Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOPIR itu mengira hubungannya dengan seorang pelukis besar selesai sudah begitu sang pelukis berpulang, Mei 1990. Suhardjono, kini 85 tahun, sopir itu, bersiap membuka usaha dengan modal tabungan hasil menjadi sopir Affandi selama hampir 30 tahun. Ternyata tidak. Djon—begitu ia biasa dipanggil—memang putus hubungan dengan sang pelukis, tapi tidak dengan lukisan-lukisannya.
Di zaman seperti sekarang, ketika harga lukisan Affandi meroket karena jumlahnya terbatas dan tingginya permintaan, muncullah lukisan-lukisan “Affandi” yang entah dibuat oleh siapa. Syahdan, pintu rumah Djon sering diketuk ketika pembeli lukisan Affandi ingin memastikan apakah yang dibelinya karya autentik Affandi atau buatan orang lain alias lukisan Affandi palsu.
Masuk akal orang datang kepada Djon untuk masalah autentik-tidaknya sebuah lukisan Affandi. Ia, sejak 1961 hingga Affandi tiada, bukan sopir biasa. Bisa dibilang selama tahun itu tak ada lukisan Affandi yang lahir tanpa Djon menyaksikannya. Tidak hanya menyaksikan, dialah yang menyiapkan kanvas serta cat dan minyak cat. Dia juga yang sigap mengambilkan tube cat warna tertentu sesuai dengan keinginan sang pelukis. Lama-kelamaan, lulusan Sekolah Menengah Pertama Taman Siswa, Yogyakarta, 1953, ini merasa tahu ciri lukisan Affandi dengan cerita latar belakang karya tersebut.
Prambanan, 1975.
Dalam perjalanan melukis Affandi di seantero Indonesia dan negara lain, Djon tak terpisahkan. Ia ikut senang bila Affandi senang. Ia pun kelaparan bila Affandi kehabisan uang. Djon juga yang menghubungi model untuk lukisan, dan tak jarang Djon ikut mencicipi bila sang pelukis berkehendak dengan modelnya. Djon menulis beberapa tahun lalu: “Saya bagaikan nyawa kedua… Affandi. Bahkan ada yang menyebut saya Djon Affandi.” (lihat Hendro Wiyanto dan Hari Budiono, dia datang, dia lapar, dia pergi, penerbit Agung Tobing, 2014).
Buku Witnessing Affandi diterbitkan dengan niat mencatat pengalaman “nyawa kedua” itu bersama “nyawa pertama”. Di belakang gagasan ini, dan yang kemudian menghimpun dana penerbitannya, adalah kolektor yang namanya tak tercantum dalam buku: Erik Tan. Dia pengusaha yang membawa Pocari Sweat ke Indonesia. Kata Erik kepada Tempo: “Satu kawan baik saya menganjurkan, Pak Djon selagi masih hidup dibukukan saja. Dia ini hebat, tahu secara rinci lukisan Affandi, ini (lukisan) Kiaracondong, kalau ini (lukisan) Desa Nggremeng.”
Akhirnya buku terbit, tahun lalu, dalam bahasa Inggris. Cerita Pak Djon tentang Affandi dituliskan kembali oleh Jeremy Allan, penulis Kanada yang telah menerbitkan buku, antara lain, Jakarta Jive Bali Blues (2013). Ia mengaku sudah lama mengagumi Affandi.
Jatayu, 1976.
Terkait dengan Suhardjono, buku ini bukan yang pertama berisi tentang kerja melukis Affandi sebagaimana disaksikan oleh sopir tersebut, yang menemani (dan mencarikan kebutuhan Affandi, apa pun) ke mana pelukis itu pergi. Empat tahun lalu, seperti disinggung sebelumnya, terbit buku dia datang, dia lapar, dia pergi yang ditulis Hendro Wiyanto dan Hari Budiono. Bedanya, buku Hendro dan Hari dalam bahasa Indonesia dan Suhardjono ditampilkan sebagai orang pertama. (Buku tersebut pernah disajikan dalam bentuk cuplikan di majalah ini). Secara garis besar, dalam dua buku itu, tuturan Pak Djon mirip. Bahkan keduanya diawali dengan cerita sama: -Affandi bersama seorang pemuda datang ke rumah Pak Djon naik becak untuk memintanya menyopiri mobil Affandi.
Kedua buku pun, selain berisi teks, memuat sejumlah foto dokumentasi dan reproduksi lukisan Affandi. Dalam dia datang, dia lapar, dia pergi, desain buku lebih memperlihatkannya sebagai buku teks dengan foto dan reproduksi lukisan yang tampaknya dipilih erat berkaitan dengan isi buku, termasuk dua reproduksi lukisan Suhardjono. Salah satu lukisan itu, lebih sebagai sketsa dengan spidol atau cat satu warna, seperti menggambarkan Affandi sedang melukis.
***
BUKU Witnessing Affandi didesain lebih sebagai buku dengan banyak reproduksi lukisan serta foto Suhardjono- dulu dan kini—sebuah coffee table book yang direncanakan dengan rapi dan enak dilihat. Namun dalam hal reproduksi itulah Witnessing -Affandi mengundang diskusi.
Menurut Erik Tan, semua reproduksi lukisan Affandi dalam buku dipilih oleh Djon. Lukisan yang direproduksi datang dari beberapa kolektor dan Suhardjono jugalah yang menyebut nama-nama kolektor itu. Pemilihan dilakukan berdasarkan foto, dan hanya bila Djon ragu lukisan diperlihatkan. Lukisan yang dipilih lalu dikomentari Djon dalam bahasa Indonesia dan ditulis tangan dengan bagus, tapi banyak pemakaian titik-koma dan huruf besar yang menyalahi aturan penulisan menggunakan bahasa baku. Misalnya komentar lukisan potret diri di halaman 86: “lukisan ini dilukis di Pasar Ubud Bali. Pada waktu itu Affandi- ada di Ubud Bali untuk melukis untuk persiapan pameran ulang tahunnya di Taman Ismail Marjuki jakarta”.
Witnessing Affandi: Thirty years assisting Indonesia’s master painter, by Suhardjono as told to Jeremy Allan.
Penerbit: Lans Brahmantyo, Afterhours Book, 2018, 273 halaman.
Terkesan kemudian, tulisan tangan Suhardjono seperti mengabsahkan bahwa lukisan yang direproduksi itu autentik karya Affandi. Semua lukisan milik pribadi kolektor diberi komentar. Yang milik museum, misalnya Museum Neka dan Museum Rudana, tanpa komentar. Bukankah hal itu menimbulkan syak wasangka bahwa komentar itu bentuk lain dari yang lazim disebut sebagai sertifikat, yang menyatakan bahwa lukisan tersebut autentik? Lalu koleksi kedua museum itu? Saya menduga Neka dan Rudana tak memerlukan komentar dari Djon karena mereka membeli langsung dari Affandi.
Boleh jadi soal komentar itu hanya suatu kebetulan, tapi kebetulan yang merugikan. Saya kira ini terjadi karena Erik Tan setidaknya mengaku mempercayakan soal autentik-tidaknya lukisan kepada Djon sepenuhnya. “Bagi saya, dia figur yang luar biasa. Ada melesetnya, kadang juga lupa. Tapi ilmu 30 tahun bersama itu tak ada satu pun kurator yang bisa menandingi,” kata Erik dalam wawancara dengan Tempo.
***
SETAHU saya, ia tak membuat catatan harian selama membantu -Affandi. Jadi ingatannya tentang -Affandi dan lukisannya bisa jadi memang luar biasa. Namun, membaca transkrip wawancara Tempo dengan Suhardjono, salah seorang santri di Pondok Pesantren Sepuh, Payaman, Magelang, Jawa Tengah, ini memang dibebani rasa sungkan. Misalnya ihwal lukisan Affandi bertema Prambanan ia mengatakan, “Saya sudah mewanti-wanti Pak Erik agar tidak memasukkan (ke buku) lukisan Prambanan yang jomplang dengan lukisan asli.... Saya ini sudah tua dan takut mengkhianati Affandi.” Tapi ia juga menyatakan bahwa “semua lukisan yang (reproduksinya) ada di buku itu baik. Saya deteksi itu orisinal. Pak Erik pinjam lukisan dari kolektor”.
Menurut Jeremy Allan dalam tulisannya, Affandi dan Djon memang pernah blusukan di Prambanan. Sedianya Affandi hendak melukis pasar hewan Prambanan, tapi pasar hari itu tutup. Mereka lalu nongkrong di sebuah warung dan Djon bercerita tentang Candi Prambanan, tentang sebuah arca yang menggambarkan Batari Durga yang seksi, yang karena menertawai Batara Siwa yang gagal mengejar Dewi Widowati dikutuk Sang Hyang Wenang menjadi raksesi. Lalu Affandi meminta Djon menyiapkan alat-alat melukis dan masuk ke Prambanan. Tak ada cerita kelanjutannya, apakah Affandi benar melukis Prambanan dan apa yang dilukisnya.
Barong dan Rangda, 1983.
Djon yang sama menceritakan hal yang sama tapi tak serupa dalam buku aku datang, aku lapar, aku pergi. Cerita Djon tentang Durga disampaikan sesudah mereka berada di dalam Prambanan karena Affandi bertanya arca siapa sambil menunjuk arca Durga. Dan kemudian Affandi melukis arca tersebut pada kanvas 100 x 170 sentimeter. Djon dalam buku itu mengatakan: “Setahu saya, lukisan arca yang seram tapi menggairahkan itu kemudian jatuh ke tangan kolektor terkenal Alex Papadimitriou....” Tak ada cerita Affandi melukis bangunan candi, melainkan arcanya saja.
Tak hanya memperhatikan lukisan berjudul Prambanan itu, saya juga mencoba lebih cermat mengamati reproduksi-reproduksi lain dalam buku Witnessing ini. Acuan saya buku Affandi tulisan Raka Sumichan dan Umar Kayam yang terbit pada 1987. Inilah saya kira buku tentang lukisan Affandi yang bisa dipercaya karena terbit ketika sang pelukis masih ada, Raka adalah kolektor yang membeli langsung darinya, sementara Umar Kayam adalah budayawan dan intelektual yang tak perlu diragukan integritasnya. Benar, di masa hidupnya, Affandi tahu bahwa banyak lukisan yang bercorak seperti lukisannya dan ditandatangani seperti tanda tangannya, dan ia membiarkan. Menurut Djon, “Wong ya butuh urip, ya wis ben (Orang butuh hidup, ya sudah biarkan saja).” Tapi tak masuk akal bila Affandi membiarkan reproduksi lukisan yang tidak pernah ia lukis masuk ke buku itu.
Candi Borobudur, 1976.
Dengan acuan buku Affandi, menurut rasa saya, banyak sekali reproduksi lukisan di Witnessing yang meragukan. Lukisan Affandi yang tidak autentik sebagian besar adalah potret diri dan barong. Dalam Affandi, sejumlah potret diri menunjukkan sebuah kepala yang bervolume. Pada lukisan yang meragukan, volume itu hampir tak terasa, datar. Dalam hal tema barong, Allan menulis—menerjemahkan tuturan Djon, semestinya—dengan jelas. Terjemahan bebasnya: “Salah satu ciri Affandi palsu adalah pelukisan detail pada bagian tertentu obyek lukisan. Padahal Affandi menyelesaikan kanvas besar pun kurang dari dua jam; detail pun ia buat dalam tempo singkat. Itulah bakat Affandi, sekali memelotot tube, mungkin dengan sentuhan telapak tangan atau jari, cukup sudah untuk menciptakan efek yang ia inginkan. Bila tidak sesuai dengan keinginannya, gampang saja, ia hapus pelototan itu, dan memulai dari awal.” Dengan kata lain, bila ada detail pada bagian tertentu obyek lukisan, misalnya di kepala barong atau di tubuh perahu Kusamba, silakan cermati sebelum membeli.
Walhasil, Witnessing yang kemasan dan desain grafisnya layak dipuji ini memberikan setidaknya dua hal. Pertama, hanya mengandalkan penglihatan, walau dari seseorang yang dianggap mengetahui seluk-beluk karya pelukis tertentu, tidak cukup untuk menentukan autentik-tidaknya sebuah lukisan. Kasus Wolfgang Beltracchi di Jerman, yang membuat karya mirip lukisan Max Ernst dan ditandatangani Max Ernst, adalah contoh autentik. Kasus ini melibatkan mantan direktur museum seni rupa modern Pompidou, Paris, Werner Spies, yang ahli dalam hal lukisan Max Ernst. Spies pembuat katalog semua karya Max Ernst yang sudah teruji keautentikannya. Ia juga menulis beberapa buku tentang Ernst. Toh, ia kejeblos karena piawainya si pemalsu melukis model Ernst dan kecerdikannya mengarang kisah asal-usul lukisan itu.
Suhardjono alias Pak Djon. TEMPO/Shinta Maharani
Pelajaran kedua, buku ini membuktikan bahwa bisnis lukisan palsu, dalam hal ini karya Affandi, terus berlangsung. Memang belum sepenuhnya terbukti bahwa lukisan yang dimasukkan ke buku ini tidak autentik (bahkan sudah ada komentar Suhardjono). Namun, dengan membandingkannya dengan reproduksi yang ada dalam buku Affandi (1987), juga menggunakan kriteria versi Suhardjono, sebagian besar reproduksi dalam Witnessing diragukan keautentikannya. Witnessing merupakan peringatan agar para penyuka seni lukis ekstra-hati-hati sebelum membeli.
BAMBANG BUJONO, PENGULAS SENI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo