Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Philips Vermonte
Gejala akan terjadinya pemerintahan yang terbelah selama lima tahun yang akan datang kian tampak. Koalisi pimpinan Gerindra/Prabowo Subianto, yang bermula dari proses pencalonan presiden dalam pemilihan 9 Juli lalu, tampak solid hingga pemilihan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat tak menyisakan kursi bagi koalisi pimpinan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Bagaimana kita memaknai situasi itu? Apa konsekuensinya bagi pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla lima tahun ke depan? Akankah koalisi pimpinan Gerindra, yang sudah menyatakan diri akan menjadi oposisi aktif, bisa bertahan?
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, penting untuk memahami situasi dari pemilu legislatif dan pemilu presiden yang baru lalu. Mula-mula untuk pertama kalinya dalam sejarah politik kita sebuah partai pada posisi oposisi memenangi pemilu dan kembali ke kekuasaan hanya dengan cara elektoral, tidak dengan cara non-elektoral.
Dalam bahasa ilmuwan politik Samuel Huntington, sejatinya Indonesia telah lolos ujian demokrasi yang ia sebut sebagai "the two-election test": ujian yang menetapkan sebuah demokrasi baru mencapai tahap konsolidasi jika, dan hanya jika, terjadi transfer kekuasaan dari kekuatan politik pada posisi berkuasa kepada pihak oposisi hanya dengan cara elektoral yang demokratis. PDIP, yang memenangi pemilu legislatif pada 9 April lalu, menandai hal itu setelah 10 tahun di luar kekuasaan.
Sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono memang memenangi pemilu presiden secara damai pada 2004, tapi ia tak memulainya sebagai oposisi. Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri menjadi presiden karena akrobat politik non-elektoral di parlemen oleh Poros Tengah, yang dinakhodai Amien Rais. Akrobat itu pada awalnya mengabaikan hasil elektoral yang jelas dari Pemilu 1999, yaitu bahwa Megawati/PDIP adalah pemenang pemilu. Konteks "the two-election test" penting karena ia menjadi simbol jelas dari salah satu esensi demokrasi bahwa kompetisi politik tak mengizinkan penihilan pihak yang berseberangan oleh pihak yang berkuasa.
Kedua, Pemilu Presiden 2014 adalah pemilihan langsung demokratis pertama kita yang tak diikuti inkumben dari rezim yang sedang berkuasa. Pada 2004, Yudhoyono menghadapi Megawati sebagai inkumben; pada 2009, Yudhoyono bertarung sebagai inkumben. Karena ketidakhadiran seorang inkumben, lapangan pertandingan menjadi terbuka sehingga pilihan ideologis para aktor politik mudah dilihat.
Pada Pemilu 1999, semua partai politik menjauhkan diri (de-alignment) dari rezim Orde Baru, berusaha menampilkan wajah proreformasi. Amat menarik menyaksikan betapa pada 2014, karena ketiadaan inkumben, beberapa partai dan aktor politik yang sejak 1999 berusaha menampilkan wajah reformis dan prodemokrasi merapatkan diri kembali (re-alignment) ke narasi Orde Baru.
Partai-partai politik dalam koalisi pimpinan Gerindra sejatinya melakukan re-alignment dengan praktek-praktek Orde Baru, yang pada 1999 telah disepakati ditinggalkan. Wacana amendemen Undang-Undang Dasar untuk pengembalian status MPR sebagai lembaga tertinggi negara, yang boleh jadi berimplikasi pada penghapusan pemilihan presiden secara langsung, dan pencabutan hak politik rakyat untuk memilih sendiri pemimpinnya di tingkat lokal (gubernur, bupati, dan wali kota) adalah dua contoh kasatmata dari re-alignment dengan praktek politik Orde Baru.
Tidak terlalu berlebihan untuk menyatakan pembelahan di DPR terjadi antara kelompok partai politik yang berusaha melanjutkan proses menjauhkan diri dari praktek politik masa otoriter Orde Baru dan mereka yang merapatkan diri kembali dengan praktek itu.
Mengapa de-alignment dan re-alignment akhirnya terjadi sekarang? Dalam buku The Economic Origins of Dictatorship and Democracy (2005), Daren Acemoglu dan James A. Robinson menyediakan kemungkinan jawaban terhadap fenomena ini.
Belajar dari pengalaman banyak negara demokrasi baru, menurut studi mereka, di negara-negara yang mengalami transisi menuju demokrasi selalu terjadi proses negosiasi antara kekuatan lama dari masa otoritarian dan kekuatan baru yang prodemokrasi. Kelompok prodemokrasi tak punya banyak pilihan selain mengakomodasi kepentingan para aktor politik dari masa otoritarian itu.
Namun periode "akomodasi" ini ada masa kedaluwarsanya, yaitu ketika hal-hal yang ditawarkan sebagai "kompensasi" kepada orang-orang rezim lama agar menerima demokrasi telah habis. Akibatnya, negara demokrasi baru ini menghadapi titik persimpangan yang merupakan periode rumit baru: apakah akan jalan terus dengan agenda demokratisasi atau kembali ke jalur otoritarian karena terjadi pengerasan konflik dengan kekuatan lama yang menghadang dengan determinasi tinggi. Apa yang terjadi di gedung DPR/MPR beberapa minggu belakangan mengiyakan temuan Acemoglu dan Robinson.
Dengan lanskap besar pemerintahan terbelah semacam itu, ada beberapa kemungkinan yang terjadi dan dihadapi pemerintah Jokowi-JK. Pertama, karena Indonesia menganut sistem presidensial, pada dasarnya masa jabatan presiden yang fixed secara konstitusional dijamin. Pemakzulan di tengah jalan sulit dilakukan. Para aktor politik dan masyarakat tahu luka politik pemakzulan sulit disembuhkan, seperti yang kita pelajari dari apa yang terjadi pada Presiden Abdurrahman Wahid.
Kedua, koalisi pimpinan Prabowo sejauh ini cukup solid, tapi daya tahannya belum teruji. Hanya Partai Gerindra yang pernah berada di luar pemerintahan. Partai lainnya tak pernah menjadi oposisi. Golkar selalu ikut di setiap pemerintahan presiden.
Sebagai presiden, Jokowi memiliki banyak instrumen carrot and stick sebagai penguasa eksekutif: terkait dengan anggaran, fiskal dan pajak, program-program pembangunan, serta penegakan hukum, termasuk di wilayah antikorupsi.
Akan ada banyak ruang tempat kepentingan eksekutif dan kepentingan partai-partai anggota koalisi pimpinan Gerindra bertemu. Misalnya, bahkan apabila pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD dan koalisi Gerindra berhitung sebagian besar pilkada akan mereka menangi, dinamika politik lokal dari satu daerah ke daerah lain di Indonesia amat bervariasi. Format koalisi di level nasional berbeda dari format koalisi aktor-aktor politik lokal di daerah, karena kepentingan yang berbeda.
Ketiga, dalam jangka pendek, Presiden Jokowi sudah jelas akan menghadapi DPR yang kritis. Dia tak bisa mengharapkan dukungan PDIP seratus persen mengingat friksi internal yang menyebabkan Jokowi tak punya kontrol efektif pada partainya. Para menteri Jokowi juga tak bisa masuk kategori "the president's men" karena pemilihannya akan merupakan resultante dari tekanan amat kuat dari luar dirinya. Arena yang memungkinkan Jokowi bisa memilih orang-ornag yang dipercayainya dan menjadi mitra strategis adalah lembaga kepresidenan. Karena itu, menjadi penting untuk mencermati kemampuan staf kepresidenan bila jadi dibentuk.
Keempat, dalam jangka lima tahun, mari asumsikan koalisi Prabowo amat solid dan bisa menyulitkan gerak Jokowi-JK menjalankan pemerintahan. Situasi ini pernah terjadi pada 2004 di awal pemerintahan Yudhoyono. Partai Demokrat dengan tujuh persen suara harus berhadapan dengan kekuatan Golkar dan PDIP, yang menguasai DPR. Mereka menghambat proses politik dan pembentukan komisi di DPR sulit dilakukan.
Yudhoyono dan Demokrat diselamatkan Jusuf Kalla, yang beberapa bulan kemudian mengambil alih kepemimpinan Golkar dan membuat koalisi di seberang Yudhoyono berantakan. Hingga 2015, akan terjadi pergantian pimpinan partai politik yang mungkin membawa konsekuensi bagi soliditas tiap koalisi dan mengubah dinamika politik.
Dengan mengingat kemungkinan perubahan dinamika politik tersebut, dalam situasi ketika presiden terpilih tak mendapat dukungan mayoritas di DPR, studi Garry Cox dan Samuel Kernell berjudul The Politics of Divided Government (1991) menemukan itu umumnya membawa tiga pilihan kepada Presiden dan DPR sebagai berikut.
Pertama, masing-masing bertindak unilateral. Baik Presiden maupun DPR menggunakan hak konstitusionalnya tanpa mempedulikan konsekuensi. Pilihan ini berisiko amat tinggi dan mengorbankan publik. Apa yang terjadi dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dan proses pemilihan pimpinan DPR/MPR yang baru lalu menunjukkan gejala awal kecenderungan ini.
Kedua, "go public", yakni menarik dukungan dan simpati publik. Pilihan ini lebih menguntungkan Jokowi mengingat bagaimana dukungan organik masyarakat dengan segala cara yang membantunya memenangi pemilihan presiden melampaui dukungan PDIP sendiri sebagai partai pengusung. Pilihan ini bisa bekerja bagi Jokowi dengan dua syarat: PDIP menerima sepenuh hati Jokowi bukan milik PDIP semata, melainkan milik semua sebagai presiden dan kepala negara serta dukungan publik yang tersebar dan tak terlembaga harus dijahit dengan tekun untuk menjadikannya "kelompok penekan" baru di luar partai politik dan organisasi kemasyarakatan sipil.
Ketiga, pilihan "delay dan brinkmanship". Baik Presiden maupun DPR, yang dikuasai koalisi pro Prabowo, saling mengulur waktu, bernegosiasi, dan menaruh perhatian penuh pada detail-detail revisi kesepakatan. Akibatnya mereka saling tersandera dan terpaksa mengesampingkan perbedaan. Ini berisiko tinggi karena tak hanya membuat pemerintah lamban tapi juga membuat proses legislasi di sisi DPR. Kinerja buruk DPR periode 2009-2014 yang hanya mampu memproduksi kurang dari 50 persen undang-undang akan terulang.
Apa pun pilihannya, kedua pihak harus menyadari pada akhirnya yang menjadi hakim adalah masyarakat, yang semakin pintar menilai politikus dan partai politik. Merekalah yang akan menjatuhkan pilihannya lima tahun lagi.
Ketua Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo