Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepintas penampilan fisik penduduk asli Wae Rebo tidak berbeda dengan suku Manggarai umumnya di Flores Barat. Berkulit gelap, rambut keriting. Perbedaan akan terlihat ketika melihat telapak kakinya. Bentuknya lebar dan tebal, dengan jari-jari kaki yang besar. ”Kami terbiasa berjalan kaki enam kilometer melewati gunung, hutan, dan sungai,” ujar Blasius Monta, 44 tahun.
Blasius, yang memiliki rumah di Desa Denge, Kecamatan Satar Mese, Manggarai, biasa datang ke Wae Rebo ketika bertemu dengan keluarga di akhir pekan. Profesinya sebagai guru sekolah dasar membuatnya tidak bisa berkunjung sesering yang ia inginkan. Jalanan yang sempit, berbatu, becek, longsor, tertutup ilalang membuat penduduk Wae Rebo, yang meski terlatih menempuh medan demikian, tetap merasa berat. Apalagi bila harus membawa beban, seperti beras, waktu tempuh yang biasanya dua jam bisa berlipat dua.
Denge adalah desa terdekat dari Wae Rebo. Di desa tersebut, penduduk Wae Rebo bisa bersekolah, mendapat layanan kesehatan dan kebutuhan sehari-hari. Sampai sekarang Wae Rebo belum memiliki saluran listrik ataupun telepon. Desa dengan ketinggian 1.100 meter dari permukaan laut itu juga steril dari sinyal telepon seluler.
Toh, Blasius mengaku bahagia. ”Kami hanya punya Rp 1.000 masih bisa makan,” ujar bapak empat anak itu sambil tertawa. Berkat tanah yang subur, warga tidak pernah kekurangan. Padi, ubi, markisa, jeruk, dan kopi tumbuh di sekitar Wae Rebo. Mereka juga beternak babi dan ayam. Air bersih mudah diperoleh dari sungai dekat kampung.
Warga pun terbiasa dengan cuaca dingin meskipun tidur hanya beralas tikar. Perapian di tengah rumah menjadi penghangat. Mereka bisa menemukan kayu api di sekitar kampung. Selain itu, kaum wanita biasa membuat kain tenun berbentuk sarung—yang pengerjaannya memakan waktu sekitar tiga bulan—sebagai penahan dingin.
Karena jumlah warga bertambah, tidak semua bisa tertampung dalam tujuh mbaru niang. Banyak penduduk yang memutuskan tinggal di sekitar Desa Wae Rebo, Denge, dan Kombo, yang berada di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Hanya perwakilan klan dari pihak laki-laki yang menempati mbaru niang. Hal ini tidak lantas memutuskan tali silaturahmi. Akhir pekan menjadi ajang warga untuk berkumpul dengan keluarga. Lapangan di tengah Desa Wae Rebo berubah menjadi tempat bermain voli, sepak takraw, dan sepak bola.
Kehidupan di perkampungan Wae Rebo mulai pada pukul enam pagi. Pemuka adat Wae Rebo, Alexander Ngandus, 65 tahun, mengatakan setiap orang sudah mengetahui peran masing-masing. Yang perempuan mengurus pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, mencuci, dan mengurus anak. Adapun warga laki-laki bekerja memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Tapi lelaki pun tak tabu turun ke dapur. Terbukti, jika ada turis datang, mereka tidak segan-segan menyuguhkan makanan dan membersihkan peralatan. Sopan santun antara pria dan wanita juga terjaga. Mereka memisahkan tempat menimba air. Dua sungai yang berada di dekat kampung itu terpisah untuk laki-laki dan perempuan.
Mengurus anak tidak semata tugas perempuan. Konon, tradisi menyanyi sambil memainkan gendang yang disebut mbata lahir dari urusan ini. Satu keluarga di Wae Rebo memiliki empat hingga enam anak. Umur mereka berdekatan, sehingga seorang ibu harus banting tulang menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Karena itu, ia menyuruh suaminya mbata supaya anak-anak tidak rewel.
Pada malam hari kaum pria terkadang mbata, menyanyikan lagu bertema kehidupan, hubungan antara orang tua dan anak, atau adat di Wae Rebo. Warga duduk bersila mengelilingi rumah gendang atau rumah utama, mendengarkan nyanyian itu. Ada pula yang bersantai sambil minum tuak, yang disebut moke atau air kata-kata. Sebab, kalau sudah menenggaknya, lancarlah kata-kata yang meluncur dari mulut mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo