Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ayauw, kini 62 tahun, adalah saksi bagaimana kehidupan di kawasan Kalijodo berubah perlahan. Usianya baru 8 tahun tatkala ia pindah dari Jalan Gajah Mada ke rumah kakeknya di Angke, dekat Kalijodo. Kawasan yang sepi itu mulai didatangi orang setelah seseorang asal Cina dari suku Hakka (Khek), Tjong Hwie Ping, membuka tempat hiburan, sebuah rumah panggung berlantai dua, beberapa tahun kemudian.
"Lantai dua untuk minum-minum. Kebanyakan yang datang orang-orang tua Cina sambil dipijat perempuan," ujar Ayauw kepada Tempo. Kedai minum itu buka sejak lepas senja hingga tengah malam.
Kedai Tjong Hwie Ping, yang dikenal dengan nama Tjong Ping, makin ramai setelah pemusik erhu atau guzheng dan cokek didatangkan serta tape recorder disetel. Saat remaja, Ayauw pun beberapa kali nongkrong di tempat tersebut. Makin lama, usaha Tjong Ping makin berkembang, apalagi setelah usaha perjudian pun dibuka. Daerah itu, menurut Ayauw, masih indah. Tempat Tjong Ping bisa dicapai melalui jalan darat (kini Jalan Tubagus Angke) atau melalui Sungai Angke. Pengunjung bisa menyeberang dengan getek atau menyusuri sungai dengan perahu kecil.
Kim Kim, 55 tahun, juga masih ingat perkembangan wilayah itu. Belum banyak rumah, sebagian tanah adalah kebun sayur—kangkung dan sawi. "Bisa gelar tikar. Air sungai juga masih jernih. Anginnya sejuk," katanya.
Sementara itu, rumah pelesir Tjong Ping terus menghibur dengan cokek, pelacuran, bahkan wayang potehi. Menurut mantan preman Anton Medan, kebanyakan tamunya berasal dari suku Tionghoa dari Cina Benteng. Pada awal 1980-an, Tjong Ping pindah dan buka usaha sejenis di Jalan Gedong Panjang di Penjaringan Utara.
Sedangkan bisnis hiburan di Kalijodo terus berkembang.Kriminalitas di daerah Kalijodo, kata Anton, juga tinggi karena banyak anak penjahat yang kabur kemudian tinggal di Kalijodo. "Dari dulu buron itu identik dengan Kalijodo karena daerah itu tidak terbuka dari ujung ke ujung," ujarnya. Bekas rumah Tjong Ping itu kini tak jauh dari Gereja Bethel Indonesia di Kalijodo—kiri-kanannya penuh dengan rumah bordil. Tjong Hwie Ping meninggal dua tahun lalu di Jakarta. Salah satu anaknya juga tewas ditikam dalam sebuah peristiwa sebelum Tjong Ping pindah ke Jalan Gedong Panjang.
Sisi gelap wilayah ini melambung ketika diangkat menjadi latar dalam novel Ca-bau-kan karya sastrawan Remy Sylado, yang kemudian difilmkan Nia Dinata. Aktris Lola Amaria memerankan Tinung, perempuan peliharaan juragan opium dan tembakau asal Semarang, Tan Peng Lian (Ferry Salim).
Remy menggambarkan Kalijodo, kawasan pinggir kali, itu sebagai tempat para pedagang Cina mencari cinta dari para perempuan Tangerang. Para pedagang yang terusir dari Manchuria sebelum abad ke-19 itu datang tanpa istri. "Makanya disebut Kalijodo, kali untuk mencari jodoh," ujar Remy Sylado kepada Tempo.
Remy mendapatkan gambaran itu dari seorang warga keturunan Cina berumur 97 tahun yang dibesarkan di Kalijodo. Narasumber ini, kata Remy, menuturkan bagaimana dia melihat bantaran Kalijodo yang indah menjadi ajang transaksi cinta. Mereka yang bercinta biasanya menggunakan jasa perahu yang digerakkan dengan galah menuju muara sungai. Perjalanan menyusuri sungai ini meriah dengan alunan nyanyian dan musik pecinan, termasuk gambang kromong, serta tarian cokek.
Pada 1930-an, kata Remy mengutip narasumber sepuhnya, saat mendatangi bisnis syahwat ini, kebanyakan pedagang Cina masih berpakaian khas Tiongkok lengkap dengan kucir. Para perempuannya memakai sepatu yang membuat kaki mengecil. "Menurut bapak itu, kawasan ini terus berkembang. Sempat tersendat ketika Jepang masuk. Mereka dijadikan jugun ianfu," ujar sastrawan yang juga musikus ini. "Tapi jalan lagi setelah kemerdekaan." Pelacuran, kata dia, makin marak ketika lokalisasi Kramat Tunggak ditutup pada akhir 1990-an.
Kalijodo bukan cuma tempat tumbuhnya pelacuran. Kawasan Sunda Kelapa ini sudah akrab bagi para pelaut asal Makassar dan Mandar sejak abad ke-17. Kawasan ini menjadi ruang bermukim bagi para pelaut dan pedagang asal Indonesia timur, khususnya dari wilayah Sulawesi. Jejak geliat kehidupan terlihat dari toponimi wilayah sekitar pelabuhan, seperti Angke, Bandan, dan Kampung Makassar. "Itu nama-nama dari sana," ujar sejarawan Universitas Indonesia yang meneliti soal maritim Sulawesi, Susanto Zuhdi.
Susanto mengatakan diaspora warga Sulawesi ini dimulai setelah penghancuran benteng Somba Opu, yang dibangun Sultan Gowa ke-9, oleh Serikat Dagang Belanda (VOC). "Mereka keluar untuk berbagai tujuan, tetap melawan VOC di perairan, atau mencari kehidupan baru, atau semacam Aru Palakka, yang bersekutu dengan VOC dan melarikan diri ke Batavia," ujar Susanto. Aru kemudian kembali ke Bone, tapi sebagian anak buahnya tinggal dan beranak-pinak di Batavia.
Dalam perkembangannya, migrasi komunitas asal Sulawesi itu datang ke Sunda Kelapa-Batavia, kata Susanto, dan terus berlanjut hingga masuk abad ke-19 dan ke-20, terutama untuk berdagang hasil hutan. Mereka menempati wilayah kosong di sekitar pelabuhan tradisional Sunda Kelapa, dan alur sungai menjadi urat nadi, termasuk di wilayah Kalijodo ini. Umumnya yang datang adalah pedagang, pelaut, anak kapal, bahkan budak, dan mereka hidup miskin ala kadarnya. Tak aneh jika mereka menempati wilayah kosong di luar daerah penataan pemerintah Belanda dan "menguasai" wilayah tersebut.
"Mereka kan punya nyali besar setelah mengarungi laut," ujar Susanto. "Yang jelas, memang ada akar dan periode panjang sejarah komunitas ini."
Sejarawan Universitas Hasanuddin, Edward L. Poelinggomang, mengatakan aktivitas orang Sulawesi (Makassar dan Mandar) tak bisa dilepaskan dari perdagangan ke Pulau Jawa sejak zaman Majapahit. Awalnya, mereka berdagang emas serta sedikit beras, dan dari Luwu mengirim bijih besi yang mengandung nikel untuk dijadikan bahan keris. Pelayaran ke Batavia diperkirakan berlangsung jauh sebelum perang Makassar pada 1600. Setelah perang, mereka menghindari pelayaran karena VOC menetapkan pajak di pelabuhan. Baru setelah 1669, orang Mandar berlayar ke Sumatera berdagang sutra dan singgah di Batavia.
Pada abad ke-19, mereka menggunakan kapal pinisi untuk berdagang produksi hasil laut ke Sunda Kelapa. Perdagangan kayu baru dilakukan belakangan hari. Kapal layar juga diisi sawi atau anak buah kapal dan penumpang. Tak aneh jika pada abad ke-20 sudah banyak orang Sulawesi di Sunda Kelapa.
Ada sebagian yang kembali ke Sulawesi, ada juga yang menetap. Besar kemungkinan, mereka yang tak pulang itu tak pandai menyisihkan uang dalam waktu lama karena setiap berlayar juga dimulai dengan utang. Edward juga menganalisis: yang menetap itu adalah kelompok yang tak mampu menegakkan siri-nya lagi (misalnya melakukan pembunuhan).
"Kasus seperti ini membuat mereka pergi berlayar dan tak kembali." Mereka yang lari itu akan menguasai wilayah pelabuhan karena disegani, apalagi jika pernah melakukan pembunuhan. Hal ini tak hanya terjadi di wilayah Kalijodo atau Sunda Kelapa, tapi juga di pelabuhan lain. Eksodus besar-besaran berlangsung saat terjadi krisis di Sulawesi Selatan setelah Kemerdekaan. Pendatang dari Sulawesi Selatan—Makassar dan Mandar—mulai berdatangan ke Jakarta. Mereka bekerja di pabrik bihun dan baja yang ada di kawasan Kalijodo pada 1965.
Menurut Suryadi Yasil, pemerhati budaya dan sejarah Mandar, pada saat itu H Ahmadiyah mendirikan pabrik baja dan membawa banyak tenaga dari Mandar ke Kalijodo. Dari sana terjadilah migrasi komunitas itu. Menurut dia, keberhasilan sebagian komunitas ini menarik warga Mandar ke Jakarta, hingga muncul beberapa pengusaha yang sukses. Ikatan kesukuan yang kuat, kata Suryadi, membuat komunitas ini juga erat. "Wajar jika ada yang ke Jakarta, lalu kurang uang, lari ke Kalijodo minta bantuan," ujarnya.
Dia juga memperkirakan ikatan itu masih kokoh hingga sekarang dan mungkin merembet ke masalah kriminalitas. Dia mengatakan narkotik yang masuk ke wilayah Mandar juga lewat jalur Kalijodo.
Dian Yuliastuti, Sunudyantoro; Irmawati (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo