Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Sia-sia Menunggu Antisipasi

Yopie Hidayat
Kontributor Tempo

26 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMENJAK pandemi Covid-19 meledak, pasar finansial global berpesta-pora. Itulah berkah kebijakan The Federal Reserve dan bank-bank sentral negara maju lain yang memanjakan pasar dengan uang melimpah dan murah. Tentu, tak ada pesta yang abadi. The Fed sudah memberi sinyal setelah bersidang pada 15 Juni lalu: era uang murah dan melimpah akan berakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasar sudah tentu bergejolak. Seharusnya yang paling cemas menghadapi kabar ini adalah pemerintah negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Ketika pemerintah sedang sangat membutuhkan uang untuk mengatasi pandemi, yang pada akhirnya membuat utangnya meroket drastis, bunga justru akan naik dan pasokan likuiditas menyurut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Konsekuensinya, pemerintah akan makin sulit berutang. Jika ingin menarik pinjaman, apalagi dari investor asing, pemerintah RI harus berani memberi iming-iming bunga lebih besar. Sebelum ada perubahan kebijakan The Fed pun situasi di sini belum terlalu menggembirakan. Grafik kepemilikan surat berharga negara berdenominasi rupiah dapat memberi gambaran bagaimana sentimen investor asing semenjak pandemi melanda.

Jelas terlihat, investor asing masih enggan masuk lagi. Setelah merosot di awal pandemi, dari Rp 1.077 triliun pada Januari 2020 menjadi Rp 924 triliun pada April tahun yang sama, kepemilikan asing tak pernah kembali ke titik awal. Posisinya meningkat pelan, landai saja. Perubahan kebijakan The Fed dapat mendorong garis landai itu kembali merosot jika investor asing benar-benar mulai melepas obligasi pemerintah RI.

Grafik itu juga menunjukkan perbankan nasional dan Bank Indonesia kini beralih status menjadi kreditor pemerintah paling dominan. Tak cuma menggantikan posisi investor asing, BI dan perbankan juga rajin membeli obligasi baru yang diterbitkan pemerintah selama pandemi. Jumlahnya bukan main. Per 23 Juni 2021, nilai semua obligasi pemerintah yang beredar di pasar mencapai Rp 4.252 triliun, bertambah Rp 1.501 triliun dari posisi akhir pada Januari 2020 atau naik 54 persen hanya dalam tempo 15 bulan.

Dan penambahan utang ini belum akan berhenti. Sepanjang tahun ini, pemerintah harus mencari utang baru Rp 1.006 triliun. Per 22 Juni 2021, sudah Rp 687 triliun yang terealisasi. Walhasil, dalam situasi pasar yang masih bergejolak ini, pemerintah masih harus menarik tambahan utang baru Rp 319 triliun. Jika pemerintah masih berpegang pada rencana semula, sebagian utang itu bisa didapatkan dengan menjual obligasi dalam mata uang asing, yaitu sekitar Rp 75 triliun. Selebihnya berasal dari penjualan obligasi rupiah.

Inilah tantangannya. Ketika pasar sedang bergejolak dan investor asing cenderung keluar, pemerintah masih harus menerbitkan obligasi rupiah dalam jumlah yang cukup besar, sekitar Rp 250 triliun hingga akhir tahun ini. Sepertinya perbankan dan BI yang lagi-lagi harus membeli obligasi baru pemerintah. Kondisi ini pun, jika benar terjadi, tak lepas dari masalah.

Makin besar dana perbankan tertanam di obligasi pemerintah, makin berkurang kapasitas bank menyalurkan kredit. Padahal kredit perbankan yang mengalir lancar sungguh penting untuk menggerakkan ekonomi. Ironi pahit muncul dalam situasi seperti ini. Pemerintah menarik utang besar agar mampu memberikan stimulus, demi menumbuhkan ekonomi. Realitasnya, utang itu justru mengurangi daya dorong pertumbuhan karena menyedot dana perbankan yang semestinya mengalir menjadi kredit.

Kebijakan yang memaksa BI menjadi pembeli obligasi baru pemerintah juga tak kalah berbahaya. Kepercayaan investor terhadap rupiah bisa kian merosot karena itu. Dalam bahasa pasar, kebijakan itu adalah monetisasi utang. Dalam bahasa terang, itu berarti BI mencetak uang untuk membiayai defisit pemerintah. Jika berlanjut, investor asing yang membeli obligasi pemerintah dalam rupiah akan merasakan bahwa investasinya makin kehilangan nilai. Desakan untuk keluar dari Indonesia bisa makin kuat.

Investor kini mencermati bagaimana pemerintah mengantisipasi perubahan kebijakan The Fed. Gelagatnya, jangan-jangan para pembuat kebijakan merasa tak ada yang gawat. Sejauh ini, segalanya tetap terlihat berjalan seperti biasa.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus