Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Karpet Merah untuk Taipan

Kelompok pengusaha papan atas mendapat kemudahan dalam pengembangan usaha. Berbagai fasilitas diberikan pemerintah, termasuk kemudahan perizinan dan penguasaan lahan dalam jumlah besar. Tak jarang kedekatan dengan kepala daerah menjadi jalan pintas untuk ekspansi. Di sektor perkebunan, pengusahaan lahan jutaan hektare menjadi monopoli segelintir pengusaha. Tak berbeda di industri properti, ketika mayoritas kepemilikan tanah dikuasai para pengembang besar.

20 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LUKITO ANDI tercengang saat mengetahui ribuan hektare area cagar alam di Kalimantan Selatan ternyata sudah bersalin rupa menjadi perkebunan sawit, awal tahun lalu. Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam Kalimantan Selatan yang melihat ada keganjilan dalam proses alih fungsi itu bergegas bertindak. Ia bersurat ke Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Surat serupa dikirimkan ke Dinas Kehutanan dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kalimantan Selatan serta Bupati Kotabaru. "Namun belum ada yang merespons surat saya itu," kata Lukito, Jumat dua pekan lalu.

Mulanya Lukito mengetahui masalah itu ketika tim Balai Konservasi bersama tim Unit Pelaksana Teknis Tata Batas Hutan Kementerian Kehutanan mengecek ulang batas-batas 14 cagar alam di Kalimantan Selatan pada awal 2016. Dari situ diketahui sekitar 4.000 hektare dari total 80 ribu hektare area suaka alam telah berubah wujud menjadi kebun sawit. Kebun itu kepunyaan lima perusahaan. Di antaranya PT Inti Gerak Maju. Pada 2004, perusahaan itu dimerger dengan PT Tapian Nadenggan-keduanya anak usaha PT Sinar Mas Agro Resources and Technology milik taipan Eka Tjipta Widjaja.

Lukito tidak mengetahui secara pasti luas kebun sawit PT Inti Gerak Maju yang berada di area cagar alam. Ia hanya menyebut angka di atas seribu hektare. Sesuai dengan kajian Yayasan Auriga, lembaga non-pemerintah bidang pelestarian sumber daya alam, 1.082 hektare dari total 11.135 hektare area konsesi PT Inti Gerak Maju di Kotabaru masuk zona suaka alam.

Tidak hanya itu, seluas 777 hektare lainnya berada di hutan lindung. Sisanya di area peruntukan lain yang memang dibolehkan untuk tempat berkebun sawit. "Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, kebun sawit tidak boleh ada di suaka alam dan hutan lindung," ujar Syahrul Fitra Tanjung, peneliti Auriga.

Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan Hanif Faisol Nurofiq saat dimintai konfirmasi justru terheran-heran. Karena itu, ia berencana mengecek kebenarannya di lapangan. "Informasi itu akan kami proses lebih lanjut untuk dilaporkan ke pusat dan ke polisi," katanya. Ia menjelaskan, penyerobotan hutan kerap terjadi karena perbedaan tata ruang antara pemerintah pusat dan daerah sejak pemberlakuan otonomi daerah pada 2001.

Debora Noviyanthi dari tim komunikasi grup Sinar Mas tak menampik kabar bahwa ada area konsesi perkebunan sawit milik grup Golden Agri-Resources Ltd-induk Sinar Mas-yang berada di kawasan hutan. Ia berdalih, persoalan itu telah diselesaikan dengan mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan. "Permohonan itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku," ujarnya Senin pekan lalu.

Sebetulnya bukan hanya konsesi Inti Gerak Maju yang bersinggungan dengan wilayah suaka alam dan hutan lindung. Selama empat tahun mengkaji, Auriga mendapati 800 ribu hektare perkebunan sawit berada di kawasan suaka alam, hutan lindung, dan hutan konservasi. Konsesi tambang batu bara yang berada di area hutan lindung dan hutan konservasi lebih luas lagi, mencapai 6,3 juta hektare.

Meski terindikasi menyimpang, fakta ini terkesan diabaikan pemerintah. Menurut Syahrul, ada cela dalam undang-undang yang memudahkan pengusaha mengelola kawasan hutan. Maka, saat mengetahui suatu konsesi bersinggungan dengan hutan, pemerintah justru melepas status hutan atau memberi izin pakai penggunaannya.

Direktur Planologi Kementerian Kehutanan San Afri Awang berdalih tidak mengetahui secara pasti luas wilayah konsesi sawit dan tambang yang berada di zona hutan dan suaka alam. Ia juga beralasan, sesuai dengan undang-undang, hutan produksi dapat dikonversi untuk penggunaan non-kehutanan. Tapi, kata dia, tak ada wilayah suaka alam yang dilepas buat kebun sawit dan tambang. "Melepas kawasan hutan untuk tambang tidak boleh, kecuali hanya izin pinjam pakai," ujarnya.

Adapun hasil kajian Yayasan Arugia, selama 1984-2016, pemerintah telah melepas 6,79 juta hektare hutan untuk perkebunan sawit. Angka itu setengah dari seluruh konsesi kebun sawit, yang mencapai 11 juta hektare. Menurut Auriga, separuh dari luas konsesi ini dimiliki 15 grup usaha besar. Salah satunya Golden Agri-Resources. Merujuk pada laporan Golden Agri 2015, mereka mempunyai konsesi sawit seluas 480 ribu hektare, yang tersebar di 10 provinsi dan dikelola lewat 35 perusahaan.

Pelepasan hutan secara besar-besaran menjadi salah satu penyebab ketimpangan ekonomi. Guru besar Institut Pertanian Bogor, Bustanul Arifin, membeberkan data bahwa sebanyak 304 perusahaan menguasai 26 juta hektare konsesi hutan. Sedangkan 13,57 juta petani tidak mempunyai lahan. "Petani pemilik lahan sempit semakin meningkat 54 persen per tahun," katanya.

Direktur Pelaksana Sinar Mas, Gandi Sulistiyanto, menampik tudingan bahwa sukses Sinar Mas dan Golden Agri diperoleh karena dekat dengan kekuasaan dan politik. "Buktinya, sudah 78 tahun di Indonesia dan melewati era tujuh presiden," ujarnya.

Kisah bagaimana kepala daerah memberi karpet bagi kegiatan ekspansi pengusaha terjadi di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, pada 2013. Pemilik Berca Group, Hartati Murdaya, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena menyuap Bupati Buol Amran Batalipu. Uang semir itu diserahkan sebagai pelicin penerbitan izin perluasan perkebunan kelapa sawit milik Hartati, yang sudah menguasai lahan seluas 75 ribu hektare di Buol. Terbukti bersalah di pengadilan, Hartati divonis 2 tahun 8 bulan penjara. Sedangkan Amran diterungku selama 7 tahun 6 bulan.

Eka Tjipta dan Hartati Murdaya masuk sepuluh besar orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes. Bahkan Eka Tjipta masuk empat besar orang terkaya bersama Budi & Michael Hartono, Susilo Wonowidjojo, dan Anthoni Salim, dengan total harta mencapai US$ 25 miliar atau setara dengan 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2017.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance, Rusli Abdullah, mengatakan harta para taipan di Indonesia sebagian diperoleh karena berbagai kemudahan mendapat akses: di samping lewat penguasaan lahan, melalui kemudahan izin perdagangan dan properti. "Contohnya, bisnis tekstil di Indonesia hanya dimiliki grup usaha tertentu," katanya.

Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, menyebutkan sekitar dua pertiga dari harta orang-orang terkaya di Indonesia diperoleh karena mereka dekat dengan kekuasaan. Menurut studi The Economist, Indonesia menempati peringkat ketujuh dalam indeks kapitalisme kroni. Indeks ini mencerminkan orang kaya Indonesia yang bisnisnya didapat karena dekat dengan kekuasaan. Sepuluh tahun silam, Indonesia menempati peringkat ke-18, dan tiga tahun lalu di posisi kedelapan. Memburuknya peringkat Indonesia mencerminkan penguasa lebih mudah memberikan izin usaha kepada orang kaya. "Misalnya soal konsesi. Kalau tidak dengan kekuasaan, tidak akan dapat," ujarnya Selasa pekan lalu.

Di sektor bisnis properti, kesenjangan juga terlihat jelas. Direktur Pusat Studi Properti Indonesia Panangian Simanungkalit menyebutkan usaha properti banyak dipegang pengembang yang sudah go public. Dari total 3.500 pengembang, hanya 10-20 persen yang bersifat perusahaan terbuka. "Mereka ini yang menguasai tanah paling banyak," kata Panangian.

Semakin ironis, karena secara ekonomi pengembang cenderung membangun properti buat kelas menengah ke atas ketimbang rumah bersubsidi lantaran lebih menguntungkan. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya aturan yang mewajibkan pengembang membangun rumah bersubsidi dari total tanah yang dikuasainya.

Di sisi lain, laju kenaikan harga properti tak dibarengi peningkatan pendapatan masyarakat. Harga properti sangat ditentukan oleh nilai tanah yang bergantung pada kondisi pasar. Situasi inilah yang membuat makin banyak penduduk yang tak sanggup membeli rumah. "Angka penduduk yang tidak memiliki rumah layak huni sudah mencapai 15 juta keluarga," ujar Panangian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus