Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPEKAN sudah tumpukan kertas itu berada di meja Direktur Penuntutan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Fietra Sani. Itulah berkas perkara pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif, Chandra M. Hamzah. Fietra punya tugas penting: ”menyaring” kembali berkas tersebut. Setelah Senin pekan lalu berkas itu dinyatakan lengkap di tingkat jaksa peneliti, kini giliran tim Fietra menilainya. Jika oke, berkas itu siap diluncurkan ke pengadilan. ”Tenggatnya Rabu pekan ini,” kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy kepada Tempo Jumat pekan lalu.
Kejaksaan mesti memiliki amunisi lengkap untuk membawa perkara ini ke meja hijau. Meski tim jaksa peneliti pimpinan Fadil Jumhana berkukuh semua petunjuk dan alat bukti sudah dipenuhi penyidik Markas Besar Kepolisian RI, toh urusannya tetap tak mudah. Berkas itu harus disaring lagi melalui beberapa tahap pemeriksaan, termasuk diuji di depan Jaksa Agung Hendarman Supandji.
Pertengahan September lalu, Bibit Samad Rianto dan Chandra ditetapkan sebagai tersangka. Semula, mereka dituduh menyalahgunakan wewenang dalam pencekalan Anggoro Widjojo (Direktur PT Masaro Radiokom) dan Joko Soegiarto Tjandra (Direktur PT Era Giat Prima). Belakangan tuduhan itu bertambah: memeras Anggoro dalam kasus Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan yang tengah ditangani Komisi. Tuduhan suap juga sempat mampir pada keduanya.
Berbeda dengan Chandra, berkas Bibit sampai akhir pekan lalu masih di tangan penyidik Markas Besar Polri. Soal ini dibenarkan Marwan. Namun, menurut sumber Tempo di Kejaksaan Agung, nasib Bibit tak bakal jauh dari Chandra. Jika berkas Chandra dianggap lengkap, hal yang sama kemungkinan besar terjadi untuk Bibit. ”Tuduhan dan alat bukti yang dipakai hampir sama, ” kata sumber itu.
Berkas Chandra dan Bibit sudah dua kali bolak balik dari kepolisian ke kejaksaan. Kejaksaan meminta polisi melengkapi alat bukti yang berkaitan dengan tuduhan pemerasan. Berdasar berkas dari polisi, masih ada tiga dari sembilan petunjuk dugaan pemerasan yang masih harus dilengkapi. Adapun soal tuduhan penyalahgunaan wewenang, sejak awal jaksa peneliti menganggap bukti dari kepolisian sudah lengkap. ”Pembuktian tuduhan itu memang gampang,” kata sumber ini.
Menurut Marwan, karena delik formal, pembuktiannya cukup memakai rangkaian petunjuk yang bisa memenuhi unsur pasal yang disangkakan. Dalam kasus penyalahgunaan wewenang tersebut, unsurnya jelas dan sudah terpenuhi. Ada unsur pejabat negara yang disandang Bibit dan Chandra serta ada unsur penyalahgunaan jabatan yang berkaitan dengan cekal atas nama tersangka lain. Bibit dianggap mencekal Anggoro tapi atas nama Yusuf Erwin Faishal. Sedangkan Chandra mencekal Djoko Tjandra atas nama Urip Tri Gunawan. ”Tinggal bagaimana meyakinkan hakim,” kata Marwan.
Yang rada pelik perihal pemerasan. Saat pertama kali menerima berkas dari polisi, jaksa menilai bukti unsur pemerasan yang dilakukan Bibit dan Chandra sangat minim. Misalnya, tidak ada unsur mengarah upaya memperkaya diri sendiri atau orang lain, sementara alat bukti aliran dana ke tersangka juga sangat lemah. Menurut Marwan, bukti penyerahan duit dari Ary Muladi ke KPK yang disebut polisi belum bisa dipakai untuk memastikan tuduhan bahwa Chandra dan Bibit menerima duit miliaran rupiah.
Yang juga lemah adalah bukti karcis parkir mobil Ary Muladi dan KPK di Pasar Festival pada Februari silam. Menurut polisi, saat itulah uang disetor Ary ke pimpinan KPK. Meskipun polisi sudah memeriksa 20 saksi, tak ada seorang pun yang mengetahui hal itu. ”Benang merahnya masih tipis untuk membuktikan pemerasan,” kata Marwan.
Jaksa menganggap tuduhan pemerasan itu sumir. Alasannya, aliran dana putus di tengah jalan. Apalagi sang inisiator tak jadi tersangka. Padahal, menurut pengakuan Ary Muladi dalam berkas pemeriksaan yang diterima kejaksaan, ia meminta uang ke Anggoro karena Ade Rahardja, Deputi Penindakan KPK, meminta ”atensi” atau imbalan ke pimpinan Komisi untuk ”menutup” kasus Masaro. Nah, kejaksaan meminta peran inisiator tersebut—Ade Rahardja—didalami. Jika tidak, perkara ini bakal terpental di pengadilan. Sebelumnya, baik Ary maupun Ade Rahardja berkukuh tidak saling kenal dan pernah bertemu.
Polisi berusaha memenuhi permintaan kejaksaan ini. Menurut sumber Tempo, dalam berkas terakhir yang dikirim kejaksaan, polisi sudah menunjukkan alat bukti yang bisa membuktikan kedekatan Ary Ade. Di antaranya, dugaan Ary telah ke kantor KPK untuk menemui Ade sebanyak enam kali, terjadinya 64 kali percakapan telepon di antara keduanya, serta adanya saksi yang mengetahui kedekatan mereka. Kedekatan ini kemudian yang akan menyatukan ”benang benang” aliran dana itu. ”Missing link sudah tidak ada,” kata Marwan.
Kendati sudah diperiksa beberapa kali, status Ade Rahardja sampai kini masih sebagai saksi. ”Yang jelas, peran Ade Rahardja sudah didalami,” kata Marwan. Sosok Yulianto, yang belakangan dimunculkan Ary Muladi, yang disebut sebagai orang yang menyerahkan duit sekitar Rp 5 miliar ke pimpinan KPK, diabaikan kejaksaan. ”Karena dalam berkas perkara yang diterima jaksa tidak ada nama itu,” ujar Marwan.
Keyakinan berbeda datang dari Tim Verifikasi Fakta Kasus Bibit dan Chandra atau yang biasa disebut Tim Delapan. Tim yang diketuai Adan Buyung Nasution ini menyimpulkan kasus Bibit dan Chandra harus dihentikan. Dalam tuduhan pemerasan, Tim menilai tidak ada bukti kuat sampainya uang ke Bibit dan Chandra. Sedangkan untuk penyalahgunaan wewenang, tim menilai perbuatannya tidak melanggar aturan internal Komisi dan tidak terbukti adanya unsur pemaksaan.
Menurut Bambang Widjojanto, pengacara Bibit Samad Rianto, Presiden semestinya menerima rekomendasi tim. Sebab, ujarnya, Tim Delapan dibentuk Presiden untuk mengakomodasi kuatnya desakan publik atas ketidakadilan dan dugaan rekayasa kasus ini. Sejak awal, ujar Bambang, pihaknya menganggap kasus rekayasa semata. ”Kasus ini terkesan dipaksakan karena hanya berdasar rangkaian petunjuk, bukan bukti hukum yang kuat.”
Bola kini memang di tangan Presiden. Sumber Tempo, pejabat lainnya di kejaksaan, menyatakan pihaknya yakin Presiden tak akan mengintervensi kasus ini. Menurut Marwan, hanya pengadilan yang bisa menghentikan kasus Chandra Bibit. Hak Bibit dan Chandra untuk kembali menjadi pimpinan KPK, kata Marwan pula, juga tetap terjamin karena Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan sela yang meminta Presiden tidak mengeluarkan keputusan pemberhentian tetap ketika keduanya jadi terdakwa.
Anton Aprianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo