Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Udjo Ngalagena dan istrinya mendirikan Saung Angklung sebagai pusat belajar kebudayaan Sunda.
Karya mereka telah dipentaskan di berbagai belahan dunia, dan sejumlah tokoh dunia pun pernah ke Saung Angklung Udjo.
Jika tidak diselamatkan, kejayaan Saung Angklung Udjo mungkin bakal tinggal kenangan.
Belasan pengunjung bermasker dan berpenutup wajah transparan tampak antusias mengikuti aba-aba dari pemandu pertunjukan angklung. Mereka duduk dalam jarak renggang pada undakan berbentuk setengah lingkaran yang menghadap panggung utama di amfiteater Saung Angklung Udjo, Bandung. Serupa dengan pengunjung, sejumlah musikus dan penari di atas panggung juga memakai masker dan penutup wajah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemandangan yang terlihat dalam video promosi Saung Angklung Udjo in New Normal, yang diunggah di YouTube, tujuh bulan lalu itu begitu kontras dengan kondisi biasanya pada satu-dua tahun lalu. Kala itu, hampir saban hari, amfiteater berkapasitas seribu orang tersebut dipadati pengunjung. Dalam video ini, pengelola mempromosikan kesiapan para pegawai Saung Udjo dalam menyambut wisatawan untuk datang kembali ke lokasi wisata budaya Sunda itu setelah berbulan-bulan vakum dihajar pandemi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Video itu rupanya kurang cukup kuat menarik minat wisatawan untuk datang. Maret lalu, pengelola memutuskan membuat pertunjukan virtual demi membangkitkan kembali kegiatan di sana. "Pandemi ini membuat kami harus berinovasi. Salah satunya dengan menggagas pertunjukan secara hibrida atau virtual," kata CEO Saung Angklung Udjo, Taufik Hidayat Udjo, akhir Maret lalu.
Waktu itu, mereka baru saja menerima bantuan dari Badan Musyawarah Perbankan Daerah Jawa Barat berupa sejumlah peralatan produksi pertunjukan daring. "Bantuan ini ibaratnya penyambung nyawa buat kami setelah sejak tahun lalu kami dihantam pandemi Covid-19," Taufik menambahkan. Keterpurukan terjadi akibat minimnya kunjungan wisatawan, yang berdampak pada pengurangan jumlah karyawan hingga 90 persen dari sekitar 1.000 orang pekerja seni di sana.
Petugas mengumpulkan ribuan angklung buatan sekitar 25 sentra pengrajin untuk diberi sentuhan akhir dan di tala ulang di Saung Angklung Udjo, Bandung, Jawa Barat, 17 April 2015. Angklung tersebut untuk pemecahan rekor dunia Angklung For The World yang melibatkan 20.000 pemain sebagai bagian dari perhelatan Konferensi Asia Afrika ke-60. TEMPO/Prima Mulia
Pandemi tak hanya membuat Saung Udjo kehilangan pemasukan. Kejayaan pusat pelestarian, edukasi, dan wisata alat musik khas Sunda itu juga meredup. Padahal, sejak didirikan sang maestro angklung (almarhum) Udjo Ngalagena dan istrinya, (almarhumah) Uum Sumiati pada 1966, kisah perjalanannya selalu terdengar mentereng. Lewat berbagai inisiatif para penerus Udjo, angklung bisa menembus dunia dan membuat Saung Angklung Udjo menjadi salah satu destinasi wisata wajib wisatawan asing di Jawa Barat.
Saat mendirikannya, Udjo Ngalagena dan istrinya memang meniatkan agar tempat yang berlokasi di Jalan Padasuka, Bandung, itu menjadi sanggar pendidikan dan pusat belajar kebudayaan Sunda. Udjo yang mempelajari angklung dan instrumen musik Sunda lain dari para maestro, seperti Daeng Soetigna, Mang Koko, dan Raden Machjar Angga Koesoemadinata, menularkan kembali ilmunya kepada kesepuluh putra-putrinya serta anak-anak di sekitar lokasi saung itu.
Di sana, ia juga membentuk kelompok seni pertunjukan angklung sebagai atraksi budaya. Sebab, pada 1960-an, Udjo melihat sedikit sekali pertunjukan budaya khas Sunda di Bandung. Padahal saat itu sudah banyak wisatawan asing berpelesir di Kota Kembang. Dikutip dari buku Udjo: Diplomasi Angklung karya Sulhan Syafii, inisiatif Udjo untuk membuka tempat pertunjukan seni budaya Sunda mendapat dukungan banyak pihak.
Salah satu penyumbang dananya adalah Yayasan Bakti Haruman. Udjo menggunakan bantuan itu untuk memperluas tempat pentas. Dua tahun setelah didirikan, Saung Udjo mulai menerima kunjungan wisatawan yang awalnya berasal dari tamu-tamu tokoh Jawa Barat, Oejeng Soewargana. Saung Udjo mulai dilirik jadi tempat wisata komersial dimulai pada September 1968, waktu itu biro perjalanan NITOUR membawa enam turis asal Prancis ke sana. Kepada mereka, Udjo mempertunjukkan permainan angklung ditemani para pemain angklung cilik yang merupakan anak-anaknya sendiri.
Anak-anak bermain Angklung dalam acara 'Angklung Pride' di Saung Angklung Udjo (SAU) Bandung, Jawa Barat (16/11). 'Angklung Pride' merupakan kegiatan untuk memeringati tiga tahun disahkannya Angklung oleh UNESCO sebagai warisan budaya benda asli dari Indonesia. ANTARA/Agus Bebeng
Sejak kedatangan para tamu asal Prancis yang senang menyaksikan pertunjukan musik tradisional, para pemandu wisata biro perjalanan itu rutin membawa tamu mereka ke sana. Kesuksesan tersebut diikuti biro perjalanan lain yang membawa turis mancanegara. Beberapa nama besar yang berkunjung ke Saung Angklung Udjo pada 1960 hingga 1970-an, antara lain, Sultan Malaysia Yang Mulia Tuanku Abdul Rahman; Jenderal Angkatan Darat Amerika Serikat William Westmoreland; para pejabat Kerajaan Belanda; Putri Kerajaan Thailand HRH Maha Chakri Sirindhorn; Ibu Negara Filipina, Amelita Ramos; dan para duta besar negara sahabat.
Kedatangan para tokoh internasional itu diikuti dengan kunjungan para pejabat pemerintah RI dan tokoh lain. Popularitas Saung Angklung Udjo pun terus meningkat. Pada 1983, Udjo mendapat tugas dari Menteri Luar Negeri RI Mochtar Kusumaatmadja untuk mengajar pembuatan instrumen angklung dan melatih cara memainkannya kepada seniman di Solomon, Pasifik Selatan. Sebelum mendirikan Saung, tepatnya pada 1961, Udjo memang sudah membuat sendiri angklungnya.
Pada 1990-an, Saung Angklung Udjo mulai dikelola putra-putri Udjo. Saung Udjo pun semakin populer menjadi destinasi wisata di Jawa Barat. Pada 1995, Udjo membangun amfiteater berkapasitas 500 orang dengan desain berunsur bambu. Pengelola juga semakin kreatif menyajikan program pertunjukan kesenian. Tak hanya permainan musik angklung interaktif, ada juga pertunjukan seni tari, permainan tradisional, dan melihat langsung proses pembuatan angklung. Aneka program itu menarik minat kunjungan dari wisatawan kelompok dan kalangan korporat yang mengadakan acara di sana.
Pada 2001, Udjo Ngalagena meninggal. Pengelolaan Saung Angklung Udjo diambil alih sepenuhnya oleh para penerusnya. Putra kedua Udjo, Sam Udjo, meneruskan jejak sang ayah menjadi pengajar angklung. Ia ditunjuk menjadi salah satu maestro dalam program Belajar Bersama Maestro Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2015. Sam juga menjadi pemimpin kelompok orkestra angklung yang rutin tampil di luar negeri.
Petugas mengepak dan menandai ribuan angklung khusus buatan sekitar 25 sentra pengrajin yang telah diberi sentuhan akhir dan di tala ulang di Saung Angklung Udjo, Bandung, Jawa Barat, 17 April 2015. TEMPO/Prima Mulia
Meningkatnya kunjungan wisatawan juga diikuti dengan permintaan angklung yang terus bertambah. Pada 1997, Saung Udjo memberdayakan warga sekitar Padasuka untuk memproduksi alat musik bambu itu dengan pola kemitraan. Permintaan alat musik angklung tidak hanya datang dari para wisatawan yang membeli untuk suvenir. Banyak institusi pendidikan turut memesan alat musik ini.
Pada 2010, Saung Angklung Udjo tercatat menjadi pusat produksi angklung terbesar di dunia. Waktu itu, ada seratusan perajin angklung dari 11 kelompok yang mampu memproduksi hingga 20 ribu angklung per bulan. Dikutip dari Koran Tempo pada 2010, Direktur Operasional Saung Angklung Udjo, Satria Yanuar Akbar, mengatakan tingginya produksi angklung tersebut terus berkejaran dengan semakin bertambahnya permintaan angklung dari pembeli.
Alat musik angklung semakin dikenal di seluruh Indonesia dan luar negeri ketika UNESCO mengakuinya menjadi salah satu warisan budaya dunia tak benda pada satu dekade lalu. Saung angklung itu pun terus menjalankan edukasi musik tradisional Sunda dengan menerima kunjungan wisatawan yang bisa mencapai 2.000 orang per hari. Di sisi lain, Sam Udjo terus membawa kelompok orkestranya tampil di panggung dunia. Dalam setahun, mereka bisa 10-15 kali pentas.
Wisatawan dari Belanda bermain angklung di Saung Angklung Udjo, Bandung, Jawa Barat, 2018. TEMPO/Prima Mulia
Beberapa acara bergengsi yang pernah diisi kelompok orkestra angklung ini, antara lain, Music for Cultural Harmony bagian Asian Games di Cina pada 2010. Sebelumnya, bersama musikus Dwiki Dharmawan, mereka menampilkan pertunjukan musik jazz angklung di Frankfurt, Jerman.
Di dalam negeri, orkestra angklung Sam Udjo juga kerap mengisi acara kenegaraan, seperti Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Sejak 1990-an, sewaktu Udjo Ngalagena masih aktif bermusik, ia juga kerap memimpin kelompok angklungnya tampil di depan tamu negara, seperti dalam acara KTT Non-Blok ke-10 pada 1992 dan WTO Gala Dinner pada 1993.
Kini, dalam situasi pandemi yang mencekik, pengelola Saung Angklung Udjo terpaksa menahan keinginan untuk meneruskan kejayaan Udjo Ngalagena. Bahkan, jika mereka tidak menemukan cara terbaik untuk bertahan, apalagi bila tanpa dukungan dari pihak-pihak yang peduli pada kebudayaan, ada kemungkinan segala kejayaan itu akan tinggal kenangan.
PRAGA UTAMA | ANWAR SISWADI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo