"NERAKA";?ah, lebih tepat disebut panti penggemblengan?bagi pecandu narkotik hanya selangkah di belakang pintu pusat rehabilitasi mental. Lihatlah mereka, anak-anak muda yang digelandang ke Pesantren Inabah, Suryalaya, Tasikmalaya. Kebanyakan mereka menolak untuk dijebloskan ke sana karena memang pendidikan di dalamnya mirip di Biara Shaolin yang keras: orang-orang "digembleng" secara fisik dan mental.
Begitu seorang pasien masuk ke pesantren, dia diharuskan mengikuti prosedur standar: dimandikan dengan air sedingin es bersuhu sekitar 8 derajat Celsius selama tujuh hari berturut-turut setiap tengah malam, pagi, siang, dan sore. Juga setiap kali penyakit ketagihan kambuh. Ritus pengguyuran air langsung dari Gunung Galunggung itu disebut mandi tobat. Cara itu dilakukan untuk membangunkan kesadaran mereka yang baru saja masuk ke panti, yang biasanya masih dalam keadaan mabuk (sakaw). Logikanya, seluruh jaringan saraf otak pasien yang mabuk dalam keadaan meregang, lalu guyuran air dingin ke kepala itu bisa mengendurkannya kembali. Tapi, juga ada penjelasan lain. "Memandikan malam-malam itu untuk melawan rasa mengigil akibat dihentikan secara mendadak dari pengaruh narkotik," kata K.H. Anang Syah, Pimpinan Inabah I, kepada TEMPO suatu waktu.
Disiplin yang keras itu memang layak diberlakukan terhadap para penderita ketergantungan pada narkotik dan obat-obatan terlarang. Sebab, mereka yang telah terjangkiti ketergantungan itu dalam stadium lanjut cenderung bertindak asosial: royal kata-kata jorok dan kasar, gampang mengamuk, suka berkelahi, dan bertingkah gila. Haji Gaos, pengasuh di Pesantren Inabah, menuturkan tingkah gila Nizar, 20 tahun, pasien asal Jakarta. Suatu hari, ketika penyakitnya kambuh, pemuda bertubuh kurus itu berak. Dengan wajah tampak tertekan, Nizar meraup kotoran itu dan?maaf?memasukkannya ke mulut. Sisanya ia lemparkan ke tembok-tembok.
Mengajarkan disiplin dan mengembalikan langkah "anak-anak nakal" itu ke jalan yang lurus memang tidak mudah. Maka, dibutuhkan tangan-tangan terampil untuk membantu para generasi masa depan itu ke rel yang normal. Pesantren Inabah, misalnya, merekrut sekitar 100 orang untuk menangani pasien sebanyak 1.000 orang. Latar belakang pendidikan yang dibutuhkan untuk menopang konseling di Inabah ini agak unik karena pendekatannya memakai metode agama. Tepatnya, metode zikir Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Maka, bekal pendidikan utama yang diperlukan, ya, pengetahuan know-how metode zikir itu. Di luar itu, sebagian pengasuhnya yang masih kuliah di IAIN Sunan Gunung Jati, Bandung, juga mempelajari psikologi secara otodidak, dan membekali diri dengan seni bela diri.
Metode Inabah ini unik dibandingkan dengan metode yang diterapkan di kebanyakan panti rehabilitasi mental lain, seperti Drop In Center (Yayasan Insan Pengasih, Jakarta), Parmadisiwi (Kepolisian Daerah Metro Jaya, Jakarta), Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO, Jakarta), dan Wisma Adiksi (Jakarta). Lembaga-lembaga itu secara umum menggunakan metode psikiatri dan kedokteran modern.
Selain itu, konseling kerohanian di sana-sini juga ditambahkan. Menghilangkan racun (detoksifikasi) akibat konsumsi obat-obatan adalah langkah pertama yang harus dilakukan lewat metode ilmiah ini, sesuatu yang tak dilakukan lewat cara tradisional ala Inabah. Tahun lalu, detoksifikasi yang dipakai di Indonesia membutuhkan waktu sekitar seminggu, tapi sekarang proses membersihkan racun dari tubuh itu bisa dilakukan hanya dalam waktu empat jam.
Setelah detoksifikasi, yang biasanya dilakukan di rumah sakit, penderita masih harus menjalani perawatan yang disebut terapi rumatan, yaitu singgah di panti-panti rehabilitasi mental itu. Soalnya, pembersihan itu baru bersifat fisik. Sebab, secara mental, keinginan untuk tetap mengonsumsi obat-obatan masih ada, penderita masih harus menjalani bimbingan mental dan kerohanian. Maksudnya, agar penderita tidak lagi doyan "si putih". Jangka waktu perawatan di tiap-tiap panti itu berbeda-beda, tapi secara umum sekitar enam bulan, sebelum si penderita dibolehkan pulang ke rumah keluarganya. (Lihat infografik: Awasi Ciri, Kenali Perawatan)
Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, ahli psikiatri dari Universitas Indonesia, sejak awal tahun ini mengembangkan metode baru yang disebut sesuai dengan nama dirinya: metode Dadang Hawari. Metode yang oleh kolega dekatnya disebut "psiko-religius" itu telah disusun secara sistematis, dibukukan, dan diterapkan di Pondok Pesantren Modern Darul Ichsan di Kabupaten Bogor. Metode ini menggabungkan metode psikiatri, kedokteran modern, dan pembinaan kerohanian Islam secara terpadu dan berkesinambungan.
Gambaran umumnya: setelah didetoksifikasi, penderita akan masuk ke tahap pemantapan selama dua minggu. Ditempatkan di sebuah wisma, penderita akan memperoleh terapi medis, psikologis, psiko-religius, dan terapi fisik. Senyampang dengan itu, keluarga penderita akan memperoleh konsultasi untuk mendukung rehabilitasi mental penderita. Tahap berikutnya disebut rehabilitasi, yang memakan waktu tiga bulan. Ditempatkan di Pondok Pesantren Modern Darul Ichsan, Bogor, penderita masih memperoleh terapi seperti pada tahap pemantapan. Di luar itu, penderita akan memperoleh pendidikan agama, psikoterapi kelompok dan perorangan, pendidikan umum, pendidikan keterampilan, pendidikan jasmani, dan rekreasi. Bahkan, bagi penderita yang mampu, diseyogyakan untuk mengikuti umroh. Terakhir, tahap koridor selama dua tahun. Penderita akan dilibatkan dalam sebuah pertemuan dua kali sebulan yang disebut Forum Silaturahmi Darul Ichsan. Tujuan forum bagi alumni pesantren dan keluarganya itu untuk membentuk rumah tangga yang religius dan harmonis. Programnya antara lain diskusi dan pengajian.
Apakah metode psiko-religius itu bisa diandalkan? Dr. Al Bachri Husin, mantan direktur Rumah Sakit Ketergantungan Obat Fatmawati, Jakarta, berpendapat bahwa tingkat keberhasilan metode itu masih dipertanyakan. "Itu trial and error, " kata Al Bachri. Maksudnya, metode itu masih membutuhkan waktu dan penelitian yang lebih jauh untuk bisa dianggap berhasil. Sebagai perbandingan, Al Bachri menyebut therapeutic community, suatu metode untuk merehabilitasi mental pascadetoksifikasi dengan cara meletakkan penderita di tengah suatu komunitas yang membuatnya bisa menangkal godaan obat-obatan. "Tingkat keberhasilannya 83 persen, " kata Al Bachri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini