Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIKELILINGI terali besi setinggi satu meter, area paddock Jhonlin Racing Team terlihat paling mencolok di tengah-tengah garasi tim lain. Tiga unit bus karavan yang masih mengkilap terparkir di tempat "ngaso" tim besutan Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam itu, Ahad dua pekan lalu.
Haji Isam, pengusaha tambang asal Batulicin, Kalimantan Selatan, hari itu berpartisipasi dalam kejuaraan Indonesia Open Championship eXtreme Offroad Racing (IOCXOR) 2017 di Banjarbaru. Turun di kelas best overall, Haji Isam menggeber mobil tubular custom berkelir kombinasi kuning-hitam dengan nomor peserta 007.
Selesai menaklukkan jalur off-road, Haji Isam bersirobok dengan Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor. Sembari mendekatkan muka ke telinga Haji Isam, sang Gubernur berpamitan karena tak bisa lama-lama menemaninya. Di paddock, sementara itu, Wakil Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan Komisaris Besar Ade Rahmat Suhendi menyambut hangat "sang pembalap". Ketika Tempo menghampiri, Haji Isam menolak diwawancarai. "Jangan bicara batu bara. Ini lomba balap," ujarnya.
Kerajaan bisnis Haji Isam beroperasi di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Di samping mengelola tambang batu bara lewat PT Jhonlin Baratama, dia punya bisnis jasa angkutan. Di jalur laut, dia punya PT Jhonlin Marine and Shipping. Di udara, dia mengibarkan bendera PT Jhonlin Air Transport. Tapi, di tengah kesibukan mengurus semua perusahaan itu, Haji Isam, 40 tahun, masih sempat menyalurkan hobi balapan off-road ataupun adventure off-road.
Haji Isam merintis usaha sejak 2003. Sebelumnya, lelaki lulusan sekolah menengah atas ini menjadi sopir truk pengangkut kayu. "Saya tak punya uang buat kuliah," kata Haji Isam dalam wawancara dengan Tempo pada 2012. Kini total aset perusahaan Haji Isam lebih dari Rp 1 triliun. Ia pun termasuk lingkaran 1 persen orang yang-menurut data Credit Suisse-menguasai 49,3 persen total kekayaan Indonesia. Bergelimang uang, penghuni puncak piramida kekayaan ini memiliki hobi dan gaya hidup beragam.
Bos Grup Bosowa, Aksa Mahmud, termasuk orang kaya yang menunjukkan selera tingginya. Untuk bepergian, adik ipar Wakil Presiden Jusuf Kalla ini membeli jet pribadi, Legacy 500. Jet dengan tipe yang sama dimiliki aktor film laga Jackie Chan.
Aksa membeli pesawat buatan Embraer, Brasil, itu seharga US$ 20 juta pada September tahun lalu. "Pesawat ini biasa saya pakai untuk urusan bisnis saja," ujar Aksa pada awal November tahun lalu. Sekitar awal November tahun lalu, Tempo berkesempatan menumpang pesawat itu bersama Aksa dengan rute Jakarta-Banyuwangi, Jawa Timur.
Sewaktu hendak naik pesawat pribadi yang terparkir di Bandar Udara Halim Perdanakusuma itu, Tempo tak perlu melalui pemeriksaan seperti ketika akan naik pesawat komersial. Seorang petugas menjemput di lobi bandara, lalu mengantar Tempo ke ruang tunggu VIP.
Sesaat setelah Aksa tiba dan masuk pesawat, Tempo dipersilakan menyusul. Di dalam pesawat, ada empat sofa yang berhadapan. Di sofa itu duduk Aksa, istrinya, dan ustad kondang Yusuf Mansur. Tempo, bersama ajudan Aksa, asisten Yusuf, dan kru pesawat, duduk di bangku panjang yang menghadap ke samping, di belakang sofa Aksa.
Yusuf Mansur waktu itu mengaku diundang menghadiri pernikahan putri Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Ia tak menyangka bakal naik pesawat bareng Aksa. "Saya enggak paham siapa yang ngatur. Tapi saya menikmatinya," ujar Yusuf.
Pesawat yang menampung 12 orang itu masih gres. Sandaran bagian atas kursi masih berbalut plastik. Di bagian tengah pesawat terdapat lemari sekaligus ruang ganti. Di sisi kiri, terlihat wastafel dan tempat penyimpanan makanan. Di sisi kanan paling belakang, ada satu kursi yang ketika dudukannya dibuka berubah menjadi toilet. Sekat pun muncul otomatis ketika sebuah tombol dipencet. Membelah langit, pesawat melahap jarak 1.054,7 kilometer antara Jakarta dan Banyuwangi dalam waktu dua jam.
Menurut pengamat penerbangan Alvin Lie, di Indonesia hanya segelintir orang yang punya pesawat jet pribadi. Di samping Aksa, ada seorang pengusaha cum politikus, seorang pengusaha yang pernah menjadi pejabat negara, dan seorang pejabat tinggi negara yang juga pengusaha. Pebisnis Indonesia lainnya, kata dia, memilih menyewa ketimbang membeli pesawat sendiri. "Pemeliharaan pesawat sangat mahal, lebih dari Rp 500 juta per bulan," ujar Alvin. Karena itu, jet pribadi di Indonesia umumnya terdaftar atas nama perusahaan, bukan atas nama pribadi.
Bagi orang berduit melimpah, ketika bepergian, "privasi" dan "gengsi" rupanya menjadi pertimbangan utama di samping kenyamanan. Gaya hidup itulah yang ditangkap sebagai peluang oleh Denon Prawiraatmadja. Sejak 2014, pendiri WhiteSky Aviation ini menghadirkan layanan taksi udara.
Awalnya, menurut Denon, target pemasaran taksi udara adalah perusahaan berbagai komoditas (bahan mentah) di daerah, yang menyewa dengan kontrak tahunan. Belakangan, Denon dan kawan-kawan melebarkan sayap dengan menyediakan layanan untuk konsumen perorangan. Layanan itu mereka sebut Helicity. Rutenya di dalam kota Jakarta atau Jakarta-Bandung. "Selain pebisnis, ada keluarga yang mencoba untuk keliling kota," kata Denon.
Kaum jetset Indonesia juga dikenal dengan kegemaran mereka menghabiskan uang di pusat belanja dunia. Karena itu, berbagai gerai merek ternama di sejumlah negara banyak yang mempekerjakan pramuniaga yang bisa berbahasa Indonesia. Di Benlux Duty Free, Paris, misalnya. Bagian parfum di gerai bebas pajak itu bertahun-tahun mempekerjakan pelayan yang fasih berbicara bahasa Indonesia. Mereka yang biasanya menyambut rombongan asal Indonesia. "Saban bulan bisa ada beberapa rombongan berbelanja di sini," kata seorang konsultan penjualan Benlux, beberapa waktu lalu.
Amelia Masniari, penulis buku Miss Jinjing Sampai Mati, melihat geliat konsumsi kelas menengah ke atas Indonesia belakangan ini mengalami perubahan. Lima sampai sepuluh tahun lalu, kata dia, mereka lebih "blakblakan" dalam membelanjakan uang. Kini mereka lebih sering "sembunyi-sembunyi". Musababnya, menurut Amelia, sebagian orang kaya asal Indonesia takut dipantau Komisi Pemberantasan Korupsi. "Jadi sekarang mereka transaksinya under table," ujar Amelia, yang banyak bergaul dengan lapisan orang kaya Indonesia.
Kelesuan ekonomi, menurut Amelia, juga mengubah gaya hidup kelas menengah-atas Indonesia. Ia mencontohkan, dulu pengusaha asal Kalimantan dikenal jorjoran kalau berbelanja di Jakarta atau luar negeri. Namun, akibat turunnya harga berbagai komoditas, mereka mengerem kebiasaan itu. "Kalau yang sekali shopping habis sekitar Rp 80 juta tiap hari masih ada," ujar Amelia.
Meski gaya konsumsi sebagian orang kaya berubah, data statistik menunjukkan tingkat konsumsi kelas menengah ke atas terus berkembang. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, per September 2016, tingkat konsumsi kelompok ekonomi menengah tumbuh 11,69 persen. Sedangkan tingkat konsumsi kelompok ekonomi teratas naik 3,83 persen.
Perkembangan itulah yang membuat pengecer perhiasan dan parfum kelas atas asal Italia, Bvlgari, masih menganggap Indonesia sebagai pasar yang penting. "Kami melihat pertumbuhan kelas menengah sebagai target pasar baru," kata Country Operations Manager Bvlgari Indonesia Karen Steffi Halim. Menurut dia, empat gerai Bvlgari di Indonesia-tiga di Jakarta dan satu di Bali-selalu ramai pengunjung. "Dalam dua tahun terakhir, orang cenderung berbelanja dan berkonsultasi dengan penasihat penjualan kami," ujar Karen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo