Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Malam Penghabisan di Kalijodo

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menutup kawasan lokalisasi terselubung Kalijodo. Denyut bisnis hiburan malam bernilai miliaran rupiah pun hilang. Menyisakan cerita tentang Daeng Aziz, The Godfather Kalijodo.

22 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEREMPUAN muda itu langsung berdiri setelah diberi kode seorang pramusaji. Lena, begitu ia menyebut namanya, beranjak dari kursi dan mendatangi Tempo yang berkunjung ke kafe di Wisma Adem, kawasan Kalijodo, Pejagalan, Jakarta Utara, Sabtu dua pekan lalu. Ia keluar dari sudut kafe tak jauh dari pintu masuk, yang laksana etalase bagi Lena dan sembilan rekannya menanti tamu. "Ayo, Mas, turun ke bawah," ujarnya dengan manja.

Menuruni anak tangga, perempuan 22 tahun asal Wonosobo, Jawa Tengah, itu berjalan ke salah satu kamar berukuran 6 meter persegi. Di lantai bawah, ada sepuluh kamar berukuran sama. Berbeda dengan lantai kafe, lantai bawah begitu hening. Di dalam kamar itu ada kasur berukuran dua meter persegi, dan dua kondom Sutra. Di depan kasur terpasang wastafel dengan sebuah keran dan ember kecil penuh air. Kamar terasa panas meski ada kipas angin di dinding permanen kamar.

Selang 30 menit, hanya bercakap-cakap di dalam kamar, Lena meminta bayaran Rp 200 ribu. Ini memang tarif dia untuk sekali melayani tamu. Saat ke luar kamar, sembari membenahi pakaian biru langit ketatnya, ia menuju ke seorang perempuan yang duduk di tengah lorong pemisah kamar yang sedang memegang buku catatan. Ia tampak memberikan sehelai uang Rp 100 ribu ke perempuan itu, yang tak lain sang muncikari. "Itu untuk 30 menit. Kalau lebih, ongkosnya tambah," katanya. "Kalau enggak, pintunya digedor dari luar."

Malam Minggu menjadi malam yang ditunggu Lena dan teman-temannya. Di kawasan seluas 1,6 hektare di Jalan Kepanduan II itu, berjejer ratusan kafe dan wisma. Menurut data Pemerintah Kota Jakarta Utara, sedikitnya ada 400 wanita penghibur tetap dan tidak terikat di sana. Berbeda dengan hari biasa, setiap malam Minggu, Lena mengaku melayani sedikitnya sepuluh tamu. Menurut calo wanita penghibur di kawasan itu, harga tergantung pelayanan.

Denyut serupa dirasakan Tempo ketika mengunjungi dua wisma lain tak jauh dari Wisma Adem, yakni Win Star dan In Star. Dari luar, tampak para tamu berjoget di kafe dengan lampu disko dan dangdut koplo sembari menenggak bir. Di pintu masuk, dua pria berbadan kekar bertugas mengajak tamu berkunjung. Setelah itu, seorang pramusaji akan menyambut. Tamu tinggal memilih perempuan-perempuan yang duduk di kursi plastik dekat pintu masuk dengan pakaian model baby doll, mini dress, atau hot pants berkemeja ketat.

Empat hari berselang, geliat kawasan itu redup. Tiga wisma yang dikunjungi Tempo sebelumnya laksana rumah tak bertuan. Di sepanjang kawasan itu, tak ada satu pun wisma dan kafe yang buka. "Kabarnya ada razia malam ini," kata seorang pemuda yang tengah menjaga sebuah wisma di Kalijodo.

Malam itu ternyata tidak ada razia. Baru keesokan harinya, ratusan personel dari Satuan Polisi Pamong Praja, Kepolisian Sektor Penjaringan, Kepolisian Sektor Tambora, serta Komando Distrik Militer Jakarta Utara dan Jakarta Barat merangsek ke kawasan tersebut. Selain merazia minuman keras, mereka yang sebagian dilengkapi senjata laras panjang itu mengawal aparat setempat mensosialisasi surat peringatan pertama penertiban Kalijodo. "Kami temui mereka dari pintu ke pintu," ujar Sekretaris Kelurahan Pejagalan, Penjaringan, Jakarta Utara, Ichsan Firdaosyi.

Pendataan dan sosialisasi penertiban berlangsung lancar. Sempat muncul kabar akan ada perlawanan dari kelompok preman yang dianggap menguasai Kalijodo. Seorang pejabat pemerintah Jakarta menyatakan kelompok yang dianggap memegang Kalijodo sudah diciduk satu per satu agar proses penertiban nantinya lancar. "Mereka yang disiapkan sudah diamankan polisi," ucapnya. Wali Kota Jakarta Utara Rustam Effendi membenarkan kabar ini. "Iya, diamankan."

Rencana penertiban Kalijodo didengungkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sejak setahun lalu. Namun upaya ini tertunda karena pemerintah Jakarta memprioritaskan pekerjaan lain. Awal Februari lalu, Basuki benar-benar berniat mewujudkan penertiban dalam waktu dekat. Pemicunya peristiwa kecelakaan mobil Fortuner B-201-RFD dengan sepeda motor di Jalan Daan Mogot, Jakarta, Senin dua pekan lalu. Kecelakaan ini mengakibatkan empat orang tewas. Ricky Agung Prasetya, pengemudi mobil, diketahui mabuk berat setelah pesta minuman keras di Kalijodo. Polisi sudah menetapkan Ricky sebagai tersangka.

Menurut Basuki, berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2014, kawasan yang kini diisi permukiman dan tempat hiburan malam itu masuk zona hijau. "Bongkar saja. Dibuat taman hijau," katanya.

Ahok bergerak cepat. Ia memerintahkan jajarannya melakukan sosialisasi penertiban di kawasan yang membagi Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, dan Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, itu. Warga beridentitas jelas diminta mendaftar untuk menghuni 400 kamar di rumah susun di Marunda, Jakarta Utara, atau Pulogebang, Jakarta Timur. Sedangkan warga yang tak beridentitas akan dipulangkan ke kampung asalnya atau diberi pelatihan keahlian lain. Untuk membantu meratakan Kalijodo, rencananya awal Maret ini, Basuki menggandeng polisi dan Tentara Nasional Indonesia.

* * * *

KAWASAN Kalijodo saat ini tak bisa dipisahkan dengan nama Abdul Aziz. Pria 46 tahun asal Makassar ini tampil paling depan menentang rencana penertiban. Senin pekan lalu, ia bertandang ke kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk menyuarakan penolakan. Aziz, atau di Kalijodo kerap disebut Daeng Aziz, datang ke Komnas HAM dengan Mercedes-Benz C280 warna perak. Kalung emas bergemerincing di leher dan tangannya. "Saya meminta perlindungan," ujarnya.

Aziz awalnya pemimpin kelompok kecil asal Makassar di Kalijodo. Tapi nama dia berkibar setelah pemimpin besar Makassar, Daeng Leang, tewas dibunuh kelompok seterunya asal Mandar, Sulawesi Barat. Sepuluh tahun kemudian, ia melakukan pembalasan dan mengusir kelompok perantau asal Mandar pimpinan Yusman Nur keluar dari Kalijodo. Sejak itu, Aziz menguasai setiap lini bisnis di Kalijodo: prostitusi, minuman keras, sampai bisnis perparkiran. "Dia sekarang punya nama," kata Andri, 62 tahun, yang pada 1982-1992 rutin berkunjung ke Kalijodo.

Menurut seorang tokoh lama di Kalijodo, kelompok Aziz bekerja secara terorganisasi lewat satu komando. Mereka juga menetap di Kalijodo. Dengan cara itulah Aziz membekingi hampir semua kafe di Kalijodo. Besar setoran tergantung ramai dan sepi pengunjung. Aziz juga diketahui memiliki satu di antaranya, yakni Intan Cafe. Letaknya sekitar 100 meter dari pintu masuk Kalijodo jika datang lewat Jalan Pangeran Tubagus Angke, Jakarta Barat. Tak cuma itu, Aziz juga memonopoli peredaran minuman keras dan menguasai lahan parkir di sana.

Wali Kota Jakarta Utara Rustam Effendi membenarkan Aziz sebagai sosok berpengaruh di Kalijodo. "Banyak orang kekar yang bekerja untuk mengamankan bisnis Aziz," katanya.

* * * *

Aziz sebenarnya tidak sendiri di Kalijodo. Masih ada kelompok lain yang memegang kendali perputaran duit bisnis hiburan malam di sana. Mereka disebut sebagai kelompok asal Banten. Kelompok yang berisi orang kekar asal Kulon, Serang, Banten, ini dipimpin Agus. Di Kalijodo, ia dikenal dengan nama Haji Agus. "Tapi tak sebanyak kelompok Daeng," ujar anak buah Haji Agus, Awie Dachlan, 48 tahun.

Menurut dia, kelompok Haji Agus hanya membekingi beberapa kafe lantaran anggotanya cuma puluhan orang. Mereka tak tinggal menetap di Kalijodo. Cara kerjanya juga tak terkoordinasi. "Cenderung orang per orang."

Aziz tak membenarkan atau membantah keberadaan kelompok asal Banten itu. Tapi ia mengakui masih ada orang-orang kekar yang bekerja di Kalijodo tanpa masuk koordinasi kelompok asal Makassar. Aziz menyebut orang-orang itu sebagai "free man" atau orang bebas yang punya identitas. "Tapi, kalau disebut mereka minta-minta jatah, itu bukan free man," ucap Aziz.

Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya, Komisaris Besar Krishna Murti, menyatakan jumlah preman di Kalijodo jauh berbeda dengan jumlah saat dia menjabat Kepala Kepolisian Sektor Penjaringan pada awal 2000-an. "Jumlah premannya jauh berkurang," ujarnya.

Selain kelompok Aziz dan Agus, pernah ada satu kekuatan lain di Kalijodo, yakni kelompok asal Mandar, pimpinan Yusman Nur. Ada sejarah kelam pertarungan di antara mereka di sana. Udin Gondrong, 46 tahun, bekas anggota kelompok asal Mandar, bercerita bahwa tiga kelompok itu hadir di Kalijodo pada 1980-an. Kala itu bisnis prostitusi sudah menggeliat di sana. Ada juga perjudian. "Tiap kelompok punya tempat yang dijaga," kata Udin.

Menurut Udin, kekuasaan tiga kelompok itu juga dibagi per wilayah. "Ada yang di utara, ada yang di barat," ujar mantan panglima anak macan—pasukan perang kelompok asal Mandar—ini. Kelompok asal Makassar dan kelompok asal Mandar berkuasa di Kalijodo bagian utara—kini masuk Kecamatan Penjaringan. Sedangkan kelompok asal Banten, termasuk kelompok asal Serang pimpinan Haji Riri, memegang Kalijodo bagian barat—sekarang masuk Kecamatan Tambora. Kini bekas daerah kekuasaan kelompok Mandar dikuasai Aziz.

Anton Medan, bekas preman yang pernah membuka lapak judi di Kalijodo, mengatakan kelompok asal Makassar bisa eksis karena Aziz dekat dengan aparat dan punya sejarah rajin mengirim setoran. "Dulu dia yang mengatur jatah buat oknum aparat," ujarnya. "Jatah dari semua kelompok dia yang kelola." Aziz membantah pernah menyetor duit ke aparat. Menurut dia, tak ada aparat polisi atau tentara yang membekingi Kalijodo.

Jumat akhir pekan lalu, Tempo kembali menyambangi kawasan Kalijodo. Sepanjang jalan di kawasan itu sangat sepi. Wanita penghibur tidak terikat yang biasanya nongkrong di depan kafe-kafe pada pagi hari juga tak terlihat. Sejumlah perempuan muda tampak membawa tas dan koper besar meninggalkan kawasan itu.

Pagi itu Daeng Aziz juga hanya mondar-mandir di depan Intan Bar miliknya, sambil membaca surat peringatan penertiban yang ditempel di tembok. Dia mengaku belum punya rencana setelah Kalijodo ditertibkan. "Mau jalan-jalan saja."

Prihandoko, Anton Aprianto, Rezki Alvionitasari, Gangsar Parikesit

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus