Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
R. William Liddle
DARI segi jumlah penduduk dan luas wilayah, Indonesia seharusnya menjadi great power atau pemain utama di panggung dunia. Posisinya di Asia Tenggara mirip Brasil di Amerika Latin, Nigeria di Afrika, dan India di Asia Selatan. Masyarakat di empat negara itu berhak berharap bahwa kelak mereka akan cukup kuat menghadapi persaingan global. Untuk mencapai itu, sumber daya politik terpenting adalah kekuatan ekonomi, yang mendasari banyak sumber daya lain.
Setelah Perang Dunia II, sejumlah negara bekas jajahan Eropa mengabaikan kenyataan itu. Misalnya Mesir di bawah Gamal Abdel Nasser, Ghana di bawah Kwame Nkrumah, dan Indonesia di bawah Sukarno. Cina, tatkala dipimpin Mao Zedong, bisa juga masuk kategori ini. Pemimpin-pemimpin itu mencoba memanfaatkan satu-satunya sumber daya relatif kuat yang mereka miliki, yaitu semangat anti-penjajahan. Semuanya gagal karena sumber daya itu kurang ampuh.
Untungnya, Indonesia belajar dari pengalaman buruk itu. Di bawah Presiden Soeharto, dibantu para ekonom profesional, Indonesia kembali ke ekonomi pasar internasional. Ekonominya bertumbuh pesat-rata-rata hampir delapan persen per tahun-dan angka kemiskinan berkurang drastis.
Setelah reformasi, semua presiden demokratis, mungkin kecuali Abdurrahman Wahid, melanjutkan kebijakan makroekonomi prakarsa Soeharto. Namun belum ada presiden yang berhasil memacu laju pertumbuhan setinggi prestasi rata-rata Orde Baru. Termasuk Susilo Bambang Yudhoyono, yang tak pernah menaikkan laju pertumbuhan di atas tujuh persen. Lagi pula jurang kaya dan miskin semakin lebar. Akibatnya, pengembangan kekuatan ekonomi ditelantarkan. Indonesia harus menunggu lebih lama untuk menjadi great power.
Apakah kita bisa mengharapkan kebijakan ekonomi yang lebih mumpuni dari Presiden Joko Widodo? Jawabannya akan bergantung pada kesediaannya memilih dan melaksanakan kebijakan yang diperlukan demi pertumbuhan pesat, tapi meski akan dikecam selaku pilihan "neoliberal". Misalnya pengurangan subsidi bahan bakar minyak, pembangunan infrastruktur fisik, dan peningkatan ekspor tambang mentah. Dua kebijakan terakhir itu dicap "neoliberal" karena mustahil tanpa melibatkan investor swasta. Ironisnya, justru kebijakan "neoliberal" itu yang akan memperkuat Indonesia di kancah internasional.
Lebih terinci, dua hal akan menentukan apakah Presiden Jokowi berhasil atau gagal: kemauan politik (political will) serta keterampilan strategis dan taktis. Kemauan politik berarti komitmen terus-menerus kepada janji-janji kampanye, seperti visi negara maritimnya. Hampir sejak awal masa pemerintahannya, kemauan politik Yudhoyono diragukan. Sebaliknya, selaku Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, Jokowi berkali-kali membuktikan tidak takut didemo, seperti sering dituduhkan kepada Yudhoyono. Mudah-mudahan ini diteruskan setelah pelantikannya.
Jokowi membuktikan kemampuan politiknya sebagai wali kota dan gubernur. Melalui gaya blusukan-nya, dia menarik banyak dukungan masyarakat madani dan orang muda yang kemudian menjadi relawan kampanye presidensialnya. Banyak pengusaha merangkum dia dan calon wakilnya, Jusuf Kalla, adalah pasangan kandidat yang paling ramah kepada bisnis. Akibatnya, dia meraih 53 persen suara dalam Pemilihan Umum Presiden 2014-kemenangan besar yang merupakan sumber daya politik tersendiri.
Namun siapa pun yang mengamati perkembangan politik pasca-pilpres pasti mulai khawatir bahwa suksesnya di tingkat lokal tak bakal diulangi di panggung nasional. Dalam sistem presidensial Indonesia, presiden memerlukan dukungan mayoritas anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kalau mayoritas itu dikuasai partai-partai oposisi, dalam hal ini Koalisi Merah Putih, presiden bisa dihalangi terus. Mengutip Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo di Wall Street Journal, "Ada harga yang harus dibayar."
Saya teringat pada Desember 2004 ketika Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang baru dilantik, juga terancam koalisi partai-partai oposisi yang memegang mayoritas kursi di DPR. Berkat tindakan taktis Kalla atas persetujuan Yudhoyono, Partai Golkar direbut kembali dan pemerintahan mereka diselamatkan. Pada 2014, seandainya Jokowi-Kalla gagal membentuk koalisi mayoritas di DPR, mereka bisa tersandera sampai 2019.
Kiranya cukup jelas bahwa saya menganggap kebijakan ekonomi selaku hal yang mahapenting demi peningkatan daya saing di panggung dunia. Presiden Jokowi wajar mengklaim sukses seandainya ia mampu mendorong pertumbuhan ekonomi naik dari enam persen menjadi delapan persen dalam lima tahun ke depan, terutama kalau distribusi hasilnya lebih merata ketimbang masa jabatan Yudhoyono.
Namun ada dua tantangan internasional lain yang hendak saya bicarakan secara ringkas: keprihatinan dunia tentang bangkitnya intoleransi agama dan perlawanan masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat yang tak terselesaikan. Dampak negatif dua masalah itu cukup besar dan kurang diperhatikan. Untungnya ada tanda bahwa pemerintah Jokowi mau dan mampu menangani kedua-duanya.
Tentang intoleransi agama, hampir semua pemantau asing menyimpulkan jumlah insiden kekerasan meningkat dan perlindungan negara berkurang. United States Commission on International Religious Freedom (2014) menyebutkan demokratisasi di Indonesia "dirusak oleh kekerasan sektarian, serangan teroris, tumbuhnya kelompok-kelompok ekstrem, dan intoleransi yang meningkat terhadap minoritas agama dan golongan-golongan 'heterodoks'". Lagi pula "pejabat pemerintah kadang-kadang membiarkan atau malah mendukung kegiatan-kegiatan kelompok ekstrem, seperti Front Pembela Islam".
Tentu saya menyadari konflik agama merupakan masalah rumit. Namun baik kemauan maupun kemampuan Jokowi sudah terbukti di Jakarta, misalnya dalam kasus Lurah Susan. Lagi pula janji kampanye pilpresnya untuk melindungi minoritas disambut hangat. Menurut beberapa survei, Jokowi meraih 80 persen suara minoritas-suatu kepercayaan besar. Sebagai Wakil Presiden 2004-2009, Jusuf Kalla juga bersikap tegas terhadap kelompok ekstrem. Pendeknya, ada alasan berharap bahwa Presiden Jokowi akan berusaha lebih keras ketimbang Yudhoyono dalam melindungi korban kekerasan, termasuk kelompok heterodoks, seperti Ahmadiyah dan Syiah.
Perihal Papua, pemantau asing umumnya berpendapat bahwa warga daerah itu masih tertindas. Mereka belum menikmati hak-hak demokratis bangsa Indonesia lainnya sejak reformasi. Misalnya, Freedom House (2014), lembaga swasta ternama yang mengukur tingkat kebebasan di semua negara di dunia, melaporkan bahwa di Papua dan Papua Barat "kebebasan berbicara dibatasi secara rutin dan perkumpulan warga dibubarkan secara paksa".
Terus terang saya khawatir masyarakat Indonesia non-Papua dan para politikus pusat akan dikejutkan oleh sebuah ledakan politik besar di Papua. Ledakan itu pasti akan dimanfaatkan aktivis, dalam dan luar negeri, untuk menuntut kemerdekaan. Tantangan ini berat, tapi kurang diperhatikan politikus pusat, termasuk semua presiden pada era reformasi. Untungnya kampanye pilpres Jokowi menjanjikan pendekatan baru. Papua akan diberi prioritas tinggi, antara lain dalam rangka pembangunan negara maritim.
Demi persatuan bangsa dan peningkatan peran negara Indonesia di dunia, mudah-mudahan pendekatan baru ini akan berhasil.
Profesor emeritus Ohio State University, Amerika Serikat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo