Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibadat pagi itu berlangsung singkat. Di dalam rumah gendang atau rumah utama masyarakat Wae Rebo, para pria duduk bersila menghadap ke pintu masuk, sedangkan para wanita di belakangnya. Pastor Robert Ramone duduk di tempat terdepan, membacakan kitab doa Raja Salomo ketika membangun mazbah Tuhan. ”Doa ini sesuai dengan situasi Wae Rebo sekarang,” katanya.
Hari itu bertepatan dengan peringatan kenaikan Isa Almasih, 2 Juni lalu. Namun warga Wae Rebo tak pergi ke gereja karena mereka punya hajat lain, yaitu memasang atap, yang merupakan tahap terakhir pembangunan rumah adat mereka: mbaru niang. Pastor Robert pun mengucap berkat dan pertolongan supaya semua berjalan lancar. Kemudian ia bergerak keluar dari rumah gendang dan memercikkan air pada setiap rangka dan material bangunan.
Para laki-laki dewasa lalu mulai bergerak ke mbaru niang, yang berada di sisi barat kompleks Desa Wae Rebo. Alang-alang, ijuk, dan rotan telah mereka siapkan. Atap atau wehang—elemen terpenting rumah adat ini karena berfungsi pula sebagai dinding—siap dipasang. Lebih dari 50 orang melakukan pekerjaan tersebut. Seorang warga, Wilhelmus Rupun, 41 tahun, bertugas mendokumentasikan proses pengatapan dengan kamera digital.
Fransiskus Mudir, 42 tahun, mengatakan persiapan pembangunan mbaru niang mereka mulai sejak akhir tahun lalu. ”Kami mulai dengan mengumpulkan dan menganyam alang-alang,” kata pria yang ditunjuk warga sebagai mandor itu. Alang-alang dirangkai membentuk seperti tirai dan diasapi agar awet.
Setelah itu, mereka mencari kayu. Namun mereka melakukannya tak sembarangan. Prinsipnya neka poka puar one pal atau tidak boleh menebang pohon secara liar. Sebelum masuk hutan, mereka melakukan upacara robang, meminta izin kepada para roh di wilayah penebangan. Anjing dan ayam menjadi binatang kurban.
Yang dicari adalah kayu jenis worok berumur 70 tahun, yang akan berfungsi sebagai struktur rumah, termasuk sembilan tiang utama dalam rumah. Untuk mendapatkan worok tua, mereka harus mencari hingga 10 kilometer ke dalam hutan. Perjalanan dan pengangkutannya bisa memakan waktu dua malam. Belum lagi berat satu batang kayu mencapai 15 hingga 20 kilogram. Bambu dan kayu lainnya untuk rangka atap dan lantai mereka ambil dari perkebunan milik warga. ”Ibu-ibu kadang ikut kami ke hutan untuk memasak bekal,” ujar Frans.
Mendapatkan kayu worok tidaklah mudah. Dinas kehutanan tak bersedia memberi izin, tapi juga tidak secara tegas melarang. Sampai akhirnya warga memiliki solusi sendiri: menebang tapi menanam yang baru.
Frans mendapatkan ilmu pembangunan mbaru niang ketika ia membongkar dan membangun kembali dua rumah serupa di Wae Rebo pada 2009. Teknik pengikatan struktur, menurut dia, cukup sulit. Hanya beberapa orang yang memiliki keahlian tersebut. Apalagi terakhir kali mereka membangun rumah adat lebih dari sepuluh tahun lalu, yaitu ketika membangun kembali rumah gendang.
Rumah adat suku Manggarai ini tidak menggunakan paku atau pasak pada struktur atau rangkanya. Paku hanya ada di bagian lantai kayu untuk melekatkannya pada balok penyangga.
Jenis ikatan sangat beragam. Ada yang mengatakan jumlahnya puluhan. Ada pula yang bilang lebih dari seratus. Bahan yang dipakai untuk mengikat adalah rotan. Ikatan berfungsi memperkuat pertemuan batang kayu, yang jumlahnya bisa lebih dari dua buah. Bentuk ikatan ada yang kepang, lilitan melintang, atau silang.
Untuk atap, anyaman ijuk dan alang-alang juga diikat dengan rotan pada rangka bangunan. ”Kedua material inilah yang membuat rumah tahan lama,” ujar Frans. Usia rumah bisa mencapai 70 hingga 100 tahun. Asap dari perapian dan tempat memasak di dalam rumah membantu atap menjadi kering sehingga tetap awet. Warnanya pun menghitam.
Mendapatkan ijuk juga sulit. Warga harus berjalan turun gunung menuju desa terdekat, Kampung Denge, Kecamatan Satar Mese, Manggarai. ”Kami pikul ijuk itu masing-masing 20 kilogram per orang selama tiga jam,” katanya.
Ijuk dan alang-alang dipasang dari bawah ke atas. Pada bagian seperlima menjelang bagian atas rumah, selain ditutup dengan ijuk, warga membalutnya dengan untaian ijuk sepanjang 400 meter. Di pucuk teratas rumah terpasang tiang panjang, yang disebut ngando.
Sehari kemudian, pengatapan selesai. Tujuh pria berjalan memasang bendera Merah Putih pada tiang atap rumah sambil berteriak, ”Mohe Wae Rebo!” (Hidup Wae Rebo!).
Tokoh adat Wae Rebo, Alexander Ngandus, 65 tahun, mengatakan mbaru niang merupakan peninggalan nenek moyang mereka, yang berasal dari tanah Minang. Namun dia tidak mengerti asal-usul bentuk seperti kerucut. Namun, secara logis, menurut Alex, rumah ini sesuai dengan kondisi iklim dan geografis desa, yang berada di lembah Gunung Todo Repok.
Rumah yang berdiameter 10 meter dan tinggi hingga 12 meter mampu menampung seratus orang. Dengan bentuk yang tertutup ijuk dan alang-alang, tiupan angin tak menerobos ke dalam. Apalagi pada pertengahan tahun, kabut dan udara dingin kerap menyelimuti desa itu.
Hanya enam keluarga dari masing-masing klan yang boleh tinggal di dalam rumah tersebut. Mereka tidur mengelilingi perapian. Di pinggir-pinggir rumah terdapat bilik 1 x 2 meter, yang berfungsi sebagai tempat untuk anak perempuan. Kalau keluarga itu sudah mandiri, mereka bisa keluar dari mbaru niang, dan bilik tersebut diisi keluarga lainnya. ”Siapa yang berhak berada di sana tergantung kesepakatan bersama,” ujarnya.
Dari ketujuh mbaru niang, posisi tertinggi ada di rumah gendang. Letaknya berada di tengah kampung dan tidak boleh ada benda yang menutupinya. Di dalam rumah itu tersimpan beberapa gendang, benda pusaka yang dipercaya mampu mempersatukan warga. Alat musik ini hanya dimainkan ketika upacara adat digelar, seperti pernikahan atau buka ladang.
Selain menjadi tempat menyimpan pusaka, rumah gendang berfungsi sebagai tempat pertemuan warga. Tua gembong atau tua gendang merupakan pemimpin kampung itu. Ketika gendang dibunyikan untuk memanggil warga masuk rumah ini, mereka akan duduk melingkar dan mendengarkan perkataan tua gendang.
Ada lima tingkat dalamtiap rumah berbentuk kerucut itu. Tingkat pertama, lutur atau tenda, berfungsi sebagai tempat tinggal. Lobo atau loteng untuk menyimpan makanan dan peralatan masak. Di tingkat ketiga terdapat lentar, yakni untuk menaruh benih jagung, padi, dan kacang-kacangan. Selanjutnya lempa rae atau tempat cadangan makanan jika terjadi gagal panen. Terakhir terdapat tempat untuk menaruh sesajian atau langkar bernama hekang kode.
Josef Prijotomo, yang melihat langsung proses pengatapan mbaru niang itu, menilai hadirnya rumah adat Wae Rebo dengan lengkap merupakan kelahiran kembali arsitektur Nusantara. ”Teknik pembangunannya tidak diajarkan di kuliah mana pun,” kata arsitek dan dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, itu.
Menurut Josef, teknik membangun dari zaman dulu ternyata sangat relevan dengan kondisi sekarang. Teknik ikatnya membuat rumah tahan gempa. Balok dan tiang terbangun lentur, dapat bergerak mengikuti pergerakan tanah. Ia berpendapat teknik ini baru mereka terapkan satu setengah abad silam. Tapi konstruksi ikat ada pada kapal Nusantara sejak 200 sebelum Masehi. Meskipun Wae Rebo berada di pedalaman, warganya mampu menerapkan teknologi pesisir. Hal itu mungkin karena mereka memiliki leluhur pelaut.
Pengetahuan konstruksi ikat memang telah lama menembus pedalaman Nusantara. Tiang-tiang kayu tanpa paku di rumah adat Kampung Naga, 30 kilometer dari Tasikmalaya, Jawa Barat, juga memakai sistem knockdown dan ikat supaya gerakannya lentur. Material bangunannya memakai bahan ringan, yaitu kayu dan bambu. Hal serupa terlihat pada rumah adat Nias, Sumatera Utara. Namun hanya di Wae Rebo yang mampu membuat konstruksi ikat hingga lima tingkat.
Konstruksi rumah yang terangkat dari tanah juga menjadi karakter unik rumah tradisional Nusantara. Teknik ini untuk mengantisipasi iklim yang lembap dan tropis di Indonesia. Trik lainnya adalah membuat rumah tanpa banyak sekat dan material yang mampu beradaptasi dengan kondisi cuaca. Perbedaan paling mencolok pada rumah adat Nusantara, menurut Josef, hanya pada bentuk atapnya.
Soal bentuk, Josef menduga moyang penduduk Wae Rebo berguru hingga ke Papua, Sumba, dan Timor. Model rumah mereka hampir serupa. ”Tapi bisa saja yang terjadi sebaliknya,” ujar Josef. Apa pun faktanya, menurut dia, mbaru niang istimewa sekaligus bukti sejarah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo