Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jaya Kurnia—bukan nama sebenarnya—akhir-akhir ini merasakan perubahan drastis pada tubuhnya. Pria 30 tahun itu tak bugar seperti dulu lagi. Ia lebih gampang capek. Tubuhnya cepat lemas. Kegiatan fisik rutin saja bisa membuat napasnya tersengal-sengal, seperti orang habis berlari. "Kalau tahu bakal begini, mungkin saya tak mau," kata Jaya ketika ditemui di Kepolisian Sektor Ibun, Bandung Barat, Selasa pekan lalu.
Tubuh Jaya rewel setelah dia menjalani operasi pengangkatan ginjal pada Desember tahun lalu. Jaya tak kuat lagi seharian mengemudikan kendaraan seperti sebelum operasi. Sebelumnya, selama bertahun-tahun, Jaya bekerja penuh sebagai sopir angkutan kota rute Majalaya-Tegallega, Bandung.
Selain mengeluhkan kondisi tubuhnya, Jaya semakin waswas setelah polisi mengusut kasus jual-beli ginjal yang melibatkan teman akrab dia, Yana Priatna alias Amang. Maklum, Jaya mengakui menjalani operasi copot ginjal bukan karena alasan kesehatan atau untuk menyumbang kerabat dekat yang gagal ginjal. Jaya melepas satu ginjalnya murni karena tergiur iming-iming uang.
Kala itu, Jaya sedang terbelit urusan utang hingga puluhan juta rupiah. Penghasilan dia sebagai sopir hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Utang yang segera jatuh tempo tak mungkin dilunasi hanya dengan menarik angkot. Oktober tahun lalu, datanglah Amang, yang menawarkan uang Rp 75 juta, asalkan Jaya mau melepas ginjalnya untuk seseorang di Jakarta. "Pas saya lagi butuh, uang sebesar itu saya pikir sangat banyak," ujar Jaya.
Tawaran Amang membuat Jaya berhari-hari sulit tidur. Saban malam ia membayangkan bagaimana rasanya mendapatkan uang besar, dengan cepat pula. Penjelasan Amang bahwa risiko hidup dengan satu ginjal terbilang kecil pun terus terngiang. Jaya akhirnya bertekad melepas satu ginjal, asalkan Amang menjamin uang Rp 75 juta akan ia terima utuh.
Setelah berunding lagi, Amang menjanjikan semua biaya sebelum dan setelah operasi, termasuk ongkos perawatan rutin, akan ditanggung bos di Jakarta. "Sampai akhirnya operasi itu diputuskan pada akhir Desember."
Pada pekan ketiga Desember 2015, sekitar pukul tiga dinihari, Amang datang menjemput Jaya ke rumahnya di Desa Lenggang, Kecamatan Ibun. Amang datang bersama satu teman dan seorang sopir. Sepanjang perjalanan, Jaya tidur. Sebelum terlelap, ia diberi segelas air putih kemasan.
Pagi harinya, mereka sampai di sebuah rumah sakit. Namun Jaya mengaku tak mengingat nama rumah sakit tersebut. Dia pun tak pernah dipertemukan dengan calon penerima ginjalnya. Jaya hanya diminta menunggu sejenak di depan sebuah ruangan. "Kemudian saya diperiksa. Hari itu juga saya dioperasi."
Ketika sadar, Jaya bercerita, dia sudah berada di sebuah ruang perawatan. Setelah Jaya dirawat selama tiga malam, Amang menjemputnya untuk pulang ke Majalaya. Seminggu kemudian, Jaya diajak Amang kembali ke rumah sakit yang sama di Jakarta untuk menjalani kontrol. "Ya, sekali itu saja. Sampai sekarang sudah tak pernah ke rumah sakit itu lagi," kata Jaya.
Sebagian hasil penjualan ginjal dia pakai untuk melunasi utang. Selebihnya amblas untuk berbagai kebutuhan keluarga. Yang tersisa tinggal dua bekas jahitan operasi sepanjang 3 sentimeter dan 10 sentimeter di bagian kiri dan bawah perutnya. Jaya hanya berharap kehidupan keluarganya bisa cepat kembali normal. "Saya lega bisa melunasi utang, juga berharap bisa mencari nafkah lagi," ujarnya.
Jaya bukan satu-satunya warga Majalaya yang tergoda menjual organ tubuh melalui jaringan Amang dan kawan-kawan. Kepada polisi, Amang dan kawan-kawan mengaku telah menjadi perantara penjualan ginjal belasan orang yang tinggal di desa bertetangga. Amang sendiri tinggal di Kampung Kubang, Desa Wangisagara, Kecamatan Majalaya. Penelusuran polisi menemukan sekitar 30 penduduk desa di perbatasan Kecamatan Ibun dan Kecamatan Majalaya kini bertahan hidup dengan satu ginjal.
Di Desa Wangisagara, misalnya, polisi menemukan dua orang yang melepas ginjal setelah terbius bujukan komplotan Amang. Menurut Kepala Desa Wangisagara, Enjang Gandi, kedua "korban" penjualan ginjal itu berumur 49 tahun dan 19 tahun. Lelaki yang lebih tua menjalani operasi pada Oktober 2014. Sedangkan yang lebih muda melepas ginjalnya pada Agustus 2015. Keduanya sama-sama dioperasi di rumah sakit di Jakarta.
Dari penelusuran pamong desa, menurut Enjang, ada sejumlah warga lain yang pernah ditawari kesempatan menjual ginjal oleh Amang dan kawan-kawan. Beberapa di antaranya langsung menolak. Ada juga yang sampai bernegosiasi soal harga, tapi tak mencapai kesepakatan. Warga yang jadi menjual ginjalnya cenderung menutup diri. "Mereka rata-rata malu begitu ketahuan," kata Enjang.
Si lelaki 19 tahun, misalnya, kini memilih mengurung diri di rumah kontrakannya di Desa Wangisagara. Padahal, sebelum kasus ini terbongkar, rumah kontrakan dia biasanya menjadi tempat kumpul pemuda desa. "Sekarang dia tertutup dan jarang ke luar rumah," ujar Emak, 40 tahun, tetangganya. Ketika wartawan menyambangi rumah tersebut pada akhir Januari lalu, pemilik rumah menolak diwawancarai dan meminta wartawan segera pergi.
Menurut Enjang, warga Desa Wangisagara mudah terbuai iming-iming uang karena umumnya hidup pas-pasan. Hampir 80 persen dari 14 ribu penduduk Desa Wangisagara bekerja sebagai buruh pabrik dan buruh tani. Kehidupan penduduk desa semakin sulit setelah sebagian dari mereka menjadi korban pemecatan massal. Enjang mencatat ada 13 pabrik yang menghidupi hampir 7.000 warga Desa Wangisagara yang bangkrut sejak 2014. "Itu tentu saja berdampak buruk pada perekonomian warga," kata Enjang.
Nur Haryanto (Jakarta), Dwi Renjani (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo