Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Siswo Budoyo, Lakonmu Kini

Tobong kesenian tradisional ini terbengkalai di sebuah sudut Taman Hiburan Rakyat Surabaya. Tiada lagi gemerlap lampu warna-warni pada malam hari. Ketoprak Siswo Budoyo telah menghentikan pertunjukannya sejak beberapa bulan silam gara-gara sepi penonton. Sebanyak 87 pemainnya terpaksa mengais rezeki dengan menjadi pelatih tari, perias pengantin, atau bahkan penjual minuman. Masa keemasan ketoprak Tulungagung ini tinggal kenangan. Siswo Budoyo dalam keadaan sekarat. Padahal grup ini merupakan satu-satunya ketoprak kondang yang berkeliling di Jawa Timur. Inikah ujung lakon sebuah ketoprak tobong?

1 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI ruangan yang sempit, kotor, dan pengap, sejumlah wanita tampak asyik berdandan. Sesekali terdengar celoteh mereka yang riang, tanpa beban. "Hei, ini kapan mainnya? Aku keburu ngantuk, nih," kata seorang perempuan. "Sabar, Yu, sabar," jawab lawan bicaranya, tak kalah kenesnya. Wajah para pemain Ketoprak Siswo Budoyo itu tampak berseri-seri. Kegairahan yang sudah berbulan-bulan hilang belakangan muncul lagi. Bukan karena mereka bisa bermain ketoprak lagi di Taman Hiburan Rakyat Surabaya. Itu gara-gara sejak Juli silam mereka mendapat order dari Jawa Pos Televisi (JTV) untuk mengisi acara. Para pemain tersebut tengah bersiap-siap disyut di panggung mereka di taman hiburan tersebut. Dua episode sudah selesai diambil gambarnya, 1 dan 2 Agustus silam. Sejak Januari lalu, mereka memang menghentikan pertunjukan di taman hiburan tersebut karena sepi penonton. Bahkan pernah suatu kali mereka tampil cuma ditonton 5-10 orang. Jadi, kontrak dari JTV cukup menolong mereka. "Tapi jangan tanya saya untung berapa. Juragan ketoprak baru bisa ongkang-ongkang bila sekali main dibayar Rp 5 juta," kata Rachman Sam, 54 tahun, pemimpin Siswo Budoyo. Untuk tiap episode, mereka cuma dibayar Rp 2,5 juta oleh JTV. Sejauh ini mereka baru menyiapkan empat episode. Nilai kontrak itu, kata Rachman, hanya cukup buat membayar pemain, niyaga (pemain game-lan), dan biaya operasional. Praktis, pemain masing-masing cuma kebagian Rp 200 ribu-300 ribu per bulan. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, sebanyak 87 pemain Siswo Budoyo yang masih aktif terpaksa mencari pendapatan tambahan. Ada yang melatih tari, melatih karawitan, menjadi perias pengantin, membuat kerajinan tangan, hingga berjualan minuman. Sekitar 20 orang di antara mereka rela tinggal di gubuk-gubuk di dekat panggung. Salah satunya adalah Suparman dan istrinya, yang pernah menjadi bintang panggung ketika Siswo Budoyo masih berjaya (lihat 'Sang Prabu' Terpaksa Berjualan). Kondisi itu jelas jauh berbeda dibanding ketika nama Siswo Budoyo masih berkibar-kibar. Didirikan oleh Siswondo Hardjo Suwito, Rumani (kelak diperistri oleh Siswondo), Ruslan, dan Mulyani di Gondang, Tulungagung, Jawa Timur, pada 1950, mulanya Siswo Budoyo adalah grup wayang orang. Baru pada 1958 mereka mengubah diri menjadi grup ketoprak dengan nama yang sama. Di bawah pimpinan Siswondo, Siswo Budoyo menapak jalan sukses. Tur kelilingnya dari kota satu ke kota lainnya selalu menyedot ribuan penonton. Saking tingginya minat orang menonton, loket karcis biasanya sudah dibuka sejak pagi hari. Penonton yang datang beberapa jam sebelum pertunjukan niscaya tidak akan kebagian tiket. Masa keemasan itu berlangsung pada 1980-an sampai pertengahan 1990-an. Saat itu Siswondo melebarkan wilayah pentasnya ke sejumlah kabupaten di Jawa Timur, juga di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Seperti layaknya kaum gipsi di Eropa, setiap kali pindah mereka membawa serta seluruh tobong, tempat pertunjukan sekaligus tempat tinggal para pemain dan keluarganya. Hebatnya, mereka bisa bertahan beberapa bulan di satu tempat sebelum beranjak ke daerah lain. Para pemain pun beroleh tetesan kemakmuran. "Saya pernah dibayar Rp 17.500 semalam, sangat berlebih untuk hidup sehari-hari," cerita Budi Hartanto, salah seorang pemain senior. Grup ini merajai seni ketoprak di Jawa Timur karena gayanya yang khas yang dikembangkan Siswondo. Dia mampu memadukan gaya ketoprak Mataraman dengan gaya pesisiran secara apik. Ketoprak ini juga dilengkapi sound system, tata cahaya, layar, dan kostum yang wah. Berbagai adegan yang sulit, termasuk salto ke belakang dan terbang, bisa dibawakan oleh para pemain dengan sempurna. Menonton Ketoprak Siswo Budoyo bagaikan menikmati bioskop. Kebetulan pemainnya hampir semua mumpuni. Ketika masih sehat, Siswondo amat sempurna memerankan tokoh kontroversial seperti Aryo Penangsang. Pelawaknya tak kalah tenar. Saat itu nama Jorono dan Jogelo, dua pengocok perut andalannya, amat populer di kalangan masyarakat Jawa Timur. Mereka didukung oleh pelawak muda Joisin (Topan) dan Jolewo (Leysus). Gaya lawakan Jorono dan Jogelo ini sering ditampilkan oleh Topan dan Leysus ketika masih bergabung dengan Ketoprak Humor. Praktis tidak satu pun ketoprak lain yang bisa menandingi popularitas Siswo Budoyo di Jawa Timur. Menurut Topan, cuma Ketoprak Wahyu Budoyo asal Kediri yang saat itu dianggap sebagai saingannya. Kelompok ketoprak lainnya seperti Sakti Budoyo, Indro Budoyo, dan Linda Budaya—ketiganya juga dari Kediri—ketenarannya jauh di bawahnya. Puncak kejayaan Siswo Budoyo ditandai dengan penampilannya yang gemilang pada acara Ketoprak Sayembara yang digelar oleh TVRI pada 1993. Bertajuk Ampak-Ampak Singgelapura, pertunjukan ini amat digemari penonton. Saat itu Siswo Budoyo menampilkan cerita yang mengandung teka-teki. Penonton diminta menebak siapa pembunuh Prabu Kartiko Aji (diperankan oleh Siswondo). Tak kurang dari 800 ribu kartu pos—berisi jawaban kuis ini—masuk ke TVRI. Tapi tiada yang abadi di bisnis hiburan. Sinar Siswo Budoyo mulai meredup setelah Siswondo meninggal pada 17 Februari 1997. Kepergian tokoh yang sudah dianggap sebagai bapak para pemain itu membuat Siswo Budoyo seperti kapal yang oleng. Apalagi Jogelo dan Jorono juga sudah tiada. Bintang-bintang yang lain seperti Yati Pesek, Topan, dan Leysus akhirnya pun memilih hengkang dari grup ini. Setelah Siswondo wafat, tongkat kepemimpinan berpindah ke tangan Wijayanti (istri kedua Siswondo), lalu belakangan dipegang oleh Endang Waryanti (anak Siswondo dari istri pertama). Tapi upayanya mendongkrak lagi pamor Siswo Budoyo sia-sia. Di bawah Endang, tanda-tanda biduk Siswo Budoyo bakal karam justru kian membayang. Pentas mulai tak rutin. Penonton yang dulu selalu berjubel mulai menyusut. Honor pemain mulai tidak teratur dibayarkan. "Saya sebenarnya sudah menyerah. Kalau memang era kejayaan ketoprak sudah selesai, mau apa lagi," kata Endang, yang sehari-hari dikenal sebagai dosen IKIP PGRI Kediri. Di tengah masa paceklik, Rachman—dulunya bekas "seksi repot" Siswo Budoyo—berinisiatif mengelola. Perjanjian pun diteken antara Rachman dan Endang sebagai pemilik. Isinya, Rachman sepakat mengontrak seluruh peralatan lengkap Siswo Budoyo senilai Rp 1 juta per bulan. Akhirnya Siswo Budoyo dibawa Rachman ke Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya. Terhitung sejak 12 Mei 2001, panggung ketoprak tobong ini menyala kembali. Siapa sangka, hanya dalam tempo beberapa bulan, ketoprak itu sudah kehilangan penonton. Kapasitas maksimal tempat duduk yang 500 kursi tidak pernah terisi sampai seperempatnya. Lambat-laun jumlah penonton menyusut sampai akhirnya hanya tinggal 8 sampai 10 orang. Akhirnya, sejak Januari lalu, pertunjukan di taman hiburan tersebut dihentikan. Rachman memperkirakan, sepinya penonton karena orang enggan datang ke THR. Soalnya, untuk masuk ke sana, pengunjung harus merogoh kocek hingga tiga kali, dari uang parkir (Rp 500), tiket masuk THR (Rp 2.000), hingga karcis untuk menonton Siswo Budoyo (Rp 7.500). Selain lokasi tersebut terbilang rawan kejahatan, transportasi pun tak mendukung. Angkutan umum yang melayani rute ke THR hanya sampai pukul 22.00. "Padahal pergelaran ketoprak biasanya baru tuntas pada pukul 23.30," tutur Rachman. Akhirnya ia mengambil kebijakan "meliburkan" anggotanya. Pemain yang berasal dari luar Surabaya diperbolehkan pulang. Pemain yang memilih bertahan di tobong sambil mencari pekerjaan sambilan dibiarkan. Rachman juga membebaskan pemainnya mencari order dari grup lain asalkan, bila sewaktu-waktu dibutuhkan, mereka siap. Karena tiada pemasukan, Siswo Budoyo pun tak kuat membayar tagihan rekening listrik selama empat bulan senilai Rp 19 juta. Pertengahan Juli lalu soal ini sempat memercikkan insiden. Menurut para pemain, ada semacam "upaya" mengusir Siswo Budoyo. Dengan dalih melakukan pembersihan, pengelola THR membakar peralatan pentas seperti layar dekorasi, rumah-rumahan, dan batu-batuan. Benarkah? Kepala Dinas Pariwisata Pemerintah Kota Surabaya, Aftha Heru Djatmiko, membantahnya. Menurut dia, yang ada hanyalah penertiban aset berupa gedung pertunjukan milik pemerintah kota agar tidak disalahgunakan. "Saya melihat gedung ketoprak itu digunakan untuk tempat tinggal, padahal aturannya tidak boleh," katanya. Persoalan lain pun muncul. Endang menganggap Rachman ingkar janji. Menurut dia, uang kontrak baru dibayar sekali. Rachman juga dituduh tak pernah memberitahukan bahwa ada kontrak dengan JTV. Saking jengkelnya, Endang lalu mengambil semua peralatan Siswo Budoyo dan membawanya pulang ke Kediri. Rachman pun kelabakan. Tapi ia keberatan dituduh ingkar janji. Menurut Budi Hartanto, salah seorang pemain, justru Endang selaku pemilik tidak mau mengurusi Siswo dengan dalih sibuk menjadi dosen. Semua kemelut itu menyeret Siswo Budoyo ke tubir jurang kejatuhan. Karena itu, kontraknya dengan JTV bagaikan penyambung napas kelompok ini. Harapan lain? Rachman bertekad menggelar pentas rutin lagi tahun depan. Sebagai persiapan, ia mulai melakukan pembenahan di sana-sini. Panggung diperbesar, dari semula 8 meter persegi menjadi 12 meter persegi. Dekorasi dipercantik dengan memperbanyak layar dan tumbuh-tumbuhan hidup. Kostum-kostum baru dibeli. Kemampuan pemainnya pun ditingkatkan. Dari mana uangnya? "Pokoknya ada. Yang penting halal," kata Rachman, yang sehari-hari menjadi guru di sebuah sekolah menengah kejuruan swasta di Surabaya. Siswo Budoyo juga akan bertahan di jalur ketoprak pakem. Mereka tak tergoda ikut-ikutan rekannya di Jakarta, yang membuat ketoprak humor agar laku. Kalaupun harus membuat lakon versi humor, kata Rachman, kaidah sebagai ketoprak pakem tetap dipegang. Misalnya, raja atau punggawa kerajaan tidak boleh dibuat guyonan. Pilihan ini diambil karena wasiat almarhum Siswondo yang memintanya agar memelihara pakem. "Kalau Prabu Brawijaya dibuat guyonan seperti di Ketoprak Humor, lantas di mana letak keagungan Majapahit?" ujar Rachman. Akankah Siswo Budoyo berhasil melalui masa sulit dan mengulang kembali kejayaannya? Suraji, pemain yang pernah bergabung sejak 1962, berkomentar singkat, "Bagi saya, Siswo Budoyo sudah mati sejak Pak Siswondo meninggal." Sungguh tragis. Soalnya, Siswo Budoyo merupakan satu-satunya ketoprak berkeliling alias ketoprak tobong yang masih bertahan di Jawa Timur. Puluhan ketoprak lain yang kurang populer masih ada, tapi mereka cuma melayani order yang pasti dari orang yang punya hajatan. Jadi, jika Siswo Budoyo mati, tamat pula riwayat ketoprak tobong di provinsi itu. Tapi adakah yang masih peduli? Wicaksono, Kukuh S. Wibowo, Dwidjo U. Maksum (Tulungagung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus