Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada penghuni liar di Istana Wakil Presiden. Kehadirannya sempat mengganggu rapat yang dipimpin Boediono, wakil presiden terpilih dalam pemilihan presiden pada 8 Juli 2009-mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Beruntung, meski pandai menyusup bahkan hingga di atap Istana, penghuni liar itu tak bisa membawa senjata dan sejenisnya. Maklum, penghuni liar yang ahli menyusup itu adalah kucing. Ya, kucing! Sambil meong-meong, mereka biasa kejar-kejaran di atas plafon Istana. Suaranya gedubrak-gedubruk.
"Suatu kali memang pernah terjadi, ada kucing ikut rapat, meong-meong di atap," kata Yopie Hidayat, staf khusus Boediono bidang komunikasi dan informasi, di Istana Wakil Presiden, Jumat dua pekan lalu. Ketika itu ia mendampingi Boediono saat menerima Tempo untuk wawancara khusus.
Gedung Istana Wakil Presiden di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, menurut Boediono, gentingnya banyak yang pecah. Walhasil, jika hujan turun, air merembes ke plafon. Rupanya, genting yang pecah itu menjadi celah bagi kucing liar untuk masuk. Lantaran banyak genting yang pecah itulah, kata Boediono pada kesempatan yang sama, "Saya pernah memesan agar atap gedung wakil presiden itu diperbaiki."
Di istana yang semula banyak gentingnya yang pecah itulah Boediono mengabdikan diri sebagai wakil presiden selama lima tahun. Pada 20 Oktober ini, ia harus meninggalkan tempat itu. Yang akan kembali menempatinya adalah Jusuf Kalla. Sebelum mendampingi presiden terpilih Joko Widodo dalam pemilihan presiden pada 9 Juli lalu, Kalla memang pernah menjadi wakil presiden mendampingi Presiden Yudhoyono selama lima tahun, yakni 2004-2009.
Selama menjadi wakil presiden, Boediono menerapkan berbagai rupa perubahan kecil di Istana Wakil Presiden. Salah satunya, ia getol menghemat energi. Untuk itu, Menteri Keuangan di era Presiden Megawati Soekarnoputri ini meminta Pasukan Pengamanan Presiden menyetel mesin penyejuk udara pada posisi yang tidak terlalu dingin. Begitu juga lampu penerangan. Jika tak dipakai, pet, mesti dimatikan. "Penghematan tersebut berhasil menurunkan biaya teknis operasional kantor hingga 30 persen," kata pria 71 tahun ini.
Bagi Boediono, menengok cucu merupakan hobi. Ia biasa melakoni kegiatan menyenangkan ini jika ada waktu senggang. Namun, sejak masuk Istana Wakil Presiden, segirang-girangnya Boediono mendatangi cucu, terselip perasaan tak enak hati. Sebab, setiap kali Boediono mengarungi jalanan ke tempat cucunya, yakni di bilangan Jalan Ampera, Jakarta Selatan, ada banyak orang ikut repot.
Maklum, sejak menjadi wakil presiden, mau tak mau, ke mana-mana mesti ada pengamanan. Jika Boediono mau lewat, jalanan harus "disapu" lebih dulu. Arus kendaraan dihentikan. Pasukan pembersihnya angker pula, terdiri atas jip dan motor pengawal yang ditunggangi personel Paspampres bersenjata lengkap.
Ogah berlama-lama memendam rasa sungkan, Boediono membujuk anaknya, Dios Kurniawan, agar mau memboyong keluarganya ke rumah dinas wakil presiden di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat. "Agar kalau menengok cucu tak perlu pakai ngeong-ngeong," kata Boediono. Ngeong-ngeong yang dimaksud Boediono tak lain adalah suara sirene kendaraan Paspampres yang mengawalnya di jalanan.
Di rumah dinas wakil presiden ada paviliun yang berdekatan dengan bangunan utama. Terdiri atas kamar-kamar dan ruang keluarga, di situlah Dios beserta istri, Devina, dan ketiga anaknya (Ardian, Andina, dan Alisha) tinggal. "Saya minta mereka selama lima tahun ikut tinggal di rumah dinas," kata Boediono, "Semata-mata agar tak merepotkan orang jika saya hendak menengok cucu."
Sebagai wakil presiden, Boediono memang harus menyesuaikan diri dengan protokoler. Misalnya, pria kelahiran Blitar, Jawa Timur, ini mesti beradaptasi dengan kehadiran personel pengamanan di sekujur rumah. Tengok saja, di seberang rumah ada dua panser barakuda nongkrong. Di halaman, anggota militer berjaga dengan senapan laras panjang. Adapun di lantai satu, Paspampres dengan pistol di pinggang siap siaga.
Soal prosedur tetap pengawalan itu membuatnya berpikir-pikir kalau hendak menghadiri kondangan. Ia selalu berpikir agar tuan rumah tak kelabakan memenuhi permintaan Paspampres. Itu sebabnya Boediono terpaksa menyaring undangan. Jika tuan rumah dinilai tak siap dengan kerepotan yang harus dihadapi dengan kehadiran Boediono, ia tak akan datang. "Cukup kirim bunga dan ucapan," katanya.
Di samping pengawal, masih banyak prosedur lain yang harus dihadapi Boediono dan keluarga. Soal makanan, misalnya. Semua hidangan yang akan disantap Boediono dan istrinya, Herawati, wajib diuji. Pengawal akan meneteskan sejenis cairan penguji untuk memastikan makanan itu aman dikonsumsi. "Juga ada alat penguji jumlah bakteri," kata Yopie Hidayat.
"Tidak lucu kalau saya sampai bolos kerja karena salah makan," kata Boediono mengenai prosedur pengujian makanan itu.
Suatu kali, dalam sebuah acara makan-makan, terlihat ada menu sate Padang, dan Boediono ingin sekali mencicipinya. Setelah ditunggu-tunggu, eh, tak juga ada suguhan sate Padang di depannya. Usut punya usut, ternyata sate itu tak lolos uji pengamanan ala Paspampres. Pada saat lain, Boediono harus puas makan rujak tanpa bumbu. Gara-garanya, bumbu rujaknya tak lolos uji oleh Paspampres.
Makanan yang dibuat Tumiyem, juru masak keluarga, pun diperlakukan serupa. Tumiyem atau Bu Yem adalah koki keluarga yang bekerja pada Boediono sejak ia menjadi Menteri Keuangan di era Megawati. Bu Yem ikut hijrah juga ke rumah dinas wakil presiden mengikuti Boediono dan Herawati.
Ketika pindah ke rumah dinas, Boediono tak memboyong banyak barang. Selain sandang, ia hanya membawa sejumlah buku, terutama yang menyangkut politik. Baginya, politik merupakan hal asing yang baru banyak ia sentuh ketika menjadi orang nomor dua mendampingi Yudhoyono. "Selama ini saya banyak belajar ekonomi. Setelah praktek, saya sadar antara politik dan ekonomi memang tak bisa dipisah," kata Boediono. Buku yang dibacanya adalah dua jilid The Outline of History (1925) karya penulis Inggris, H.G. Wells.
Bersama keluarganya, sejak 2 Oktober lalu Boediono kembali ke rumahnya di Mampang Prapatan XX, Jakarta Selatan. Meski lebih sederhana, ia mengaku lebih suka di sini ketimbang di rumah dinas wakil presiden.
Hati Boediono makin nyes bila berada di rumahnya yang lain, di Dusun Pikgondang, Desa Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Kota Gudeg memang selalu mengingatkannya pada masa-masa awal membangun rumah tangga. "Dari beli tanah, membangun pelan-pelan. Belum jadi betul pun sudah saya tempati," kata ayah dua anak dan kakek lima cucu itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo