Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kambing sakit, ke puskesmas

Sanmurji membawa kambing hamilnya yang sakit ke puskesmas. tapi naas, kambing yang dianggap membawa rejeki itu mati. upacara penguburan & selamatan segera dilakukan. (ina)

7 Desember 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEMI kambing, Sanmurji rela berkorban. Sudah sepuluh hari hewan milik buruh tani di Desa Grantung (Purbalingga, Jawa Tengah) itu gemetar dan tidak bisa jalan. Sanmurji mencekokinya dengan lima bungkus puyer. Tidak seperti biasanya, obat itu tidak mujarab. Apa boleh buat: laki-laki 45 tahun itu lantas membawa kambingnya. Ke mana? Puskesmas. Ya, walaupun terpaksa berjalan kaki sejauh 10 km, kemudian menyeberangi sungai (sampai sebatas perut) seraya menggendong kambing yang lagi bunting itu. Mengapa harus malu - walau sepanjang jalan banyak orang menertawakannya? "Kambing itu telah mengubah kehidupan saya, yang tadinya miskin," ujar Sanmurji. Sayang. Di puskesmas, satu-satunya dokter yang ditempatkan di sana (dokter manusia, bukan binatang) sedang pergi. Tiga jam mereka berdua menunggu. Dan sang kambing akhirnya mengembuskan napas terakhirnya di pangkuan tuannya - benar, di pangkuannya. "Kalau saja dokter ada, mungkin kambing saya tidak akan mati," katanya, meratapi anggota keluarganya yang telah melahirkan 23 ekor anak itu. Maka, ia pun menggendong almarhumah pulang, melewati rute semula. Dengan sedikit upacara, dikuburkannya sahabatnya itu di pekarangan - yang ia beli dari hasil menjual 14 ekor anaknya. Sesudah itu Sanmurji masih juga mengadakan selamatan. "Saya harus menghargai jasa-jasanya kepada saya, dong. Kambing 'kan juga makhluk Tuhan," kata Sanmurji. Benar. Malah tidak cuma Sanmurji yang sedih. Istrinya pun merasakan hal itu. Hanya, "Kesedihan saya bukan lantaran melihat kambing itu sakit," katanya. Melainkan karena uang yang disediakan untuk membayar pengobatan itu diambil dari hasil kerjanya sebagai buruh tani. Sanmurji sendiri, sejak kambing itu sakit, melalaikan mencari nafkah setiap hari kerjanya cuma mengelus-elus kambing itu. Padahal, katanya, "Selama saya menjadi istrinya, saya tidak pernah dielus-elus begitu, lho."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus