Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Indonesia dalam Video Instalasi

Perupa Teguh Ostenrik menyajikan karya video instalasi secara serempak di tiga kota. Sebuah cara berpameran untuk mencapai khalayak yang lebih luas.

6 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ON SALE
Karya:Teguh Ostenrik
Tempat:CCF Jakarta, Erasmus Huis Jakarta, LIP Yogyakarta, CCCL Surabaya
Waktu:2 Juni-5 Juni 1999
Mar'ie Muhammad mengenakan kemeja pendek batik, berdiri di depan sebuah cermin bundar dengan medium close-up. "Siapa yang salah dan siapa yang rugi?" tanya bekas Menteri Keuangan pada masa rezim Soeharto itu. Maka, mulailah dialog antara Mar'ie dan Teguh Ostenrik, tentang orang asing yang memborong barang-barang produk Indonesia dengan murah karena nilai rupiah yang anjlok. Dengan gayanya yang sangat khas?berapi-api, ngotot?Mar'ie menjelaskan lemahnya moral ekonomi rakyat Indonesia. "Ceramah" Mar'ie diselang-selingi sejumlah gambar yang sengaja dirusak bak gambar siaran televisi yang mengalami gangguan transmisi. Ada gambar orang-orang sedang berjalan melintasi sebuah bangunan. Ada juga gambar sejumlah figur yang mencitrakan deretan gerakan. Kedua adegan itu tampaknya berfungsi sebagai jeda dari satu topik ke topik lain, dan seolah mendukung pendapat Mar'ie tentang suramnya nasib rakyat Indonesia saat ini. "Negeri ini sudah pecah". Kamera cenderung statis dengan hanya menampilkan bagian yang tak lazim, yakni dada Mar'ie hingga sebatas mulut. Terlihatlah gerakan-gerakan yang sangat ekspresif, yang diwakili oleh bibir dan kedua tangannya. "Kita termasuk bangsa yang peradabannya rendah," ujar Mar'ie. Ada gambar tentara sedang mengacungkan bedil dalam posisi siap atau sudah melepas tembakan, yang kemudian secara cepat berganti dengan gambar orang sedang berteriak, "Sebetulnya kita siapa, sih? Kok jadi begini?" Sosok Mar'ie menghilang, digantikan oleh asap putih mengepul dengan latar gelap. Tiba-tiba muncul sosok kepala Teguh Ostenrik terbatuk-batuk. Inilah cara Teguh Ostenrik membuka pameran karya video instalasi yang bertajuk On Sale, pada Selasa malam, 1 Juni 1999, secara serempak di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Pameran ini menjadi menarik karena memanfaatkan teknologi video untuk meluaskan khalayak penonton. Lewat judul On Sale, yang bisa diterjemahkan sebagai obral, Teguh membidik sudut pandang ketidakadilan ekonomi yang dialami sebagian besar rakyat Indonesia saat ini, yang terpaksa menjual harta bendanya secara murah untuk menanggulangi cekikan kebutuhan ekonomi akibat krisis moneter. "Kita tiba-tiba menjadi miskin di atas Tanah Air yang kaya raya," ujar Teguh. Pada saat yang sama, muncul orang asing membelanjakan dolarnya di pasar obral Indonesia. Bagi Teguh, fenomena ini sebuah ironi yang ia dramatisasi lewat metafora lagu Rayuan Pulau Kelapa karya Ismail Marzuki. Dari tema besar On Sale itu, Teguh masuk ke dalam relung-relung realitas Indonesia mutakhir dengan memotret fenomena kekerasan sosial, kemiskinan di tengah hasil bom ekonomi pada masa lalu, atau rusaknya lingkungan hidup. Selepas tayangan pembukaan pameran itu, ruangan pameran terasa penuh dengan suara orang bernyanyi bersahut-sahutan. Ada delapan monitor televisi yang dilayani delapan alat pemutar kaset video, yang masing-masing diletakkan di atas dudukan dari bahan bambu setinggi dua meter. Setiap monitor menampilkan subyek tunggal berupa sosok figur yang diambil dengan medium close-up. Tiap-tiap figur menyanyikan dua potong lirik lagu Rayuan Pulau Kelapa dengan gaya dan suasana hati yang berbeda. Dari gaya dan suasana hati inilah, Teguh membangun narasi tiap tayangan video itu. Ada yang menampilkan suasana kekerasan, semisal pada satu tayangan yang diperankan oleh seorang perempuan bermata sipit, tiba-tiba sebuah kepalan tinju memukul rahangnya sebelum ia menyelesaikan dua bait lirik lagu Rayuan Pulau Kelapa. Di bagian kiri layar monitor terdapat potongan tayangan kerumunan massa, sedang di bagian kanan muncul gambar api yang sedang bergelora. Fragmen itu disusul dengan munculnya gambar dua mata perempuan itu menitikkan air mata. Pada layar monitor lain, Teguh tampak ingin mengukuhkan tema On Sale lewat tampilan seorang perempuan kulit putih dengan wajah tanpa ekspresi yang menyanyikan dua bait yang lain secara repetitif. Pada saat yang sama, lembaran-lembaran uang dolar meluncur dari bagian atas kepalanya. Narasi yang senada juga muncul pada tampilan seorang pria kulit putih yang dicampur dengan gambar stupa Candi Borobudur, sementara di hampir seluruh layar kaca terdapat noktah-noktah putih bak salju sedang turun. Ironi adalah kata kunci dalam karya Teguh ini. Lihat saja tayangan seorang pemuda gondrong dengan anting di telinganya. Kepalanya bergoyang-goyang ke kiri-kanan dengan wajah bersimbah peluh menyanyikan potongan lagu tadi. Di belakangnya, muncul siluet gunungan sampah dan pemulung. Suasana itu sangat kontras dengan tayangan di monitor lain, yang menggambarkan sepasang lelaki-perempuan secara bergantian muncul dengan gambar latar gedung-gedung bank yang terus bergerak. Pada bagian lain, Teguh berbicara tentang lingkungan hidup, berupa gambaran kepulan asap buangan industri yang nyaris menutup sosok seorang perempuan yang bersimbah air mata. Atau seorang pria justru tersenyum ketika selembar kertas koran terbakar di belakangnya. Koran itu berisi berita tentang kebakaran hutan. Semua elemen rupa dan audio yang bertumpuk-tumpuk dalam sebuah ruangan itu menimbulkan suasana kacau. Penonton dipaksa mendengarkan suara-suara yang kadang saling bersahutan, tapi saat lain suara-suara itu berhimpitan sehingga hanya menghasilkan dengung yang meneror gendang telinga. Persepsi visual pun menjadi kacau dengan munculnya tayangan yang terjadi secara repetitif, yang akhirnya mendorong orang hengkang lebih cepat dari ruang pamer. Tapi, efek kekacauan ini tampaknya diinginkan oleh Teguh. "Dengan terjadinya disorder ini, pengunjung pameran bisa menarik satu garis paralel dengan situasi Indonesia masa kini," ujar Teguh, perupa yang belakangan ini menekuni medium seni video. Khalayak yang terpaku pada pemahaman seni instalasi ini mungkin akan gagap menyaksikan karya-karya yang dipamerkan itu. Teguh cenderung memperlakukan instalasi lebih sebagai konsep ketimbang visualisasi secara fisik. Instalasi, dalam pengertian menyusun sejumlah elemen rupa dalam sebuah struktur ruang fisik, diterjemahkannya sebagai struktur ruang maya dalam bahasa audio visual. Namun, susunan gambar dan suara yang muncul justru terasa membangun struktur ruang yang lebih sempit dalam sirkuit elektronik. Teguh hanya memanfaatkan sekelumit elemen gerak?dalam seni rupa dikenal dengan sifat kinetik?dalam karyanya ini. Padahal, sebenarnya medium elektronik memberikan kemungkinan eksplorasi gerak yang sangat luas. Semakin besar eksplorasi elemen gerak, persepsi ruang akan semakin luas. Memang, kehadiran medium video instalasi masih relatif baru di tengah belantara seni kontemporer Indonesia. Hanya beberapa gelintir perupa yang bekerja secara khusus dengan medium ini, salah satunya adalah perupa Krisna Murti. Karena itu, amat wajar jika masyarakat masih perlu waktu untuk akrab dengan medium ini. R. Fadjri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus