Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Misteri ’Kulit Batu’ Tohari

Lima tahun menderita pengerasan kulit, akhirnya dirawat di RS Dr Soetomo, Surabaya. Namun kulitnya tidak akan kembali normal.

11 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tukang cukur di Perumahan Taman Permata Buana, Jakarta Barat, itu bergidik. Seperti biasa, rampung memangkas rambut pelanggan, si tukang cukur memijit-mijit bahunya agar ototnya rileks. Tapi, saat memijit bahu Tohari, jari-jemarinya merasakan kulit pelanggannya itu keras laiknya batu. Kulit Tohari tidak lentur atau membal saat dipijit seperti orang kebanyakan. Tukang cukur itu pun menyerah.

"Dia pikir, saya punya cekelan (kesaktian)," ujar Tohari saat ditemui Tempo di Ruang Kemuning, Instalasi Rawat Inap Spesialis Penyakit Kulit dan Kelamin, Rumah Sakit Dr Soetomo, Surabaya, Selasa pekan lalu. Padahal warga Desa Ngadiboyo, Kecamatan Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur, itu tak punya ilmu apa-apa. Ia justru heran oleh keanehan yang terjadi dengan tubuhnya. Kisah tentang tukang cukur yang terkaget-kaget itu, kata Tohari, terjadi pada pertengahan 2006.

Tiga hari setelah potong rambut, Tohari pamit kepada bosnya, Tan Wiljadi, seorang konsultan. Tohari, yang sudah dua tahun menjadi sopir pribadi keluarga Tan di Taman Permata, hendak pulang ke rumah orang tuanya di Ngadiboyo.

Di kampungnya, ia kembali mendatangi tukang pijit. Namun, lagi-lagi, si tukang pijit menyerah. Jarinya tak kuasa menekan atau mengurut kulit tubuh Tohari, khususnya bagian pinggang ke atas, karena sudah mengeras laksana batu. Saat itulah Tohari baru sadar tubuhnya terserang kelainan yang dia sendiri tak tahu namanya.

Berbagai usaha menyembuhkan penyakit telah dilakukan Tohari. Tak hanya pergi ke dokter, pria kelahiran 1976 itu menemui kiai, juga dukun cilik asal Jombang, Ponari. Namun hasilnya nihil.

Belakangan, setelah penyakit aneh yang menjalari tubuhnya gencar diekspos media, Pemerintah Kabupaten Nganjuk turun tangan dengan menguruskan kartu jaminan kesehatan masyarakat. Tohari pun dirujuk ke RS Dr Soetomo, Surabaya, dan dirawat sejak Jum­at dua pekan lalu.

"Tohari diduga mengalami scleroderma," kata Yulianto Listiawan, dokter spesialis kulit dan kelamin RS Dr Soetomo yang menangani Tohari. "Untuk memastikan, kita masih menunggu hasil pemeriksaan sampel kulitnya, pada 12 Juli."

Scleroderma berasal dari dua kata bahasa Yunani, yakni "sclero" yang berarti keras dan "derma" atau kulit. Tohari mengalami pengerasan kulit, laiknya batu. Scleroderma lazim disebut "penyakit yang mengubah orang menjadi batu"—disease that turns people into stone.

Menurut Yulianto, penyakit Tohari jarang ditemukan, meski tidak terhitung langka. Sebab, angka kejadiannya 1-2 orang per 10 ribu penduduk. Tohari juga bukan kasus pertama yang ditangani RS Dr Soetomo.

Scleroderma merupakan salah satu penyakit autoimun, yakni penyakit yang muncul lantaran sistem kekebalan tubuh "berkhianat" sehingga menyerang jaringan tubuhnya sendiri. Hingga kini, para peneliti masih terus melakukan riset untuk mengungkap kenapa hal itu bisa terjadi. Sebagian ahli percaya faktor lingkungan, seperti virus atau zat kimia tertentu, memicu terjadinya scleroderma. Di Amerika Serikat, diperkirakan 300 ribu orang mengidap penyakit ini.

Pada dasarnya, scleroderma merupakan hasil produksi berlebihan dan akumulasi kolagen di jaringan tubuh. Kolagen adalah sejenis protein berserat yang membentuk jaringan penghubung di dalam tubuh, termasuk kulit. Hingga saat ini, ilmuwan belum menemukan faktor pasti penyebab produksi kolagen berlebihan. Namun sistem kekebalan tubuh tampaknya memainkan peran dalam urusan itu. Untuk alasan yang tidak diketahui, tiba-tiba sistem kekebalan berbalik dan menyerang tubuh—yang seharusnya dilindungi dari penyakit—sehingga menghasilkan peradangan dan kolagen berlebih.

Dalam kasus Tohari, menurut Yulianto, yang diserang oleh imunitas tubuhnya sendiri adalah lapisan kulit tengah (dermis), sehingga tidak timbul gejala sebelumnya. Tohari sepakat. "Sebelumnya, saya tak merasakan gejala apa-apa," ujarnya.

Sehari setelah dirawat di RS Dr Soetomo, Tohari menjalani roentgen seluruh tubuh. Hasilnya, mulai paru, darah, tulang, saraf, hingga kulit luar normal. Dari hasil pemeriksaan, telinga, hidung, dan tenggorokannya juga baik.

Dokter juga mengambil sampel kulit Tohari di bagian punggung untuk diperiksa. Hasilnya baru diketahui pada 12 Juli ini dan akan menjadi patokan untuk menentukan penyakitnya.

Saat ini, Yulianto mengaku telah mengantongi dua calon obat untuk Tohari. Namun, karena hasil uji sampel kulit Tohari belum keluar, ia belum bersedia menyebutkan jenis obat tersebut. Yang jelas, proses penyembuhan kulit Tohari perlu waktu lama.

"Akan kami carikan obat yang pas sehingga prosesnya tak berlanjut," ujar Yulianto, yang juga pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Obat yang diberikan, ia mengakui, tak bisa memulihkan kulit Tohari yang sudah telanjur mengeras. Tujuan pemberian obat lebih untuk mencegah agar serangannya tak kian meluas, apalagi sampai menyerang organ dalam.

Yulianto mensyukuri kondisi fisik Tohari yang kuat sehingga masih bisa bertahan sampai saat ini. Toh, ia menyayangkan terlambatnya proses penanganan penyakit tersebut. Sebab, Tohari baru dibawa ke RS Dr Soetomo dan mendapat diagnosis secara teliti setelah menderita "kulit batu" lima tahun. Jika pemeriksaannya lebih awal, ceritanya pasti berbeda.

l l l

Terus mencoba mencari pengobatan selama lima tahun jelas menguras duit. Orang tua Tohari, pasangan Suhar dan Laminem, sampai menjual sebagian tanahnya. Tohari sendiri melego sepeda motor bebeknya. Adapun istri Tohari, Lia, harus berutang ke bank dan tetangga. "Kalau ditotal, Rp 40 juta sudah habis. Sekarang kami masih nunggak utang cukup banyak," kata Tohari.

Kini dia sudah tak bisa berdiri tegak, dan bungkuk. Lehernya kian kaku, sehingga ia kesulitan menengok ke kanan atau ke kiri. Jika berpaling, Tohari harus memutar seluruh tubuhnya, mirip robot. Mulutnya juga tak dapat dibuka dengan leluasa. Lidahnya pun sulit menjulur.

Daftar penderitaannya masih berlanjut. Tohari juga sukar memasukkan nasi ataupun menyedot minuman. Sebelum sakit, ia dapat menuntaskan sepiring makanan kurang dari lima menit, tapi kini menjadi 10 menit. Selain sulit mengunyah, pria kerempeng ini susah menelan makanan. Derita bertambah lantaran ia hanya bisa tidur dengan posisi telentang. Untuk berpindah posisi menjadi miring, apalagi tengkurap, Tohari setengah mati kerepotan.

Lantaran upaya penyembuhannya mentok, enam bulan lalu Tohari pergi ke rumah orang tua angkatnya, Wahyudi, di Jalan Nginden III Nomor 4, Surabaya. Di sini, Tohari pernah bekerja sebagai sopir dan pembantu, sebelum hijrah ke Jakarta pada 2003, beberapa saat setelah anaknya lahir.

Wahyudi adalah wiraswasta dan nyambi sebagai event organizer musik. Namun, saat itu, Wahyudi tak bisa memberikan gaji layak sehingga menyuruh Tohari menjadi sopir pribadi adik iparnya, Tan Wiljadi, di Jakarta. "Saya minta dia ke Jakarta agar punya penghasilan tetap," kata Wahyudi.

Setelah enam bulan di rumah Wahyudi dan menjalani pekerjaan lamanya, Tohari mengaku sempat putus asa. Ia tak jua menyambangi istri dan anak lelakinya, Ale, di Nganjuk. Karena istrinya tak dinafkahi, mertua Tohari sempat meminta Lia menceraikannya. "Tapi istri saya masih cinta," ujar Tohari. Atas nama cinta itulah Lia tetap setia menemani Tohari selama menjalani perawatan.

Sembari menunggu kepastian ihwal penyakit dan obatnya, secara jujur Tohari mengaku tak betah tidur-tiduran di rumah sakit. Itu sebabnya ia sering keluyuran di sekitar kamarnya. Tempat tidur di rumah sakit pun acap dipakai istrinya. "Justru saya yang menjaga," kata Tohari sambil tertawa.

Dwi Wiyana, Kukuh S. Wibowo (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus