ALUN-ALUN Kota Ponorogo, Jawa Timur, 17 Februari 1997. Kelompok Ketoprak Siswo Budoyo, yang dipimpin Ki Siswondo Hardjo Suwito, menggelar pertunjukan berjudul Jorono Dadi Ratu ("Jorono Menjadi Raja"). Jorono adalah nama pelawak lokal yang sangat populer, sama terkenalnya dengan Topan dan Leysus dalam Ketoprak Humor Samiaji. Mengusung gaya ketoprak humor, tontonan itu menyedot minat ratusan penonton. Tobong berkapasitas 800 orang penuh sesak.
Ketika penonton tengah terpingkal-pingkal menyaksikan lawakan Jorono, tiba-tiba layar ditutup. Sebuah pesan tertulis memancar ke layar dari proyektor. "Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Hari ini pimpinan kami, Ki Siswondo, meninggal dunia. Mohon maaf kami tidak bisa melanjutkan pertunjukan," begitu isi pesan itu. Pertunjukan terhenti. Penonton terdiam. Sebagian dari mereka menyalami para pemain ketoprak untuk menyatakan belasungkawa.
Bagi kelompok Siswo Budoyo, Ki Siswondo identik dengan sebuah legenda kejayaan. Di bawah kepemimpinannya sejak 1960-an, Siswo Budoyo adalah cerita sukses komersial dan artistik sebuah kelompok kesenian tradisional. Sukses itu berkat manajemen yang baik dan berbagai terobosan kreativitas di atas panggung.
Ketika pertama kali berpentas di Gedung Kranggan, Surabaya, pada 1967, mereka mampu bertahan hingga 16 bulan. Juga ketika berpentas di Gedung Taman Hiburan Rakyat Surabaya pada 1984, mereka bisa "menggoyang" penonton hingga 11 bulan. "Waktu itu belum ada sebuah grup ketoprak yang bisa bertahan manggung hingga waktu selama seperti Siswo Budoyo," kata Nyonya Endang Wijayanti, istri kedua Ki Siswondo.
Sukses secara komersial pernah juga berlangsung di Banyuwangi. Siswo Budoyo manggung selama dua bulan. Setiap malam, jumlah penontonnya mencapai 5.000 orang. Padahal jumlah kursi yang tersedia cuma seribu. Dengan harga tiket Rp 750, mereka bisa menangguk pemasukan sekitar Rp 5 juta semalam. Sukses di mana-mana, Siswo Budoyo bisa memercikkan kemakmuran bagi sekitar seratus anggotanya. Setidaknya anggota dari kelas teratas bisa mengantongi honor Rp 17.500 per hari—suatu jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pada 1980-an.
Sistem upah dibikin stabil. Karcis laris atau jeblok, pemain memperoleh honor yang tetap. Sistem honor yang mirip perusahaan modern itu bisa dilakukan karena laba pertunjukan disimpan di bank sehingga bunganya cukup untuk membayar honor pemain. Di samping honor, ada biaya kesehatan. Bila ada anggota ketoprak yang jatuh sakit, seluruh biaya pengobatannya ditanggung. "Waktu itu kehidupan kita makmur sekali," kata Budi Hartanto, pemain Siswo Budoyo, "Tak ada ceritanya pemain Siswo Budoyo sampai cari tambahan penghasilan dari luar tobong."
Semua sukses itu berkat tangan dingin Ki Siswondo. Lahir di Desa Boneng, Kecamatan Kauman, Kabupaten Tulungagung, pada 1928, Siswondo muda, yang memiliki hobi menari, hanyalah seorang buruh perusahaan batik di daerah kelahirannya. Baru pada usia 22 tahun, Siswondo bersama istri pertamanya, Nyonya Rumani, serta Ruslan dan Mulyani— semuanya telah meninggal dunia—mulai membangun kelompok wayang orang Siswo Budoyo, yang kemudian menjadi kelompok ketoprak pada 1958.
Ciri kepemimpinan Ki Siswondo antara lain berdisiplin, peduli terhadap penonton (customer care), inovatif, bergairah untuk selalu belajar, dan terbuka terhadap perkembangan teknologi.
Dalam kedisiplinan, para awak diharuskan berlatih sesuai dengan bidangnya setiap hari, misalnya penari ya harus berlatih menari. "Kami tak diperbolehkan mengetahui dunia luar selain tobong," kata Supardi, seorang pemain. Selain itu, Ki Siswondo dikenal lebih sering memarahi pemain daripada memuji mereka. "Memang dari sikap begitulah kami merasa betapa pentingnya disiplin dalam berkesenian," kata Supardi.
Untuk meningkatkan kepedulian terhadap penonton, setiap malam Minggu Siswo Budoyo menyediakan hadiah berupa sepeda jengki, kambing, dan radio transistor bagi penonton melalui pengundian berdasarkan nomor kursi. Peka terhadap kebutuhan penonton, Siswo Budoyo tak henti-henti mencari terobosan artistik di atas panggung (lihat Ketoprak dengan 'Style'). Berbagai terobosan itu tak jarang diperoleh dari buku dan film. Tak mengherankan bila Ki Siswondo, yang mengoleksi ribuan buku, banyak memperkaya ide dari roman sejarah karya S.H. Mintardja dan Asmaraman S. Kho Ping Hoo.
Untuk mempercantik adegan laga para pemainnya, Ki Siswondo tak segan-segan merogoh kocek pribadinya buat mentraktir anak buahnya menyaksikan film kungfu di bioskop atau membayari mereka berlatih silat di Perguruan Setia Hati Teratai. Perkembangan teknologi juga diikuti Ki Siswondo. Ketika proyektor slide masuk ke pasar Indonesia, Ki Siswondo memanfaatkannya untuk menginformasikan judul dan daftar pemain di layar panggung. Kaset-kaset yang berisi rekaman efek suara seperti gemuruh ombak, embusan angin, geledek guntur, tawa setan, kicau burung, gonggongan anjing, dan ringkik kuda juga dipakai untuk menciptakan suasana yang dramatis, romantis, ataupun horor.
Cuma, tak ada gading yang tak retak. Gaya kepemimpinan Ki Siswondo pun mengandung kelemahan, antara lain terpusatnya keahlian pada sang pemimpin. "Dari tata panggung, tari, laga, skenario, sampai penyutradaraan, semuanya dipegang langsung olehnya," kata Nyonya Wijayanti. Pola manajemen semacam itu mengakibatkan mandulnya pengaderan. Buktinya, setelah Ki Siswondo mengembuskan napas terakhir, pamor Siswo Budoyo memudar sedikit demi sedikit. Siswo Budoyo tanpa Ki Siswondo menjadi seperti wayang tanpa gapit.
KMN, Dwidjo U. Maksum, Kukuh S. Wibowo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini