Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Martinus Anggo, 42 tahun, tersenyum lebar mengawali akhir pekan pertama pada Juni 2011. Mimpinya tinggal dalam mbaru niang terwujud. ”Saya merasa benar-benar jadi orang Wae Rebo,” katanya. Perayaan pemberkatan rumah baru itu secara adat berlangsung malam sebelumnya. Keesokannya, ia bersiap mengikuti misa ucapan syukur secara Katolik.
Matahari bersinar terang ketika misa mulai pada pukul sembilan pagi waktu setempat. Namun kabut berangsur-angsur menutupi desa pada tengah hari menjelang atraksi tarian cambuk atau caci. Musim dingin di Australia membuat wilayah itu pun terkena imbas: lebih sering tertutup kabut dan diguyur hujan. ”Hasil kopi kami jadi berkurang,” ujar Martinus. Gelombang dingin dari benua selatan ini membuat malam di Wae Rebo pun ikut membeku, tak seperti di negeri tropis.
Mbaru niang memiliki peran penting bagi masyarakat Wae Rebo. Selain sebagai tempat tinggal, rumah itu menjadi tempat mempertahankan tradisi. Hanya enam keluarga dari masing-masing klan yang berhak menempatinya. Masyarakat percaya, nenek moyang mereka mewariskan tujuh buah mbaru niang di desa tersebut. Hal ini berbeda dengan desa lain di Manggarai, Flores. Meskipun bentuknya sama, di sana hanya ada satu buah mbaru niang.
Martinus masih ingat ketika kecil tinggal di gunung sekitar Desa Wae Rebo bersama enam keluarga lainnya. Situasi dalam rumah hampir sama dengan mbaru niang. Namun bentuk rumahnya sangat berbeda dengan yang asli. ”Model rumahnya persegi dengan atap ijuk,” ujarnya. Kini ia mendapat kehormatan tinggal di mbaru niang sekaligus menjadi penjaga tradisi yang sudah berjalan lebih dari 19 generasi itu.
Tidak ada yang tahu mengapa mbaru niang berjumlah tujuh dan berbentuk kerucut. Tidak ada catatan sejarah yang menjelaskannya. Masyarakat hanya mengetahui asal-usul Wae Rebo dari cerita lisan leluhur.
Alkisah, seorang pelayar dari tanah Minang bernama Empo Maro yang menemukan desa itu. Ia sebenarnya telah lama bermukim di wilayah utara Flores Barat. Namun, karena tidak memiliki peralatan perang, ia menyerahkan kekuasaan wilayah kepada adiknya, Todo.
Empo Maro kemudian berpindah-pindah mencari lokasi yang tepat untuk bermukim bersama keturunannya. Sampai akhirnya seekor musang menemani mereka menemukan lembah yang dikelilingi pegunungan. Lokasinya di ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut sebelah selatan Flores Barat. Empo Maro menamakan tempat itu Wae Rebo, sesuai dengan pesan leluhur yang ia terima dalam mimpinya.
Sisa-sisa peninggalan cerita itu masih ada sampai sekarang. Masyarakat percaya musang adalah titisan leluhur dan haram dimakan. Pengaruh budaya Sumatera Barat terlihat pada ujung atap rumah gendang atau rumah utama, berupa tanduk kepala kerbau.
Blasius Monta, 44 tahun, mengatakan masyarakat Wae Rebo tidak pernah berperang. ”Kami tidak punya senjata,” ujar pria yang berprofesi sebagai guru sekolah dasar itu. Namun, karena terletak di lembah yang dikelilingi bukit, Wae Rebo pernah dijadikan markas rahasia panglima perang dari Kerajaan Todo pada abad ke-18 untuk menyusun strategi perang. Ketika itu Kerajaan Todo sedang melakukan ekspansi besar-besaran ke wilayah timur, sehingga perebutan kekuasaan antarsuku di Manggarai kerap terjadi.
Hingga kini Desa Wae tetap jauh dari kehidupan modern. Blasius menilai kondisi ini sangat dilematis. Di satu sisi warga ingin mempertahankan keaslian tradisi, tapi juga perlu akses infrastruktur untuk menjalankan roda perekonomian. ”Tapi kami putuskan bertahan seperti ini supaya tidak merusak hutan,” katanya.
Hanya ada satu akses menuju desa berpenduduk 1.200 jiwa itu. Jalan tersebut membelah kawasan hutan lindung di Gunung Todo Repok seluas 10.500 hektare. Dengan berjalan kaki, penduduk setempat dapat menyusuri jalan itu dalam waktu satu setengah hingga dua jam. ”Tapi kalau orang luar Wae Rebo bisa sampai empat jam,” kata bapak empat anak itu.
Jalan sepanjang enam kilometer tersebut ada yang curam dan rawan longsor. Lebarnya yang rata-rata hanya 30 sentimeter itu terkadang berbatu, becek, atau tertutup alang-alang. Mereka rutin melewatinya menuju kampung terdekat, Denge. Di kampung itu, mereka bisa mendapat sarana pendidikan, kesehatan, dan melakukan kegiatan ekonomi.
Tidak mengherankan bila banyak yang memutuskan memiliki dua rumah. Yang satu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, di Kampung Kombo, sekitar dua kilometer dari Denge. Satu rumah lagi untuk mempertahankan tradisi Wae Rebo. Kondisi ini mulai terjadi pada masa penjajahan Jepang. Mereka dipaksa menghuni Kombo untuk menggarap lahan kosong menjadi pertanian.
Akhir pekan adalah saat penduduk berkunjung ke keluarga masing-masing, baik di Kombo maupun Wae Rebo. Ada pula yang melakukan kegiatan jual-beli di pasar terdekat. Dengan memanggul beban yang rata-rata beratnya belasan kilogram, warga turun gunung menjual hasil ladang atau kopi. Uang dari penjualan itu mereka pakai untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari. ”Kami biasa memanggul beras 20 kilogram dari bawah ke sini,” kata Blasius sambil tertawa.
Sulitnya mengakses desa ini tidak menyurutkan minat wisatawan asing berkunjung. Tercatat jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun. ”Mayoritas yang datang berasal dari Belanda,” ujar Martinus. Para pelancong ini biasanya ingin merasakan kehidupan masyarakat Wae Rebo dan tinggal di rumah adatnya. Dengan uang Rp 150 ribu per malam, seorang turis mendapat tempat tidur dan makan pagi hingga malam.
Turis yang datang biasanya transit di Denpasar sebelum meneruskan penerbangan selama satu setengah jam menuju Labuan Bajo, daerah paling barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Dari Bandar Udara Komodo, perjalanan berlanjut menggunakan minibus menuju Kota Denge, Kecamatan Satarmese, Manggarai, selama lima jam. Setelah menginap semalam di kota itu, baru pagi harinya berjalan kaki menuju Wae Rebo.
Selain pariwisata, pertanian menjadi sumber penghasilan warga di sana. Karena itu, pembagian area ladang di tanah adat masih memakai tradisi lama, sistem lingko. Hanya seorang tua teno yang memiliki hak ulayat atau membagi tanah.
Soal kata teno, masyarakat Manggarai masih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan kata itu berasal dari kayu yang lembut dan uratnya bagus. Makna tua teno adalah berhati lemah lembut tapi penuh kebijakan dan keadilan. Tapi ada juga yang berpendapat teno berasal dari kata teing atau memberi, dan noo atau di sini.
Seorang tua teno akan mengambil kayu teno sebagai titik tengah di area pertanian yang disepakati. Kayu teno setinggi 20 sampai 30 sentimeter itu ditancapkan ke tanah. Kemudian tua teno memasang landuk atau batang kayu kecil di atas teno. Dari landuk itu lalu ia menempatkan lander atau batang kayu kecil yang membentuk garis-garis diameter lingkaran. ”Satu bentuk segitiga dari garis-garis itu berarti milik satu orang,” tutur Martinus.
Besarnya segitiga itu diukur dari moso atau jumlah jari tangan. Jika warga mampu menggarap lahan dalam jumlah besar, tanahnya bisa mencapai dua hingga empat moso. Setelah itu, tua teno akan menentukan batas-batas area pertanian berupa lingkaran-lingkaran yang menjauh dari titik tengah. Batas ini disebut neitiba.
Sistem lingko, kata Martinus, berawal dari Desa Cancar, Ruteng, Manggarai. Raja pertama di Flores mengirim utusan ke Jawa untuk belajar pertanian. Setelah berhasil mempraktekkannya di Cancar, barulah menyebar ke seluruh Manggarai. Kalau dilihat dari atas, bentuk lingko serupa dengan struktur bangunan pada mbaru niang. Garis-garis yang berada dalam lingkaran mirip jaring laba-laba. Hal ini menunjukkan hubungan erat antara rumah dan ladang sebagai tempat penghidupan.
Kehadiran tujuh buah mbaru niang tidak terlepas dari campur tangan Yori Antar, arsitek lulusan Universitas Indonesia yang tinggal di Jakarta. Tiga tahun lalu ia nekat mendatangi Wae Rebo. Modalnya hanya sebuah foto dan informasi dari mulut ke mulut. Ia melihat rumah itu pertama kali dari sebuah kartu pos milik stafnya di biro arsitek Han Awal & Partner. Menurut dia, mbaru niang harus menjadi pusaka arsitektur tradisional. ”Karena penuh kearifan lokal,” kata pria 50 tahun itu.
Ia tidak kecewa ketika sampai di Wae Rebo dan hanya melihat empat mbaru niang. Dua di antaranya dalam kondisi hampir roboh. Sedangkan di sekitarnya terdapat tiga rumah berbentuk persegi dengan atap ijuk. Yori melihat ada kesempatan agar desa itu memiliki kembali tujuh mbaru niang seperti cerita para leluhur.
Tentu proses membangun ini tidak bisa dalam sekejap. Pendekatan dengan warga setempat dan pemerintah ia lakukan bersama timnya. Ia juga mencari sponsor untuk mendanai rumah senilai Rp 250 juta per buah itu melalui Program Rumah Asuh. Program ini ia buat sebagai wujud keprihatinan melihat arsitektur Nusantara yang semakin ditinggalkan.
Tidak hanya Wae Rebo yang menjadi sasaran Program Rumah Asuh. Dengan program ini, ia melakukan penyelamatan rumah adat hingga ke Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera Utara.
Setahun setelah mendapat bantuan dana dari Yayasan Tirto Utomo, Yori mendapat lampu hijau dari pemerintah untuk memperbaiki dua mbaru niang yang hampir roboh. Pembongkaran dua rumah itu menjadi ajang bagi para warga untuk mengenal teknik bangunan mereka. Sebelumnya, hanya sedikit orang yang paham. Padahal mbaru niang memiliki puluhan variasi teknik mengikat struktur bangunan. Bahkan teknik ini pun tidak pernah tercatat dalam pendidikan arsitektur di Indonesia.
Awal Juni lalu jumlah mbaru niang telah lengkap. Satu rumah dipakai untuk tempat penginapan turis. Bentuknya berbeda dengan rumah adat lainnya, karena terhubung dengan dua kerucut lain berukuran kecil yang berfungsi sebagai dapur dan kamar mandi. Blasius yakin kehadiran tujuh mbaru niang semakin memperkuat tradisi di Wae Rebo. ”Kami percaya sesuatu akan kuat kalau bersatu,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo