Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dua Sisi Anak Emas Pentagon

13 April 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagaimana Pentagon tidak terpikat pada pria flamboyan ini. Koresponden senior majalah dwimingguan The American Prospect, Robert Dreyfuss, menyebut Ahmed Chalabi agak mirip dengan T.E. Lawrence pada masa Perang Dunia Pertama, yang membawa kejayaan Inggris menjatuhkan Kekaisaran Ottoman. Lawrence dan Chalabi sama: terlibat dalam pembuatan peta baru, kekuatan minyak di Timur Tengah. "Apa yang mereka pikirkan adalah denasionalisasi dan kemudian menghadiahkan minyak Irak kepada perusahaan minyak Amerika," ujar James E. Atkins, mantan duta besar Amerika di Arab Saudi, mengenai Chalabi dan teman-temannya. Atkins tak berlebihan. Chalabi bahkan pernah kelepasan ngomong kepada The Washington Post bahwa "perusahaan Amerika akan mendapat jatah besar minyak Irak". Sebelumnya perusahaan Prancis dan Rusia banyak beroperasi di Irak. Chalabi, 58 tahun, menepis kemungkinan bakal ikut berperan atau "mencari posisi" dalam pemerintahan baru Irak. Tapi bukan rahasia lagi, dia orang yang sudah lama digadang-gadang Departemen Pertahanan Amerika—tapi ditentang Departemen Luar Negeri—untuk menjadi pengganti Saddam Hussein. Impian pemimpin Kongres Nasional Irak (INC) ini maupun Pentagon kian mendekati kenyataan setelah pasukan Amerika dan sekutunya berhasil menguasai sebagian Bagdad. Dua sisi pada dirinya bisa mendukung hal itu. "Dia tahu betul isi dunia Arab," ujar Max Singer, pendiri The Hudson Institute. "Dia benar-benar orangnya Barat," Singer menambahkan. Namun di situ pula sumber kontroversinya. Bukan rahasia lagi, pria dari keluarga Syiah yang dekat dengan para penguasa sebelum Saddam ini sangat dekat dengan kelompok garis keras Pentagon. Chalabi juga didukung oleh kelompok-kelompok pro-Israel garis keras yang dekat dengan Pentagon seperti The Washington Institute for Near East Policy dan The Jewish Institute for National Security Affairs. Kedekatan itu bukan hal baru. Pada 1985, Albert Wohlstetter—godfather gerakan neokonservatif yang diikuti oleh kelompok garis keras Pentagon sekarang ini—memperkenalkan Chalabi dengan Richard Perle, kepala bagian kebijakan keamanan internasional Pentagon di masa pemerintahan Ronald Reagan. Chalabi dan Perle pun berteman dekat. Hubungan serupa kemudian berkembang ke pejabat lain seperti Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld dan Paul Wolfowitz. Dia bahkan cukup dekat dengan Wakil Presiden Dick Cheney dan mantan Direktur CIA, Jim Woosley. Namun kedekatan itu tak langsung membuat Chalabi mendapat dukungan besar. Saat INC didirikan pada 1992, Gedung Putih tak memberi perhatian besar. Chalabi dan INC lalu membentuk milisi di Irak dan menciptakan pemerintahan sementara. Mereka juga menyerang kota-kota di Irak dalam skala kecil. Toh, hingga berakhirnya masa jabatan Presiden Bill Clinton, Chalabi dan INC tetap menangkap angin. Dia berusaha terus. Pada 1996, dia memimpin 1.000 milisi untuk menyerang rezim Saddam di Irak Utara. Dia gagal. CIA pun menghentikan bantuannya. Chalabi, yang pernah beberapa kali dicoba dibunuh oleh orang Saddam, tak patah arang. Dia merangkul kelompok Republik dan membicarakan Iraq Liberation Act. Upaya keras ini mendapat berkah dengan insiden 11 September. Pemerintah George W. Bush langsung membicarakan masalah penyingkiran Saddam. Pada November lalu muncul bocoran rencana serangan ke Irak yang melibatkan 250 ribu tentara. Mereka juga menyiapkan penyelesaian dengan model Jerman dan Jepang pada Perang Dunia Kedua. "Formula untuk membentuk rezim boneka," ujar David Mack, Wakil Presiden Middle East Institute yang mantan duta besar Amerika untuk Uni Emirat Arab. Chalabi kemungkinan menjadi boneka itu. Keinginan Pentagon tampaknya akan mendapat banyak tentangan dari bawah. Jarak lebar antara dirinya dan kehidupan nyata di Irak membuatnya susah diterima oleh rakyat Irak. Chalabi meninggalkan Irak pada 1956 dan kemudian tinggal London dan Amerika. Jenderal Anthony Zinni, mantan kepala komando pusat pasukan Amerika di Timur Tengah, menyebutnya "pria berjas sutera dan berjam tangan Rolex yang tinggal di London". Hal lain yang membuat jalan baginya tak bakal mulus adalah dia dikenal sebagai orang yang hanya memikirkan ambisi pribadinya. Dia juga tak dipercaya dalam urusan keuangan. Bahkan Departemen Luar Negeri Amerika menuduhnya menggunakan uang bantuan mereka untuk kepentingan pribadi. Selain itu, pada 1992 dia dijatuhi hukuman penjara 22 tahun dan kerja paksa in absentia di Yordania. Dia dituduh menyelewengkan dana perbankan setelah banknya, Bank Petra, ambruk pada 1990. Namun siapa tahu justru itu tantangan buat mereka yang kini berdiri sebagai promotor demokrasi dunia—membiarkan rakyat Irak memilih pemimpinnya. Purwani Diyah Prabandari (The American Prospect, BBC, The Washington Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus