Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Keluarga 'Si Putih'

Bisnis narkotik dan obat-obat terlarang beromzet miliaran rupiah. Polisi kewalahan membendungnya.

6 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Si putih" narkotik dan keluarganya (sabu-sabu, putauw, obat-obat terlarang, dan sejenisnya) adalah ceruk bisnis yang menggiurkan. Jumlah omzet nasional barang-barang haram itu diperkirakan Rp 390 miliar per hari. Memang angka ini muncul dari data secara umum jumlah penyalah guna narkotik, alkohol, dan zat adiktif (NAZA) dikalikan biaya konsumsi per orang per hari. Khusus omzet narkotik dan obat, jumlahnya diduga, ya, sebesar itu. Penelitian pemerintah pada 1995 mengungkapkan bahwa jumlah penyalah guna NAZA di Tanah Air 0,065 persen dari populasi. Artinya, dari 200 juta penduduk Indonesia, jumlah penyalah guna NAZA 130.000 orang. Memakai analogi fenomena gunung es, jumlah pengguna barang "haram" itu sebenarnya sepuluh kali lipat: 1,3 juta orang. Jumlah ini, dikalikan biaya konsumsi per orang per hari yang besarnya Rp 100 ribu sampai Rp 300 ribu (menurut penelitian Dadang Hawari pada 1998), menghasilkan perkiraan omzet Rp 130 miliar sampai Rp 390 miliar. Setelah empat tahun berlalu dan seiring dengan perubahan sosial di Tanah Air akibat gelombang reformasi yang begitu cepat berpusing, kini diperkirakan omzet itu menggelembung. Bisnis narkotik dan obat umumnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tapi, di tempat "gelap" seperti diskotek, barang-barang itu dijual secara terang-terangan. Datanglah ke sebuah diskotek di kawasan Manggabesar, Jakarta Pusat. Di rumah ajojing yang juga membuka pintunya setiap Minggu sore itu, banyak cewek praremaja alias anak baru gede yang tak takut-takut menawarkan pil ekstasi. Biasanya seorang "om" yang datang sendirian akan didekati seorang cewek dengan rayuannya. "Om, butuh obat?" katanya. Tawaran itu bisa dilakukan secara blak-blakan. Dengan bunyi musik rancak yang menggedor-gedor telinga dan tata lampu di dalam ruang ajojing yang selalu nyaris gelap, toh tak akan ada "tetangga" yang mengetahui transaksi haram itu. Bukan rahasia lagi bila diskotek adalah bursa yang strategis untuk para penjual obat-obat terlarang. DKI Jakarta, misalnya. Kepolisian Daerah Metro Jaya menengarai sejumlah 158 diskotek dijadikan para penjual obat-obat terlarang sebagai bursanya. Selain diskotek, bar (11), karaoke (179), terminal bus (15), stasiun kereta api (11), bioskop (174), pelabuhan (1), dan bandara (1). Bisnis barang haram ini dianggap menggiurkan. Sejumlah orang dari berbagai profesi mendulang rezeki di situ. Laporan dari Markas Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung pada 1999, yang telah menangkap 26 orang tersangka, menunjukkan bahwa profesi mereka wiraswasta, mahasiswa, penganggur, dan profesional. Bisik-bisik umum di kalangan artis menyebutkan bahwa beberapa anak pejabat pada zaman Orde Baru terlibat juga dalam bisnis itu. Kasus kematian Aldi, yang melibatkan nama artis Ria Irawan pada 1996, salah satu indikasinya. Ada kabar yang berembus kuat bahwa sejumlah kecil polisi dan militer tak jarang menjadi beking perdagangan obat terlarang itu. Sumber resmi di Kepolisian Kota Besar Bandung mengakui, praktek miring itu dikabarkan menggerogoti lembaganya. Cerita dari pecandu, sebut saja Riri, kepada TEMPO memperkuat dugaan praktek miring di kalangan aparat. Sering keluar-masuk tahanan Kepolisian Resor Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat karena tertangkap basah mengonsumsi sabu-sabu, Riri tak jarang diajak bekerja sama dengan pihak aparat untuk mencari konsumen baru. Iming-iming imbalannya, ya, sabu-sabu. "Gue, sih, mau-mau aja. Daripada sakau (ketagihan) terus dalam tahanan," kata Riri. Tapi cerita-cerita miring semacam itu dibantah oleh Letkol H. Abdullah H.S. "Ah, itu tidak benar, " kata Abdullah. Polisi adalah tumpuan masyarakat dalam pemberantasan kejahatan narkotik dan obat terlarang lain. Laporan hasil kerja Polda Metro Jaya pada 1998 menyebutkan, 152 perkara menyangkut kejahatan itu telah masuk ke meja kerja mereka. Artinya, setiap hari lembaga kepolisian itu hanya bisa mengerjakan satu lebih sekian perkara. Apakah hasil itu sebanding dengan omzet peredaran narkotik dan obat terlarang yang Rp 390 miliar itu, yang sebagian besar diperkirakan beredar di Jakarta? Bayangkan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus