Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENTERI Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto tahu persis bagaimana cara mengukur ”suhu tubuh bangsa Indonesia”. Untuk mengetahui reaksi publik akibat dugaan kriminalisasi terhadap dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, Rabu pekan lalu ia memanggil Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. ”Saya minta beliau mengecek bagaimana situasi di sejumlah gubernuran,” kata Djoko kepada Tempo.
Gamawan bertindak cepat. Segera ia mengontak sejumlah gubernur di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, sepanjang akhir pekan lalu. Para kepala daerah itu, menurut Gamawan, melaporkan bahwa isu perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi versus polisi tak banyak diperhatikan. ”Demo ada tapi terbatas dan kecil,” katanya. ”Orang di daerah tenang tenang saja, malah lebih memikirkan nanti pupuk ada atau tidak.”
Menerima laporan itu, Djoko percaya diri. ”Coba ke Pasar Induk Kramat Jati, Pasar Klewer, Pasar Beringharjo, itu sektor riil di mana ada jutaan masyarakat kita. Apa mereka terpengaruh oleh kasus ini?” katanya.
Senin pekan ini, rencananya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan menyampaikan tanggapan atas rekomendasi Tim Delapan atas sengkarut kasus Bibit dan Chandra. Tim Delapan adalah tim yang dibentuk Presiden untuk memverifikasi kasus kedua tersangka. Setelah mewawancarai sejumlah sumber, Tim berkesimpulan bahwa kriminalisasi itu benar adanya.
Mereka merekomendasi Presiden turun tangan dengan memilih beberapa alternatif prosedur hukum. Alternatif itu antara lain meminta polisi mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), meminta kejaksaan menerbitkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP), dan meminta Jaksa Agung mendeponir perkara (lihat ”Cara cara Membebaskan Bibit Candra”).
Soal sikap Presiden atas rekomendasi Tim Delapan, Djoko enggan mendahului. ”Tunggu saja Senin ini,” katanya. Meski begitu, mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia ini memberikan beberapa sinyal. ”Presiden tidak akan melanggar undang undang dan konstitusi,” katanya. Sejak awal—bahkan dalam konferensi persnya yang pertama menanggapi kasus ini—kata Djoko, Presiden sudah tegas mengatakan tidak bisa mengintervensi proses hukum.
Juru bicara kepresidenan, Julian Pasha, akhir pekan lalu memberikan keterangan yang lebih tegas. ”Standing position Presiden cukup jelas: beliau tidak dalam kapasitas untuk mencampuri proses hukum,” katanya. Dengan kata lain, rekomendasi Tim Delapan agar Presiden menyetop kasus Bibit Chandra tampaknya akan masuk kotak.
Gelagat sikap Presiden ini sebetulnya sudah terbaca pada Rabu pekan lalu. Selepas makan siang, Presiden menggelar rapat kabinet terbatas di Istana Merdeka. Agendanya khusus: membahas rekomendasi Tim Delapan. Kepala Kepolisian RI Jenderal Bambang Hendarso Danuri, Jaksa Agung Hendarman Supandji, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, hadir dalam rapat itu. Dua menteri senior: Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, dan Kepala Badan Intelijen Negara Sutanto, juga tampak di sana.
Di awal rapat, Presiden bercerita tentang maraknya berita di media massa dan Internet yang mendesaknya segera menyikapi rekomendasi Tim Delapan. Meski agak menekankan kalimatnya, Yudhoyono tampak tenang dan tidak emosional. ”Jangan sampai pula saya sebagai presiden didorong dan dipaksa untuk mengambil langkah yang bukan kewenangan saya. Kalau itu terjadi, berarti saya melanggar undang undang dan melawan undang undang,” katanya tegas.
Presiden lalu meminta mereka yang hadir memberikan masukan dan saran. Bambang Hendarso dan Hendarman yang pertama kali bicara, disusul sejumlah menteri. Mereka memberikan berbagai pertimbangan tentang risiko hukum dan politik dari setiap poin rekomendasi Tim Delapan. Ditemui pekan lalu, Djoko Suyanto mengakui bahwa intervensi ke dalam proses hukum dinilai berisiko dan bisa berujung pada impeachment. ”Kalau Presiden melanggar hukum, ya ada risikonya,” katanya.
Sumber Tempo menjelaskan, dalam rapat yang berlangsung sekitar tiga jam itu, Yudhoyono beberapa kali menyatakan akan menghormati proses hukum. ”Kalau mereka (Bibit Chandra) memang tidak bersalah, ya silakan membuktikan diri,” kata sumber ini, mengulangi pernyataan Presiden.
SUASANA berbeda tampak pada Selasa pekan lalu, sehari sebelum Presiden menggelar rapat kabinet. Delapan anggota Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah itu duduk dengan wajah tegang di ruang rapat Istana Merdeka.
Setelah bekerja siang malam selama dua pekan penuh, tim itu akhirnya tuntas menyelesaikan mandatnya. Hasil kerja mereka—dalam bentuk sebundel laporan setebal 31 halaman—baru saja diberikan ketua Tim, Adnan Buyung Nasution, kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
”Kami waktu itu separuh menebak nebak, bagaimana reaksi Presiden,” kata salah satu anggota tim, Hikmahanto Juwana, guru besar ilmu hukum dari Universitas Indonesia, pekan lalu. Senin pekan sebelumnya, sempat santer beredar kabar bahwa Presiden agak kesal pada sepak terjang Tim Delapan. Konon, salah satu pangkal kemarahan RI 1 adalah soal tindakan tim yang dinilai lancang: menggelar konferensi pers ketika laporan sementara mereka belum sampai ke Istana. Ketika itu Hikmahanto mengaku dag dig dug. ”Jangan jangan...,” dia tak melanjutkan kalimatnya.
Tapi kekhawatiran itu terbukti tak beralasan. Ketegangan mencair dengan cepat. Pada saat dipersilakan memaparkan hasil kerjanya, Adnan Buyung langsung meminta maaf atas kesalahpahaman yang mungkin terjadi. ”Jika ada salah kata, salah tindak, dalam kerja kami sebagai tim, ini mungkin disebabkan perbedaan kultur di antara kita,” kata advokat senior yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini, santun.
Yudhoyono mengangguk sambil tersenyum. Tak tampak kedongkolan sedikit pun dalam bahasa tubuhnya. ”Wajah beliau cerah sekali, makanya kami juga cerah,” kata Buyung kemudian.
Dibantu presentasi powerpoint di layar proyektor, Buyung lalu menjelaskan satu demi satu temuan mereka. Presiden Yudhoyono sesekali menunjuk bagan atau skema di layar, yang tidak dijelaskan tuntas, dengan pulpen berlaser merah. ”Ini apa maksudnya?” Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu bertanya tentang awal kasus Bibit Chandra dan testimoni mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar.
”Presiden atentif sekali, dia ingin tahu setiap detail,” kata Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina, yang menjadi juru bicara Tim. Di bagian lain, SBY menyoroti skema yang menjelaskan perjalanan kasus Bibit Chandra yang beberapa kali bolak balik antara Kejaksaan Agung dan kepolisian. ”Apa sebabnya?” tanya Yudhoyono ingin tahu.
Selama kurang lebih satu jam, Buyung, sesekali dibantu Anies, menjelaskan mengapa Tim Delapan berkesimpulan penyidikan polisi atas dua pemimpin non aktif Komisi Pemberantasan Korupsi ini harus dihentikan. ”Awalnya memang wajar, namun belakangan polisi terlihat memaksakan dugaan penyalahgunaan wewenang ini,” kata Buyung, sembari memaparkan sederet kejanggalan temuan Tim Delapan. Wakil Ketua Tim, Mayor Jenderal Polisi (Purn) Koesparmono Irsan, sempat menyela, ”Saya awalnya percaya polisi tidak mereka reka, tapi saya meragukan itu sekarang.”
Mendengar paparan itu, Presiden manggut manggut. Di sampingnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Djoko Suyanto, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, dan juru bicara Dino Pati Djalal, sesekali membuat catatan.
Setelah Buyung rampung bicara, Presiden mempersilakan anggota Tim Delapan lain menambahkan. Komaruddin Hidayat, Amir Syamsuddin, dan Hikmahanto lalu buka suara. Intinya, mereka memperkuat kesimpulan dan rekomendasi Tim. ”Pendapat kami memang bulat, kompak,” kata Anies Baswedan, yang ditemui Tempo, pekan lalu. Dia mengakui, ketika mulai bekerja, tiap anggota Tim berangkat dengan asumsi dan pendapat sendiri sendiri. ”Namun, di akhir, kami malah dipersatukan oleh begitu terangnya fakta dan data dalam kasus ini.”
Lalu tiba giliran Presiden menyampaikan tanggapan. ”Ini momentum untuk reformasi hukum di negeri ini,” katanya. Ia berjanji akan at all cost, and at all risks, memberantas korupsi.
Peserta rapat hening, mendengar pernyataan berani Presiden. ”Besok saya panggil Kapolri dan Jaksa Agung, untuk diberi waktu 2 3 hari mempelajari laporan ini,” katanya kemudian.
Di akhir rapat, Djoko Suyanto sempat menanyakan apakah laporan Tim Delapan ini bisa disampaikan kepada pers. ”Silakan saja,” kata Presiden cepat. ”Kita ingin menerapkan good governance dan transparansi, laporan ini bukan rahasia negara.” Dimintai konfirmasi tentang perannya ini, Djoko mengelak. ”Ah, apalah awak ini,” katanya akhir pekan lalu.
Setelah pertemuan berakhir, kepada wartawan yang mengerumuni mereka di ruang pers Istana, kedelapan anggota Tim tak bisa menyembunyikan wajah mereka yang berseri seri. ”Saya merasa plong,” kata Buyung.
SEJAK laporan Tim Delapan disampaikan kepada Presiden, sudah dua kali Djoko Suyanto diminta datang untuk mendiskusikan perkembangan kasus Bibit Chandra. Pertama, dia diminta menghadap Presiden di kediaman pribadi, di Cikeas, Bogor, Senin pekan lalu.
Saat itu Yudhoyono baru saja kembali dari Konferensi Tingkat Tinggi Forum Ekonomi Asia Pasifik di Singapura. ”Pertemuan itu lebih untuk konsolidasi. Saya melaporkan apa yang terjadi sepekan terakhir, ketika beliau di luar negeri,” kata Djoko, saat ditemui di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Menurut dia, Presiden mengikuti semua pro dan kontra di masyarakat. ”Demonstrasi juga tetap diberi ruang, silakan berekspresi,” kata Djoko.
Rekomendasi Tim Delapan, menurut Djoko, bisa digolongkan menjadi dua kategori: wilayah hukum dan wilayah pemerintahan. ”Memberikan surat perintah penghentian penyidikan, surat keputusan penghentian penuntutan, atau deponering, bukan wilayah Presiden,” kata Djoko.
Demikian juga rekomendasi tentang penuntasan sejumlah kasus, mulai dari dugaan suap oleh PT Masaro Radiokom ke Dewan Perwakilan Rakyat, dugaan pelanggaran hukum Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal (Pol.) Susno Duadji, sampai dugaan korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan.
Rekomendasi yang masuk wilayah eksekutif, menurut Djoko, hanya soal reformasi institusional dan governance audit lembaga penegak hukum, serta pemberantasan makelar kasus. ”Itu semua sudah mulai dikerjakan,” katanya.
Walhasil, drama cicak versus buaya istilah yang melukiskan perseteruan KPK dan polisi—tampaknya akan berakhir di pengadilan. Lebih dari sekadar memastikan kesalahan Bibit Chandra, momentum pengadilan tampaknya akan dipakai untuk mengoreksi wewenang KPK.
Presiden dalam beberapa kesempatan memang sempat mengeluhkan kecenderungan Komisi Pemberantasan Korupsi yang berkembang menjadi superbody. Tapi Djoko Suyanto membantah jika disebut kasus Bibit Chandra ini merupakan peringatan Presiden untuk memberikan pelajaran pada Komisi. Namun ia membenarkan bahwa KPK mestinya memperbaiki diri. Kata Djoko, ”Ini warning untuk semua lembaga negara, bahwa seindependen apa pun, tetap harus accountable kepada publik.”
AZ, Wahyu Dhyatmika, Oktamandjaya Wiguna
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo