Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Maria di balik tirai besi

Kisah 6 gadis yang melihat cahaya maria di bukit pod brdo, medjugordje, yugoslavia. sejak itu para penziarah meluber dari segala penjuru. konflik antara uskup & ordo fransiskan semakin tajam. (sel)

7 Desember 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CERITA ini dimulai pada bulan Juni 1981, di tengah hari yang terik, di dekat Biakovici, daerah pegunungan penghasil anggur dan tembakau di bagian barat Yugoslavia. Dua orang gadis, Ivanka Ivankovic dan Mirjana Dragicevic, berjalan menyusuri perbukitan hijau. Ivanka, 15, ramping dan berkulit agak gelap, dan Mirjana, 16, berambut pirang, adalah dua dari tiga sekawan yang bersahabat sepanjang masa. Yang seorang lagi adalah Vicka. Gadis yang juga sebaya ini, lantaran gagal dalam ujian sekolah, menghabiskan kekecewaannya di Mostar, 15 mil jauhnya dari situ. Sudah sekitar pukul lima sore - dan mereka sudah melintasi Podbrdo, bukit di balik dusun ketika Ivanka mendadak berhenti dan menunjuk ke langit. "Lihat," katanya, sembari menuding ke bayangan seorang wanita yang terbentuk dari cahaya di angkasa. "Gospa!" Gospa adalah istilah mereka untuk "Sang Pewarta Rahayu". Ibu Yesus itu membayang dalam bentuk sinar terang. Tapi bagi Mirjana tidak tampak ada keajaiban apa pun. Tangannya mengibas katanya, "Mana mungkin beliau menampakkan diri ke kita." Keduanya lantas lewat. Tak berapa lama, di dusun, mereka, dimintai tolong oleh Milka Pavlovic, bocah 13 tahun, untuk menggiring domba-domba gembalaannya ke Podbrdo. Nah, kali inilah Ivanka menunjuk lagi ke arah yang sama dengan yang tadi. Malah sekarang Mirjana dan Milka melihat pula cahaya yang bersosok itu, di kejauhan 200 yar, dan tampak pula seolah ada Yesus kecil di haribaannya. Semua ternganga. Tiba-tiba datang pula Vicka ke bukit itu - bersama dua anak lelaki yang kebetulan sama-sama bernama Ivan. Yang tua, Ivan 20 tahun, melihat pula cahaya putih yang bergerak. Ivan muda, 16 tahun, meski kelihatan ragu-ragu, juga melotot ke arah cahaya. Bagi Vicka lebih jelas: ada bayangan berjubah putih, rambutnya yang hitam menyembul sedikit dari balik kerudungnya. Sosok bercahaya itu bahkan seperti mengundang mereka untuk mendekat. Tapi tak ada yang berani. Vicka dan Milka malah lari ke rumah. Kakak Milka, Marija, 16 tahun, gadis matang yang biasa didatangi orang sebagai tempat mengadukan segala masalah, hanya tertawa mendengar cerita adiknya. Pada akhirnya, di senja itu semua tidak menganggap serius pengalaman di puncak bukit itu. Orang bahkan bercanda dan berolok-olok. "Mestinya kita mengejar dan menyergapnya," kata seseorang. Yang lain menimpali, "Mestinya ia mengirim salam ke orangtua kita, seperti layaknya wanita yang sopan." Kakak tertua Vicka lain lagi - menganggap jangan-jangan mereka itu hanya melihat semacam piring terbang, seperti cerita di tv itu, lho. Tapi para orang tua di dusun itu tidak yang menganggapnya lelucon mereka semua was-was. Ibu Vicka beranggapan, pasti ada seseorang yang merasuki alam pikiran anak-anak. Sebab, pikirnya pengalaman mereka itu "tidak selayaknya". Paman Mirjana, Simun, yang biasanya jarang bicara, malam itu ikut pula berpendapat. Katanya, sebagai gadis cerdas dari Sarajevo, yang bukan udik lagi, Mirjana tidak sepantasnya berlaku begitu. Bahkan Paman Simun setengah mengancam: jika Mirjana tidak tutup mulut, bakal ketimpa persoalan. Keesokan harinya kehidupan berjalan seperti biasa. Semua orang mulai kerja sejak fajar, lantas berhenti menjelang petang. Tapi Mirjana, Ivanka, dan Ivan yang muda memutuskan kembali ke bukit ketika hari rembang petang. Ikut pula Jakov, 10, sepupu Mirjana yang selalu ingin tahu. Vicka dan Marija, yang tidak mencemooh lagi, juga tak ketinggalan. Sejenak setelah lewat pukul enam, mereka mulai melihat penampakan itu - sekali lagi, cahaya itu menyuruh mereka mendekat. Kali ini mereka mau. "Kami mendaki bukit dengan kecepatan tak terkira, seperti tersedot pusaran angin," tutur Vicka di kemudian hari. "Rasanya, tak masuk akal," kata paman Mirjana, yang - ternyata - dengan diam-diam, bersama beberapa warga dusun lain, membuntuti anak-anak itu. "Paling tidak diperlukan 12 menit untuk mendaki bukit itu. Dan mereka melakukannya hanya dua menit. Saya gentar," tambah si paman. Begitu para warga dusun itu sampai di pucuk mereka dapati keenam anak tadi sudah bersimpuh menekuk lutut di batu, dan berdoa. Keenamnya memang melihat cahaya itu: makin jelas sosoknya. Marija semula, seperti pengakuannya belakangan, "Hanya melihat garis putih yang samar-samar. Saya mulai berdoa, dan bayangan itu lantas membentuk wajah, tangan ... dan makin gamblang." Adalah Ivanka yang pertama mengajukan pertanyaan: apakah ibunya - yang meninggal dua bulan lalu di rumah sakit - ada kirim pesan kepada dia dan saudara-saudaranya. Gospa itu menjawab, "Ibumu baik-baik saja, Nak. Ia bersamaku. Patuhlah kepada nenekmu ia sudah tua, tidak bisa lagi bekerja." Kepada Gospa, Marija mengadu: orang-orang pasti tidak akan mempercayai mereka tentang pengalaman di pucuk bukit ini. "Mereka pasti mengira kami semua sinting," katanya. Tidakkah lebih baik jika Gospa mengirim tanda-tanda, untuk memperjelas? Sang Pewarta Rahayu hanya mengembangkan senyum, menggeleng. Lantas bilang: besok ia akan menampakkan diri lagi, dan mereka - keenam remaja itu - akan seterusnya melihat dirinya. Sedangkan hari itu, 25 Juni 1981, harap dianggap awal kebenaran penampakannya bagi para jemaah di situ. Kabar tentang penampakan itu menyebar seperti kobaran api: di hari ketiga, Jumat, ribuan orang berkerumun di pucuk bukit, di bawah terik matahari. Di hari Minggu bahkan 15 ribuan orang ikut berkumpul. Terjadi kegaduhan ketika anak-anak itu menjelaskan wujud sebenarnya cahaya tunggal itu. Kepada khalayak, mereka juga bersedia "menjadi perantara" kalau ada pertanyaan kepada Gospa. Banyak yang ingin tahu kabar para saudara yang merantau, lainnya mohon petunjuk jodoh, bahkan ada yang menyodorkan bayi cacat, minta penyembuhan. Cahaya bersosok itu mengidentifikasikan dirinya sebagai Perawan Maria. Ia bilang, "Saya datang sebagai Ratu Kedamaian." Segera setelah itu, kejadiannya seperti dalam film: di langit muncul huruf-huruf bercahaya, mir, yang berarti damai. Huruf-huruf besar itu tampak jelas bagi semua orang konon, dan ujungnya berakhir di gereja dusun itu, Medjugorje. Bapak pendeta wilayah tengah melakukan retret (khalwat), jadi tidak tahu. Tapi asistennya yang tua tahu itu, dan segera memberitahukan kepada para umat untuk tidak ikut-ikutan dalam histeria di bukit. Lebih baik melancarkan doa harian seperti biasa, katanya. Polisi turun tangan: menganjurkan para orangtua mengawasi anak-anak mereka. "Jadilah semua itu semacam kegilaan religius. Dan pemerintah serta gereja lokal menjalan kewenangan mereka," tutur Gitta Sereny dalam The New York Times Magazine Oktober lalu. Asisten pendeta bergabung dengan petugas gereja dari desa-desa tetangga menginterogasi anak-anak itu, dan merekam hasilnya untuk diserahkan ke Uskup. Dalam waktu satu minggu pertama setelah kejadian, keenam anak itu juga diperiksa polisi. Dua dokter umum dan dua ahli saraf dua kali melakukan pemeriksaan - lantas mengatakan, "Mereka sehat walafiat, otak dan tubuh mereka." Di minggu yang sama, ratusan orang menyaksikan keajaiban pengobatan terhadap seorang bocah laki-laki tiga tahun. Si buyung yang bisu tuli dan lumpuh sejak lahir ini digendong orangtuanya menuju bukit. Ia diletakkan di tanah menjelang cahaya bersosok itu hilang. Mendadak ia bisa berdiri dan berjalan, konon. Setengah jam kemudian, di restoran yang jaraknya beberapa mil dari pucuk bukit, anak itu sudah ngomong, dan kepada orangtuanya yang tercengang-cengang ia minta minum dan makan. Sampai belakangan ini, seluruh Yugoslavia tetap bersemangat terhadap kejadian di dusun itu. Para wartawan dan petugas tv datang berombongan ke Medjugorje. Hari ketujuh setelah keriuhan, Pater Jozo Zovko seperti laiknya para paderi lokal, seorang Fransiskan - kembali dari retret. Seperti juga pak polisi, Pater Jozo beranggapan semua itu hanya histeria massa. Maka, ia memerintahkan dua orang pekerja sosial untuk mengajak keenam anak itu pergi "bertamasya". Pokoknya, menyingkirkan mereka, sampai penampakan itu secara teratur akan terus ada, jika memang begitu. Sekitar enam mil dari desa, anak-anak itu minta mobil dihentikan. Mereka keluar. Lantas berlutut, dan mengucapkan doa-doa, di tepian jalan itu. Di kejauhan, di Bukit Podbrdo, tempat ribuan orang menunggu-nunggu, mendadak muncul cahaya benderang - yang seolah-olah mendekati keenamnya. Ivanka lalu bertanya kepada kedua pekerja sosial itu, apakah mereka pernah melihat hal itu. Jawab mereka: ya. * * * Hari ini, paling tidak sampai Oktober silam, tak kurang dari dua sampai tiga juta orang sudah mendatangi Medjugorje. Belum ada acara ziarah resmi - karena Vatikan dan sidang para uskup sama-sama bersikap "menunggu perkembangan". Namun, tercatat sekitar 100 ribu orang pada 25 Juni lalu ikut datang ke situ, memperingati ulang tahun keempat hari penampakan. Seiring dengan segala kegegapgempitaan itu, pedusunan di situ secara fisik tak ada perubahan: tetap pada bentuknya seperti sejak berabad-abad lalu. Ada empat pedukuhan, dihuni 400-an kepala keluarga (kk) yang hidup dari hasil bumi. Pedukuhan dan desa itu tetap teronggok diam di kawasan berbukit-bukit. Biakovici, dukuh tempat tinggal keenam anak yang diberi "daya lihat lebih" itu, berada di dekat bukit tempat pertama kali cahaya bersosok itu kelihatan. Ada 30-an kk di Biakovici, tinggal berdekat-dekatan di sepanjang satu-satunya jalan di situ. Jalan tak beraspal ini merupakan sarana mondar-mandir semua warga, termasuk kawanan biri-biri dan domba. Medjugorje, desa terbesar dan tempat berdirinya gereja wilayah, setara juga kondisinya: tak ada jalan aspal, lampu jalanan apalagi, dan sarana hiburan umum terlebih pula. Komersialisasi juga tidak di jalankan - katakanlah misalnya penjualan suvenir atau kartu pos. Kecuali seorang pedagang buah di luar desa, mencangkung di bawah pohon, datang pagi hari dan pulang malamnya, yang memasang harga tak tetap, disesuaikan dengan permintaan per hari. Sebagian pemilik rumah di situ sudah bertahun-tahun bekerja di Jerman. Umumnya rumah-rumah ini besar dan bersih, serta berbau modern. Selebihnya adalah gubuk para petani yang lebih kecil, yang pada dasarnya tempat tinggal ternak peliharaan mereka juga. Komunitas dan suasana begini rasanya susah dicari bandingannya di negeri-negeri Barat. Arus perubahan yang terjadi agaknya bergerak dalam sikap batin warga Medjugorje. Lebih dari sekadar menerima kenyataan bahwa Perawan Maria telah muncul saban hari dan menjadi "penasihat rohani", adat mereka berubah. Maka, berlakulah istilah sebelum dan sesudah, seperti sebelum dan sesudah Masehi saja. Itu dikaitkan dengan sebelum penampakan dan sesudah-nya. Sebelumnya, para petani selalu bersaing mengunggulkan dukuh masing-masing sesudahnya, tidak lagi, konon. Sebelumnya, mereka bekerja dari pagi sampai petang, sesudahnya mereka berhenti bekerja pada tengah hari lantas menyiapkan keperluan misa sore. "Kami dulu berpikir untuk selalu bekerja sepanjang hari, baru merasa pekerjaan selesai," kata seseorang. "Kini, kami cukup bekerja sampai tengah hari, toh kenyataannya semua beres juga." Petani ini tertawa. "Lebih dari itu, kami juga tidak lagi sembarangan bersumpah atau minum-minurn sampai mabuk. Ya, mana mungkin kami melakukan itu lagi, kalau tiap hari Sang Pewarta Rahayu mendatangi desa kami?" "Sebenarnya sederhana saja," kata seorang ibu di Biakovici . "Sebelumnya kami pada tidak peduli sekarang, sama-sama saling memperhatikan. Dan perhatian tidak hanya untuk warga desa kami, tapi juga bagi warga desa-desa tetangga. Syukur-syukur seluruh dunia." Tiap hari, pukul 5.45 petang, seluruh pedukuhan senyap. Semua orang berkumpul di gereja. Pada hari Rabu dan Jumat tidak satu pun cerobong rumah mengeluarkan asap - itulah hari-hari puasa cara Katolik, seperti yang ditentukan sang Gospa. Seluruh kehidupan dipusatkan pada sebuah gereja tua yang besar dan dingin di Medjugorje. Pada musim dingin hanya beberapa peziarah yang datang, tetapi sepanjang hari-hari libur, akhir minggu dan sepanjang musim panas, pelayanan gereja dimulai pukul 6 pagi sampai senja dan diberikan dalam empat bahasa. Pengakuan dosa diberikan tiap hari dilayani oleh 12 pendeta yang semuanya duduk menunggu di halaman. Gereja penuh di musim panas. Umat berjejalan, berdiri di bagian belakang, di lorong-lorong, sebagian bersimpuh di depan altar, atau duduk merapat di bangku-bangku. Ribuan lainnya ikut bergerombol di bagian luar. Pada saat-saat begini tidak ada suara berisik terdengar - kecuali domba-domba yang mengembik di padang penggembalaan, di kejauhan. Semua kegairahan itu berlangsung setelah seminggu pertama penampakan cahaya bersosok itu. Yaitu setelah Pater Jozo ikut pula tergetar oleh histeria massa. Dan ia punya pengalaman pribadi tentang ini. Di hari kedelapan setelah penampakan, "Saya kebetulan tengah berdoa sendirian di gereja," tutur si Pater. "Dalam doa saya memohon petunjuk, apa yang harus saya lakukan menghadapi umat, terutama terhadap keenam anak yang mengaku telah melihat sesuatu itu." Saat itu pula ia mendapatkan jawaban, berupa suara entah dari mana, "Pergilah dan lindungilah anak-anak itu." Ia tersentak, lantas bergegas ke luar. "Begitu melewati pintu tengah, anak-anak itu tiba-tiba berlarian datang dari sebelah kiri, dan menangis," tutur Pater Jozo. Anak-anak itu minta perlindungan dari jamahan tangan polisi. Pater Jozo menyembunyikan mereka di rumah staf gereja. Pater Tomislav Vlasic, Fransiskan lain, yang kadar intelektualitasnya lebih tinggi dan seorang ahli liturgi, datang juga ke Medjugorje pada hari-hari pertama. Begitu melakukan wawancara dengan keenam anak itu, ia langsung percaya. "Semua jelas buat saya," katanya. "Kecuali Mirjana, anak-anak itu semua biasa saja seperti lazimnya anak-anak petani dusun, dengan daya imajinasi yang terbatas. Mereka telah mendapatkan pengalaman keagamaan yang murni." Tapi bagi pemerintah pusat dan penguasa gereja, peristiwa itu sampai sekarang - terutama dengan makin banyaknya pendatang, juga dari luar negeri - tetap dicurigai sebagai hal yang mengandung tujuan-tujuan terselubung. Maka, dengan segala syakwasangka, kejadian itu telah dijadi-kan bumbu pelengkap dalam perselisihan paham antara Uskup dan ordo Fransiskan. Perkembangannya menimbulkan dua persoalan. Pertama, Pater Jozo telah berkhotbah tentang 40 tahun Musa di padang pasir. Pemerintah pusat menganggap khotbah itu menyindir kekuasaan komunis yang sudah 40 tahun di negeri itu. Pater Jozo ditangkap, divonis tiga tahun. Delapan belas bulan kemudian ia dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi. Apa boleh buat - karena 40 ribu orang menandatangani petisi atas namanya. Pater kemudian harus bertugas di tempat baru, jauh sekali dari umatnya semula. Kedua adalah buntut, yang tidak lebih enak. Pater Vlasic, liturgis yang lantas menjadi penasihat rohani pertama bagi keenam anak yang akrab dengan cahaya bersosok itu, pada 1982 telah mencoba minta petunjuk ke bayangan itu mengenai situasi hubungan antara Uskup dan para pater Fransiskan. Permohonan petunjuk itu disampaikan oleh anak-anak itu, tentu saja. Jawabannya, konon, "Uskup telah bertindak gegabah. Mestinya ia bersikap kebapaan dan menunjukkan rasa kasih dan harga dirinya kepada para Fransiskan, sehingga para Fransiskan itu menghormatinya dan berdoa untuknya." Tak sampai setahun kemudian, Uskup mengirimkan seorang anggota ordo Yesuit untuk melakukan penyelidikan ke Medjugorje. Kedatangannya telah dibebani prasangka bahwa penampakan itu lancung. Dua minggu di lokasi, ia berubah sikap: percaya. Toh yang ia laporkan kepada Uskup bukan keyakinannya yang baru itu, tapi sebaliknya. Ia ingin tetap dianggap setia menjalankan kewajiban dari Uskup. Tentu saja ini makin memojokkan kaum Fransiskan yang sudah dicurigai itu. Dalam laporannya ke Uskup, pater Yesuit ini bilang, kapan pun akan mustahil bahwa Bunda Maria akan memberikan pesan (tentang Uskup) seperti itu. Nasihat itu "merupakan lelucon konyol" Pater Vlasic yang disuntikkan ke alam pikiran keenam anak itu. Penampakan cahaya bersosok itu sendiri sungguh lancung. * * * Keenam anak itu, kini, sudah tumbuh menjadi remaja dewasa. Secara rutin tiap senja mereka mendatangi pucuk bukit Podbrdo di musim panas biasanya sekitar pukul 6.45, di musim dingin pukul 5.45, dan sejak dua tahun ini dua kali seminggu datang ke situ menjelang tengah malam. Setiap Kamis mereka menerima petuah-petuah, konon untuk disebarkan ke para penganut dan orang-orang yang percaya di segala tempat. Mereka menjadi bintang-bintang yang selalu dinanti para peziarah yang berkerumun-kerumun. Kitab-kitab Mazmur, kumpulan doa, dan upacara-upacara bersama menjadi kerutinan baru bagi mereka. Dan anak-anak itu, terutama Jakov, yang termuda, sudah berubah - dari orang-orang yang selalu tidak sabaran, seperti lazimnya remaja, menjadi orang dewasa yang santun dan begitu menikmati saat-saat khidmat dalam doa. Penasihat mereka kemudian adalah Pater Slavko Barbaric, seorang Fransiskan, didampingi biarawati pilihan mereka sendiri, Suster Melanie. Pater Slavko, 38, doktor psikoterapi dari Universitas Freiburg, Jerman, ditugasi di Medjugorje sejak Agustus 1984. Apa pun pendapat Uskup Mgr. Pavao Zanic tentang para pater Fransiskan, Pater Slavko yang atraktif ini tak peduli. Dengan sikapnya yang terbuka, ia menilai bahwa pengalaman anak-anak itu tidak perlu diragukan lagi. "Memang, sampai saat ini belum bisa ditemukan pembuktiannya," kata Slavko. "Tapi kami yakin mereka tidak bohong. Gejala-gejala yang mereka alami merupakan pengalaman unik yang hanya bisa dikenali dengan dasar penilaian khusus. Selama ini kita semua berada pada jalur yang buntu, sehingga tidak bisa bersikap positif kepada mereka." Menurut mereka, Sang Pewarta Rahayu berbicara dalam bahasa Kroasia, bahasa sehari-hari mereka. "Dan mereka bisa mendengarkan secara serempak atau sendiri-sendiri di tempat masing-masing," kata Pater Slavko. "Pembicaraan menyangkut segala hal dari pokok sehari-hari, seperti masalah sekolah dan pekerjaan, sampai yang menyangkut keyakinan." "Satu hal tak boleh dilupakan: semua itu terjadi atas remaja-remaja dengan pengetahuan terbatas dan imajinasi kepalang tanggung, dengan perbendaharaan kata yang masih belum luas. Dalam kondisi normal, kecuali bagi Mirjana yang lebih terpelajar, rasanya mustahil itu semua bisa terjadi. So, bagaimana ini semua berlangsung?" tanya Pater sendiri sembari melebarkan senyumannya. "Hanya Tuhan Maha tahu." Amin. Menurut penuturan anak-anak itu, penampakan itu akan berlangsung terus, sampai setelah mereka masing-masing diberi 10 pokok petuah khusus semuanya tentang rahasia masa depan. Masing-masing akan mendapatkan kepastian tentang itu, yang kemudian akan diungkapkan kepada pastor. Di samping petuah-petuah itu, ada lagi pesan-pesan khusus yang lebih bersifat pribadi, yang tak bisa dibicarakan dengan seorang pun. Nah, barulah penampakan akan berakhir. Dua orang telah mendapatkan 10 petuah rahasia yang disebut itu. Mirjana mengalami penampakan yang terakhir pada Hari Natal 1982, meskipun demikian Sang Pewarta Rahayu masih memberinya kesempatan, seperti yang dikatakannya, "Untuk datang pada ulang tahun saya atau jika saya mendapatkan kesusahan," kata Mirjana. Ivanka, dalam peristiwa penampakan 7 Juni lalu, diberi tahu akan mendapatkan pesan kesepuluh pada keesokan harinya, di rumah. Dan keesokannya memang begitulah yang terjadi: Gospa berbicara dengannya selama satu jam, serta tak lupa memberinya kesempatan bertanya jika ada pertanyaan. Ivanka bilang, bisakah kiranya melihat lagi almarhumah ibunya. Gospa tersenyum - dan ibu Ivanka tidak hanya muncul membayang, tetapi juga memeluk dan menciuminya. Lantas, bagaimana akhirnya? Ivanka diam beberapa saat, mukanya memerah, sebelum akhirnya menjawab dengan terbata-bata, "Saya ... saya ...." Ia menyeka matanya dengan punggung tangan, "Saya jadi makin kesepian sekarang. Jauh lebih pedih rasanya dibanding saat Ibu baru meninggal." Tiga orang lagi sudah mendapatkan sembilan petuah. Hanya Vicka yang cuma delapan. Terlambat? "Ah, tidak. Ini urusan Gospa," jawab Vicka. Vicka belakangan ini jadi lebih kurus - tampaknya mengalami ketegangan mental. Selama ini ia dirundung sakit kepala berkepanjangan, akibat kista di otaknya yang tak bisa dioperasi. Namun, seperti ada yang menyetir, ia tetap menerima orang-orang yang datang. Hampir susah untuk menyetop kunjungan-kunjungan itu, yang kemudian mengurungnya sendirian supaya ia bisa bercerita tentang pengalamannya. Itu terutama pengalamannya dengan Jakov, sewaktu mereka berdua diajak Gospa melihat-lihat alam surga, neraka, dan kancah pencucian dosa, pada 1982. Vicka tersenyum mengenang kejadian itu. Terutama karena Jakov, si anak tunggal itu, menolak pergi dengan alasan ibunya akan kesepian ditinggal piknik ke "alam sana" itu. "Saya takut juga, kok," kata Jakov di belakang hari. Toh ia mau. Surga, menurut pengalaman Vicka, merupakan lorong raksasa yang tanpa akhir dan penuh cahaya. Sejumlah orang, susah diterka berapa banyaknya, mengenakan jubah warna-warni, ngobrol-ngobrol dan menyanyi. Sebaliknya di neraka, orang-orang telanjang bulat berbondong-bondong mendatangi pusat api. "Ketika mereka keluar," kata Vicka, "Susah membedakan mana lelaki mana perempuan. Kulit mereka legam, dan penampilan mereka mirip binatang." Tak kalah menarik adalah rinciannya mengenai pusat pencucian dosa. Di sana tidak ada orang hanya abu - di ruang tak tak berlantai, juga tak bertembok. "Tapi di mana-mana terdengar orang mengetuk-ngetuk pintu, seperti terburu-buru ingin keluar. Di kesempatan lain, sesudah berada di alam biasa, Gospa bilang, penampakannya kali ini merupakan yang terakhir di bumi. "Ia berkata, kemunculannya di bumi kami disebabkan banyak orang rajin berdoa. Pernah ia muncul di tempat lain, tapi tidak mendapat sambutan apa-apa," kata Marija. "Saya pikir, ia sebenarnya akan menampakkan diri juga di tempat lain, tapi tidak berwujud manusia seperti yang tampak pada kami." Ketika ditanyakan bagaimana sikapnya menghadapi tanggapan Uskup yang penuh curiga, menghadapi berbagai tes oleh dokter, dan interogasi oleh petugas-petugas negara, Marija menjawab, "Ah, biar saja. Mereka semua menjalankan titah dan tugas masing-masing. Kami juga." Dua tahun lalu, psikiater dan ahli parapsikologi, Dr. Ludvik Stopar, telah mengetes Marija dengan jalan hipnose. Ini dilaksanakan sesaat setelah acara penampakan pada mereka itu. Dr. Stopar mendapati kenyataan, pengalaman Marija ketika menghadapi cahaya bersosok itu berlangsung dalam keadaan sepenuhnya sadar. Cuma, di bawah pengaruh hipnose itu, Marija sempat membocorkan salah satu dari sepuluh petuah rahasianya - yang kemudian disimpan rapi di benak Dr. Stopar. Belum puas dengan hipnose, Stopar juga melancarkan tes-tes neuropsikiatris, medis, somatologis yang semuanya menghasilkan kesimpulan bahwa yang bersangkutan normal dan "tidak menunjukkan gejala patologis sedikit pun." Tahun lalu, 1984, sebuah tim dokter Prancis (semuanya Katolik) juga melancarkan tes selama beberapa minggu. Termasuk tes elektrokardiogram (berkaitan dengan denyut jantung), elektroencefalogram (getaran saraf di otak), dan refleksi saraf mata. Tim kemudian menyimpulkan, fenomena anak-anak itu tidak bisa dijelaskan secara ilmiah. Semua itu, kata mereka, "Adalah situasi ketika doa-doa sudah sedemikian intens, mengalir ke dunia yang lepas dari sekitar. Sebuah kondisi kontemplatif dalam rangka komunikasi yang alamiah antara mereka dan sebuah figur yang hanya bisa berkontak dengan mereka." * * * Ambivalensi justru lahir dari sikap pemerintah Yugoslavia sendiri. Di satu pihak, pemerintah sudah jauh turut campur - dengan alasan demi keselamatan dan keamanan rakyat. Di pihak lain, para pegawai nya - guru-guru, pejabat kota, para pekerja sosial, dokter-dokter yang pernah terlibat dalam urusan itu sungguh enggan diwawancarai. Dan pemerintah dengan tegas menolak pendirian sebuah komisi penyelidik yang khusus untuk menangani keenam remaja itu. Dalam pada itu, pandangan umum para intelektual lokal adalah: pemerintah sebenarnya senang atas semua itu. Satu hal, penguasa pasti bertepuk tangan menyaksikan umat Katolik gontok-gontokan - antara Uskup dan kelompok Fransiskan. Yang juga menyenangkan penguasa adalah masuknya mata uang asing bawaan para peziarah luar. Uskup sendiri layak didengar pendapatnya secara langsung. Di kediamannya di Mostar, ia menerima wartawan The New York Times Gitta Sereny yang kemudian merekam semua percakapan. Monsigneur itu tetap berteguh pada pendapatnya, peristiwa di Medjugorje hanya usaha persekongkolan kelompok-kelompok bid'ah. Ia yakin dengan pendapatnya, "Di balik semua itu adalah kelompok-kelompok Karismatik dan Pantekosta. Dan di atas mereka adalah kaum Fransiskan fanatik, yang hendak mengesahkan diri lepas dari uskup masing-masing dan dari Roma." Mgr. Zanic bahkan sudah menyiapkan tahap-tahap tindakan. "Saya harus melangkah setapak demi setapak," katanya. "Pertama, patung Perawan Maria akan saya suruh pindahkan dari altar. Berikutnya, saya akan melarang anak-anak itu berdoa di depan altar. Lantas, saya akan mengeluarkan larangan kapel itu dipakai sebagai perkumpulan para jemaah yang percaya pada penampakan itu. Segera setelah ada laporan dari komisi penyelidik, saya akan pula menyingkirkan orang-orang Fransiskan dari situ." Uskup memang terlalu yakin bahwa Fransiskan merupakan otak persekongkolan di Medjugorje. Sikap ini memang agak berbeda dengan yang dipunyai Kongres Para Uskup Yugoslavia dan pihak Vatikan: dua pihak tersebut terakhir itu, walaupun tidak mengiakan, kurang bersikap memusuhi. Rasanya masuk akal, karena ordo mana, sih, yang mau mengambil risiko dengan menyebarkan provokasi yang (dituduh oleh Uskup Mostar) berbau penipuan itu. Pada dasarnya, pengalaman berbau paranormal yang menyatu dengan kepercayaan agama seperti itu sudah menjadi kekhasan Gereja Katolik. Orang boleh mengingat kepercayaan tentang kejadian yang sama di Lourdes dan di Fatima.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus