Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Masyarakat mengeluhkan sulitnya mendapat kayu untuk bahan jalur.
Biaya pengambilan kayu mahal dan harus mendapat izin menteri.
PETA itu didominasi warna putih, hijau, dan kuning. Warna kuning menandakan wilayah penguasaan hutan. Di bawah peta itu tertera tanda tangan beberapa pejabat Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) dan Riau, yakni Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kuansing Deflides Gusni; Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kuansing Azhar; Kepala Satuan Pengelola Hutan Kuansing Abriman; Kepala Seksi Balai Pengelolaan Hutan Lestari Wilayah III Pekanbaru Ruslan Hamid; Kepala Bidang Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau Danang K. Sukresno; serta wakil PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), Elwan Jumandri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada bagian peta berwarna kuning diterangkan batas penguasaan hutan oleh PT RAPP, PT Rimba Lazuardi, dan PT Artelindo Wiratama. Pada bagian peta PT RAPP terdapat banyak titik merah yang menjadi penanda koordinat. Tak kurang dari 59 titik koordinat tersebar di peta hutan yang dikuasai PT RAPP dan hutan lindung di sekitarnya. Itulah titik koordinat pohon-pohon yang sudah dipilih dan diverifikasi untuk ditebang sebagai bahan pembuatan jalur atau sampan panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam surat Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau kepada Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dirincikan sebanyak 59 titik koordinat merupakan keputusan Bupati Kuansing. Dari jumlah itu, sebanyak 45 titik pohon berada di area konsesi perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) PT RAPP, 1 pohon hak produksi terbatas/nonkonsesi, 8 pohon di hutan lindung, 2 pohon di area penggunan lain, dan 3 pohon belum memiliki data lengkap. Di surat itu pula disertakan data usulan dari 59 kepala desa di Kabupaten Kuantan Singingi.
Beberapa kepala desa dan sesepuh (tuo) tim sampan mengeluhkan susahnya mendapatkan kayu untuk pembuatan sampan panjang atau jalur. Beberapa dari mereka masih mempunyai sampan yang sudah lama. Ada pula yang belum mempunyai sampan dan berkeinginan membuat sampan. Jalur menjadi kebanggaan sebuah desa. Apalagi jika sampan itu mendulang prestasi.
Peta hasil inventarisasi lokasi kayu jalur Kabupaten Kuantan Singingi, Riau
Beberapa tahun terakhir mereka mengeluhkan susahnya mencari kayu utuh yang bisa dibuat jalur. Hal ini mendorong Bupati Kuantan Singingi Suhardiman Amby bersurat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Isinya pada intinya meminta bantuan izin dan rekomendasi pengambilan kayu untuk kebutuhan pembuatan jalur. Surat pertama bupati dan sekretaris daerah dikirimkan pada Februari lalu, disusul surat dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau. Yang terakhir adalah pengiriman surat pada 19 Mei lalu.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menolak permohonan Bupati Kuantan Singingi melalui surat bernomor S. 559/PHL/PUPH HPL tertanggal 19 Mei 2023. Surat yang ditandatangani Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Agus Justianto itu menerangkan bahwa 45 pohon yang diminta berada di sempadan sungai (kawasan lindung).
“Terdapat larangan penebangan pohon dalam kawasan lindung dan sempadan sungai,” demikian tertulis di surat jawaban tersebut. Tertulis pula masyarakat bisa mencari kayu tidak hanya dari area PBPH Kuansing, tapi juga dari area PBPH lain di Riau, Jambi, dan Sumatera Barat yang tidak berada di kawasan lindung dan bukan merupakan pohon yang dilindungi.
Dalam poin c, pemerintah daerah diminta mendorong masyarakat memperoleh akses legal dalam kawasan hutan melalui perhutanan rakyat, seperti hutan tanaman rakyat, hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan hutan adat. Tanaman unggulan setempat diminta dikembangkan secara lestari sehingga dapat mendukung kebutuhan kayu sampan secara berkelanjutan. “Semua harus mengikuti prosedur dan peraturan, termasuk ketika mencari di Jambi atau Sumatera Barat,” tutur Agus melalui aplikasi pesan kepada Tempo.
Beberapa kepala desa di Kuansing mengutarakan kesulitan mereka untuk mendapatkan kayu jalur. Salah satunya Bamba Rianto, Kepala Desa Beringin Taluk, Kecamatan Kuantan Tengah. Dia mengajukan permintaan penggunaan pohon meranti setinggi 26 meter di kawasan konsesi PT RAPP Estate Cerenti. “Memang saat ini sangat susah untuk mencari kayu sampan. Karena kalau yang ada di green belt RAPP harus seizin Kementerian,” ujar Bamba kepada Tempo.
Penjabat Kepala Desa Sawah, Kecamatan Kuantan Tengah, Dodi Fitrawan, juga mengisahkan kesulitan mencari kayu sampan untuk lomba pacu jalur. Desa ini sebelumnya mempunyai dua sampan yang diberi nama Penentuan Batang Kuantan dan Merak Jingga. Keduanya mulai rusak. Dodi menuturkan, masyarakat kemudian membuat sampan baru yang diberi nama Kemilau Jingga untuk menampung semangat anak-anak muda. “Sementara sampan Merak Jingga diservis di Rengat di bengkel Pak Usup,” ucap Dodi kepada Tempo, Kamis, 24 Agustus lalu.
Perbaikan sampan ini pun tak murah biayanya, hampir Rp 100 juta. Biaya ini hampir sama dengan pembuatan sampan baru, dari pengambilan kayu hingga jadi. Sampan baru pun bisa bertahan lama jika kayunya bagus. “Lebih baik membuat yang baru,” tuturnya. Dodi menjelaskan, pembuatan sampan kini membutuhkan perizinan yang panjang. Selain izin perusahaan seperti PT RAPP, izin Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun diperlukan.
Sudanto, tuo jalur atau pengurus jalur Siposan Rimbo dari Desa Pauh Angit, Kecamatan Pangean, juga menyampaikan susahnya mencari kayu untuk sampan panjang. Mereka membuat jalur pada 2011 dari kayu kure. Hingga saat ini sampan tersebut masih bisa dipakai. Tapi ke depan diperlukan upaya regenerasi jalur. Mereka memilih kayu kure karena cukup awet dan tahan lama. “Lantaran susah untuk mencari kayu yang bagus, kami pakai kayu ini,” kata Sudanto.
Ia menyayangkan perolehan izin mendapatkan kayu hingga ke Kementerian yang lumayan memakan waktu. Hal ini cukup menyusahkan masyarakat. Dia mengungkapkan, permohonan izin pengambilan kayu untuk pembuatan sampan ini seharusnya sampai di tingkat provinsi saja. “Kami harapkan, khusus untuk bikin sampan panjang ini, cukuplah dikasih izin. Kami butuh satu pohon saja. Toh, hanya untuk tradisi pacu jalur, bukan logging,” ujarnya.
Pencarian kayu yang memenuhi syarat untuk pembuatan jalur, Sudanto mengimbuhkan, makin susah. Masyarakat mengandalkan pencarian di hutan lindung di sekitar Bukit Betabuh, yang lokasinya hampir berbatasan dengan Sumatera Barat. Kawasan itu berbukit terjal. Butuh tenaga dan biaya ekstra untuk menyewa alat berat dan menarik pohon dari hutan. Dibutuhkan minimal Rp 100 juta buat semua itu. Dia menerangkan, bisa saja jalur dibuat dengan menyambung kayu. Namun sebuah sampan bagus untuk pacuan terbuat dari satu batang pohon yang utuh dan panjang dengan diameter yang lebar. “Bisa saja disambung, tapi tidak bagus,” tuturnya.
Bupati Kuansing Suhardiman Amby/kuansing.go.id
Sebagai antisipasi jika izin tak segera turun, Sudanto menambahkan, masyarakat bisa menanam kayu yang lekas besar seperti meranti. Dalam waktu 15 tahun, pohon bisa digunakan untuk bahan sampan. Tapi kayu jenis meranti tidak tahan lama, maksimal lima tahun sudah mulai rusak. Ini berbeda dengan jenis kayu keras seperti kuyuang yang bisa tahan puluhan tahun.
Tuo jalur atau pengurus jalur Langkah Siluman Buayo Danau dari Desa Sitorajo, Marpilis, menuturkan, sampan panjangnya terbuat dari kayu mersawa kuning dan dibikin pada 2013. Semula sampan itu sudah hampir diafkirkan karena kurang cepat melaju. Mereka mencoba mencari kayu baru, tapi tidak sesuai dengan harapan. Akhirnya mereka menggunakan sampan lama ini. Kayu jenis mersawa ditemukan sangat jauh di dalam hutan. Masyarakat kesulitan menariknya keluar dari hutan. “Perlu empat jam berjalan kaki, ditambah lagi bebukitan terjal yang harus dilalui. Bisa jadi 10 tahun ke depan kami tidak bisa dapat kayu,” ucapnya.
Marpilis menyayangkan kondisi hutan lindung yang saat ini sudah makin porak-poranda akibat penebangan liar sehingga menyusahkan pencarian kayu untuk membuat jalur. Ia meminta pemerintah terlibat dalam pemeliharaan pohon-pohon untuk pembuatan sampan panjang. “Ini demi menjaga kelangsungan tradisi pacu jalur ke depannya,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Sabr Aliansyah dari Kuansing berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Susahnya Mencari Kayu Pacu Jalur "