Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Nestapa Kaum Sepuh di Negeri Ginseng

Korea Selatan mencatat peningkatan kriminalitas oleh warga lanjut usia. Ada faktor kemiskinan, redupnya Konfusianisme, dan individualisme.

8 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tempat hiburan khusus bagi orang-orang lanjut usia di Seoul, April 2018./ Reuters/Kim Hong-Ji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Park Jae-yeol seharusnya sudah menikmati masa pensiunnya sejak 11 tahun silam. Tapi pria 71 tahun itu harus tetap bekerja sebagai pengirim paket ke sejumlah apartemen di Seoul, Korea Selatan. Mata tuanya tampak tegang karena terus-menerus menyipit agar bisa membaca label alamat yang ditulis dengan huruf kecil. “Uang adalah alasan terbesar untuk terus bekerja,” kata Park seperti ditulis South China Morning Post.

Warga lanjut usia yang masih bekerja pada masa pensiun kini menjadi pemandangan umum di negeri dengan populasi penduduk di atas usia 65 tahun cukup besar. Pada 2017, jumlah penduduk lansia di Negeri Ginseng sekitar 7 juta atau 13,8 persen dari total 51,4 juta populasi. Jumlahnya hampir sama dengan anak muda atau mereka yang berusia hingga 14 tahun.

Korea Selatan pada 2017 juga secara resmi menjadi “masyarakat lanjut usia” dan diprediksi menjadi “masyarakat sangat tua” pada 2026. Menurut Badan Kesehatan Dunia, sebuah masyarakat dikategorikan “tua” ketika lebih dari 14 persen populasinya berusia 65 tahun dan “sangat tua” jika lebih dari 21 persen. Forum Ekonomi Dunia memprediksi penduduk lansia Korea Selatan bisa mencapai 71 persen pada 2050, di posisi ketiga di bawah Spanyol (72 persen) dan Jepang (75,3 persen).

Keadaan ini diperparah oleh rendahnya angka kelahiran, yang juga membuat risau Presiden Moon Jae-in. Kantor berita Korea Selatan, Yonhap, menulis bahwa pertumbuhan penduduk Korea Selatan kini di bawah 1 persen. Jumlah penduduknya pada akhir 2018 sebanyak 51,8 juta jiwa lebih, hanya naik 0,09 persen atau 47.515 orang dari tahun sebelumnya. Moon pernah menyatakan pemerintah telah menggelontorkan dana sekitar Rp 1.239 triliun untuk mengatasi masalah ini, tapi belum ada tanda-tanda perbaikan. Dia khawatir masalah itu akan menjadi krisis nasional di bidang populasi.

 

PARK Jae-yeol adalah satu dari jutaan orang dari generasi yang disebut “Miracle on the Han”, yang mengubah negara itu dari kehancuran akibat perang pada 1950-an menjadi negara dengan ekonomi terbesar kesebelas di dunia. Lulusan sekolah menengah, Park bekerja sebagai pemelihara penyejuk udara, berpenghasilan cukup untuk membesarkan tiga anak, dan bisa membeli sebuah unit apartemen di Seoul.

Park kemudian mampu mendirikan perusahaan jasa pemeliharaan penyejuk udara. Namun, seperti banyak orang seusianya, ia tidak mempersiapkan tabungan untuk masa pensiun. “Generasi kami terlalu sibuk bertahan hidup dan membesarkan anak-anak selama masa gila itu. Kami tidak dapat mempersiapkan masa pascapensiun,” tutur Park.

Korea Selatan memperkenalkan skema pensiun nasional pada 1988. Skema itu tidak menjadi kewajiban sampai 1999. Menurut peneliti Institut Korea untuk Urusan Kesehatan dan Sosial, Hwang Nam-hui, banyak dari generasi seangkatan Park yang berusia 70-an dan 80-an tahun kehilangan kesempatan mengikuti skema tunjangan pensiun itu dan akhirnya bertahan hidup dengan skema pensiun yang nilainya rendah.

Perusahaan milik Park bangkrut pada 2012 dan ia harus bergantung pada program pensiun nasional sekitar Rp 1,8 juta per bulan serta subsidi lansia sekitar Rp 2,5 juta. Jumlah itu, kata dia, sangat tidak memadai untuk hidup di salah satu kota di dunia yang biaya hidupnya cukup mahal tersebut. “Itu bahkan tidak cukup untuk uang saku.”

Park pun mendaftarkan diri untuk mengikuti program negara yang membantu orang tua mendapat pekerjaan kasar dan mulai bekerja di bidang pengantaran paket sejak 2014. Dia sekarang bekerja tiga hari sepekan dan membawa hingga 100 paket ke tujuan. Penghasilannya sekitar Rp 7 juta sebulan. Sebagian besar rekan kerjanya berusia 70-an dan yang tertua 78 tahun. Ia berharap masih bisa bekerja sampai berusia 80 tahun jika kesehatannya memungkinkan.

Situs Forum Ekonomi Dunia tak hanya mencatat soal jumlah warga lansia yang meningkat cepat di Korea Selatan, tapi juga angka kejahatan yang merangsek naik. Menurut statistik kepolisian dan pemerintah yang dilaporkan media, kasus kriminal dengan pelaku warga senior meningkat drastis sampai 45 persen dalam lima tahun terakhir.

Menurut Korea Herald, kejahatan penduduk lansia sebenarnya telah meningkat selama lebih dari satu dekade. Namun angka-angka terbaru mengungkap jumlah kejahatan serius, termasuk pembunuhan, pemerkosaan, serta perampokan, yang dilakukan warga senior naik 70 persen dan serangan fisik naik 43 persen selama 2013 dan 2017. Padahal angka kejahatan secara keseluruhan di negara tersebut menurun.

Ketidakmampuan warga lansia menghidupi diri sendiri dinilai menjadi salah satu pemicu naiknya jumlah kasus kriminal. Menurut hasil survei Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada 2016, hampir setengah dari populasi lansia di negara itu hidup dalam kemiskinan. Sekitar seperempat dari para orang tua tersebut hidup sendirian alias tak lagi bersama keluarga besarnya.

Pemandangan semacam ini bisa dilihat di kawasan Jjokbangchon di dekat Distrik Yeongdeungpo, Seoul. Di sana para pensiunan, lelaki dan perempuan, sering tampak duduk sendiri di taman atau berjalan perlahan melewati bangunan kumuh. Lee Sang-joon adalah salah satu dari ratusan penghuni kawasan itu. Pria 76 tahun tersebut, bersama ratusan warga sebayanya, tinggal di kamar-kamar kecil, berdesakan di koridor-koridor suram seperti hostel di bawah bayang-bayang gedung pencakar langit modern Seoul.

Lee bekas pelukis. Ia tiba di Seoul lebih dari 50 tahun lalu. Pada masa tuanya, ia tidak ingin membebani ketiga anaknya dengan masalah keuangannya. “Mereka terlalu sibuk mengurus anak-anak sendiri. Saya tidak mengharapkan dukungan dari mereka,” ujarnya.

Ia tinggal di kamar kontrakan dengan harga sewa Rp 2,8 juta per bulan, sepertiga dari uang pensiun bulanannya. Toilet dan kamar mandi dipakai bersama dengan tetangganya. “Ini tidak nyaman, tapi saya harus menjalaninya,” katanya.

Jung Gyung-hee, direktur di Institut Korea Urusan Kesehatan dan Sosial, menyebut apa yang dialami Park Jae-yeol dan Lee itu sebagai gambaran memudarnya semangat Konfusianisme yang peduli terhadap nasib orang tua dan menguatnya individualisme. “Juga karena urbanisasi, ketika anak-anak menikah atau bekerja dan tinggal di tempat lain dan orang tua ingin tinggal di tempat tinggal sebelumnya,” tuturnya.

Menurut Hwang Nam-hui, dulu tiga generasi keluarga biasa tinggal di bawah satu atap sehingga para orang tua bisa dipastikan hidup relatif nyaman dengan dukungan dari keturunan mereka. Tapi perubahan sosial dalam beberapa dekade terakhir membuat kewajiban berbakti makin berkurang dan warga lansia dipaksa bekerja untuk menghidupi diri sendiri.

“Dengan tidak adanya pekerjaan yang memungkinkan warga lansia berkontribusi kepada masyarakat, mereka merasa terpisah dan ini dapat menyebabkan permusuhan terhadap orang lain, depresi, dan perilaku antisosial,” ucap Cho Youn-oh, profesor dan kriminolog dari Dongguk University, Seoul. “Isolasi dan perasaan bahwa mereka tidak akan kehilangan apa pun dapat menyebabkan mereka kehilangan kendali dan berperilaku ceroboh.”

Hal inilah yang dinilai menjadi salah satu faktor meningkatnya kriminalitas di kalangan penduduk lansia dan akhirnya mengantar mereka ke penjara. Menurut sebuah laporan, jumlah warga senior yang terlibat tindak kriminal naik dari 77.260 pada 2013 menjadi 112.360 pada 2017. Padahal angka kejahatan secara keseluruhan pada periode yang sama turun dari 1.850.000 menjadi 1.660.000 kasus.

ABDUL MANAN (KOREA HERALD, THE STRAIT TIMES, TELEGRAPH, CNN, GUARDIAN)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus