Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kawah Gunung Anak Krakatau Makin Rapuh

Masyarakat diminta tidak beraktivitas hingga jarak satu kilometer dari pantai.

27 Desember 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Foto udara letusan gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Minggu (23/12). ANTARA FOTO/Bisnis Indonesia/Nurul Hidayat/pras.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mengatakan dinding kawah Gunung Anak Krakatau kian rapuh dan berpotensi mengalami tanah longsor yang dapat memicu tsunami di Selat Sunda. "Rapuhnya dinding kawah disebabkan oleh erupsi yang disertai goncangan. Cuaca ekstrem seperti hujan lebat juga bisa menyebabkan longsor," ujarnya saat ditemui, Selasa lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menuturkan, BMKG sudah memasang enam sensor seismometer yang telah dimodifikasi untuk memantau aktivitas Gunung Anak Krakatau dan kemungkinan longsor susulan. Dari hasil analisis BMKG, Dwikorita mengimbuhkan, disimpulkan getaran yang berpotensi memicu tanah longsor berkekuatan sekitar 3,4 skala Richter. "Jika sensor mendeteksi getaran 3,4 SR, BMKG akan mengeluarkan peringatan dini tsunami," dia berucap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono, ketika dihubungi kemarin, mengatakan tiga sensor berada di Lampung dan tiga lainnya di Banten. Menurut dia, penggunaan sensor tersebut merupakan metode yang paling efektif saat ini untuk memantau aktivitas Anak Krakatau. "Potensi tsunami tergantung volume dan luasan area yang longsor. Kalau tidak besar, mestinya tidak membuat tsunami." Ketika tsunami 22 Desember lalu, luas longsoran tanah diperkirakan 64 hektare.

BMKG, kata dia, mengantisipasi tsunami susulan dengan terus meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan. "Gunung Anak Krakatau masih aktif, masyarakat menghindari pantai dulu," kata Rahmat

Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, mengungkapkan, Gunung Anak Krakatau masih terus erupsi dan statusnya masih sama, yakni waspada level dua, dengan radius bahaya dua kilometer dari puncak kawah. "BNPB menetapkan rekomendasi jarak 500 meter hingga 1 kilometer dari garis pantai tidak boleh ada aktivitas masyarakat. Ini untuk mengantisipasi tsunami susulan," katanya.

Sutopo juga menjelaskan soal rencana pemerintah mengembangkan sistem peringatan dini tsunami yang dipicu oleh longsor bawah laut dan erupsi gunung api. Saat ini, Indonesia hanya memiliki sistem peringatan dini tsunami yang dipicu oleh gempa tektonik. Keberadaan detektor tsunami khusus longsor bawah laut atau erupsi gunung api kian mendesak mengingat banyaknya peristiwa tsunami akibat longsor bawah laut.

"Seperti di Ende tahun 1992, di Palu 2018, dan di Krakatau 2018. Tiga bencana itu dipicu oleh longsor bawah laut yang membangkitkan tsunami," ucap Sutopo dalam konferensi pers. Detektor tsunami khusus itu, dia berkata, juga perlu didukung jaringan buoy tsunami (pengukur ketinggian permukaan laut) yang lebih rapat. "Semakin rapat sensor-sensornya, hasilnya akan semakin bagus," kata Sutopo.

Ia mengungkapkan, dengan sistem peringatan dini tsunami akibat gempa tektonik yang dimiliki Indonesia, peringatan dini tsunami sudah bisa disampaikan 2-5 menit setelah gempa. Namun, pada kasus tsunami karena longsor bawah laut atau gunung berapi, peringatan dini tsunami tidak bisa diberikan. Sutopo mencontohkan tsunami di Selat Sunda yang memiliki tenggat 24 menit setelah terjadi longsoran tanah hingga tsunami menerjang pantai. "Tapi, karena kita tidak punya teknologinya, tidak ada peringatan kepada masyarakat."

Ia menuturkan buoy adalah bagian dari sistem peringatan dini tsunami Indonesia. Buoy berfungsi untuk meyakinkan bahwa tsunami terdeteksi di lautan sebelum menerjang pantai. Sayangnya, 22 buoy tsunami yang dibangun pada 2008 sudah tidak berfungsi lagi sejak 2012. Penyebabnya adalah perusakan dan pencurian, serta terbatasnya biaya pemeliharaan dan operasional. Indonesia sekarang hanya mengandalkan lima buoy milik internasional di sekitar wilayah Indonesia. Kondisi ini menyulitkan untuk memastikan apakah terjadi tsunami di lautan atau tidak.

"Meski begitu, tanpa buoy pun sistem peringatan dini tsunami BMKG tetap bisa berjalan dengan melakukan pemodelan dari gempa yang terdeteksi," ia menegaskan. TAUFIQ SIDDIQ | REZKI ALVIONITASARI


Mengendus Tsunami

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus