas dan kerumitannya. “Kedutaan akan dengan senang hati bekerja sama dengan siapa pun yang bekerja di area ini,” ujar Marita Dewi dari kedutaan.
Ari Adipurwawidjana mengatakan model novel Joyce yang menyajikan beragam pandangan dan riwayat unik orang dari satu kota, seperti Dubliners, dalam konteks Indonesia terlihat menginspirasi novel seperti Orang-orang Bloomington karya Budi Darma. Atau pada generasi sekarang tampak dalam Orang-orang Oetimu karya Felix K. Nesi. Namun Joyce berfokus menghadirkan dampak-dampak dari suatu hal yang dialami para tokoh yang tak dapat mereka pahami sendiri. Pendekatan ini, menurut Ari, khas gerakan modernisme awal yang lahir pada awal abad ke-20 yang cenderung berpusat pada ketidakmampuan manusia memahami keberadaannya di dunia.
Ari mencontohkan bagaimana Joyce menggunakan teknik ini dalam “The Sisters”, cerpen pembuka Dubliners. Tokoh utama dalam cerita ini adalah seorang anak kecil yang tahu bahwa seorang pastor yang dia kenal baik telah meninggal. Kisah ini dinarasikan dari perspektif si anak, yang mendengar percakapan orang-orang dewasa di sekitarnya, tapi tak benar-benar memahami apa yang mereka katakan. Maka terkadang dalam cerita muncul bagian kosong berupa titik-titik tatkala anak itu tak dapat memproses dunia di sekelilingnya. Dalam cerita lain dengan tokoh-tokoh dewasa, hal seperti ini juga muncul karena para tokoh dapat merasakan sesuatu terjadi pada mereka, tapi tak bisa merunut secara logis mengapa hal itu terjadi. “Joyce agak sulit dipahami karena kita terbiasa dengan fiksi yang hubungan antar-peristiwanya jelas,” kata Ari. “Dalam dunia Joyce, sebab-akibat itu tidak ada.”
Dalam Ulysses, Joyce berganti-ganti menggunakan teknik narasi dan sudut pandang penceritaan. Joyce dapat memulai di tengah kalimat atau membubuhkan titik-titik begitu saja ketika si narator cerita pun tak dapat mengerti apa yang sedang terjadi. “Ketidakmampuan kita memahami Joyce yang membuat dia legendaris,” tutur lulusan program master sastra Inggris dari University of Kentucky, Amerika Serikat, itu. Dari perspektif sastra feminis, pendekatan Joyce dalam menulis dapat digolongkan sebagai model kepenulisan non-patriarkal karena dia menghindari tatanan kepenulisan yang dominan, yakni semua harus logis dan masuk akal. Pada periode beririsan, pendekatan ini juga digunakan Virginia Woolf. “Namun karya Woolf lebih dapat dibaca (dibanding Ulysses),” kata Ari.
James Joyce meninggal di Zürich, Swiss. Pada masa-masa terakhir hidupnya, ia menetap di negeri tersebut. Pada saat itu, Joyce nyaris buta dan menderita penyakit radang usus besar. Dia wafat pada 1941 dan dimakamkan di permakaman Fluntern.
SENO JOKO SUYONO, MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo