Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREBUT kemerdekaan dan mengenyangkan perut rakyat adalah dua soal yang kerap tak berjalan seiring. Itulah yang kini dialami Timor Loro Sa’e, negeri yang baru saja merdeka dalam keadaan gosong. Aksi bumi hangus yang dilakukan milisi—juga TNI, menurut berbagai investigasi—kini menunjukkan wajahnya yang nyata. Lebih dari 70 persen infrastruktur tinggal puing-puing, angka pengangguran mencapai 80 persen, dan roda perekonomian amblas. Buntutnya, perut warga Timor praktis bergantung pada kocek badan internasional.
Bantuan yang menggerojoki kawasan luluh lantak itu memang lumayan melimpah ruah. Di Tokyo, 16-17 Desember 1999 lalu, Bank Dunia dan sejumlah negara donor telah meneken kesepakatan untuk mengucurkan hibah tak kurang dari US$ 520 juta—sekitar Rp 3,7 triliun—untuk jangka waktu tiga tahun. (Bandingkan dengan dana pembangunan sebelumnya dari Jakarta, yang ”cuma” Rp 200 miliar per tahunnya.)
Gunungan dana bantuan itulah yang dikelola puluhan lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional ataupun lokal yang kini menyemut di Timor Timur. Daftar registrasi Pemerintahan Transisi PBB di Tim-Tim (United Nations Transition Administration in East Timor, UNTAET) menunjukkan ada 61 LSM internasional dan 90 LSM lokal yang berkiprah di kawasan ini (lihat tabel). Lembaga-lembaga inilah yang membantu UNTAET dalam memutar roda pembangunan, dari urusan mendistribusikan bahan pangan, pendidikan, pengungsi, pembangunan infrastruktur, sampai pelayanan kesehatan.
Tapi, sejumlah ketidakpuasan warga Timor ke arah LSM asing dan UNTAET mulai meruap ke udara. Suara keras, misalnya, datang dari Yayasan Hukum, Hak Asasi, dan Keadilan (HAK). Pada 10 Januari lalu, kelompok kerja studi dan pengkajian LSM yang sudah lama kencang menyuarakan kemerdekaan Tim-Tim itu meluncurkan laporan berjudul ”Dari Operasi Pembumihangusan Menuju Operasi Kemanusiaan – Catatan tentang Kiprah NGO Internasional dan Lembaga-Lembaga PBB di Timor Loro Sa’e Pasca-Referendum”. Isinya gugatan.
Pola kerja LSM asing dituding, selain semrawut dan tak tepat sasaran, hanya jadi sinterklas yang pada jangka panjang bakal menciptakan ketergantungan. Mereka juga dituding pongah dengan selalu memandang sebelah mata kekuatan LSM lokal, yang sebenarnya sudah punya basis, kenal medan, dan punya akses ke kelompok masyarakat. ”LSM internasional itu arogan sekali. Mereka tak mau bekerja sama dengan LSM lokal,” kata Aniceto Guterres Lopes, Ketua Yayasan HAK.
Mereka bahkan dituding tak lebih dari menjadikan mimpi buruk buat Tim-Tim, sebagai lahan proyek bermantel bantuan kemanusiaan. Seperti terungkap dalam kasus Mozambik, perilaku LSM raksasa tak ubahnya seperti lembaga bisnis trans-nasional raksasa. Proyek berskala raksasa—tapi tak dibutuhkan warga—itu digelar sekadar untuk menyedot jutaan dolar dana bantuan asing. Buntutnya, seperti yang dialami rakyat Bangladesh, kelompok masyarakat yang terus digerojoki bantuan—tanpa program pemberdayaan yang memadai—malah jadi makin termarginalkan.
Sejumlah kasus diungkap Yayasan HAK. Soal ketergantungan itu, misalnya. Mereka menemukan adanya sejumlah lokasi tempat kegiatan produksi sebenarnya sudah mulai berjalan, tapi masih terus ”disusui” bantuan. Di sisi lain, LSM asing dan UNTAET tak kian menunjukkan minatnya membantu roda produksi petani. Di Aileu, ketika masa tanam padi hampir tiba, tak satu pun yang menaruh perhatian. Berbagai perlengkapan pertanian yang diminta penduduk, seperti traktor, tak juga ditanggapi.
Kisruh serupa ditemui di Turiscai, Bubususu, dan Manufahi, tempat terdapat puluhan ton stok kopi yang tak bisa dipasarkan. Para tokoh masyarakat setempat pernah mengajukan masalah ini ke LSM internasional yang beroperasi di sana. Apa jawaban yang didapat? Para relawan bule itu cuma menjawab: mereka tak memiliki program pemasaran kopi rakyat. Program pembibitan, yang mestinya bisa dijadikan program pemberdayaan pertanian, ternyata sia-sia. Dalam banyak kasus, bibit tanaman dibagikan tak tepat waktu. Di Maliana dan Desa Boquioli, Baucau, misalnya, bibit jagung dibagikan ketika masa menanam jagung sudah lewat. Akibatnya, rakyat dikondisikan untuk selalu mengharap datangnya bantuan. Banyak penduduk desa segan menggarap sawahnya dan lebih suka tinggal di Dili, tempat beras gratis mudah didapat.
Cara kerja dua LSM raksasa di bidang distribusi beras, World Food Programme (WFP) dan World Vision (WV), juga dinilai semrawut dan melenceng dari sasaran. Gara-gara tak punya data akurat, beberapa tempat pengungsian menerima beras sampai beberapa kali, sementara tempat lain sama sekali tak tersentuh. Penduduk di Desa Waitama, Kabupaten Viqueque, misalnya, hingga Desember lalu cuma gigit jari. Apa pasal? Rupanya, LSM internasional yang beroperasi di sana mengambil kesimpulan dengan memukul rata kasus segelintir keluarga yang masih memiliki persediaan beras cukup.
Kasus lain adalah soal pilih-pilih lokasi. Banyak LSM asing, demikian Yayasan HAK menuding, kerap berdalih hanya sanggup memasok beras sampai ke gudang kota karena tak ada angkutan yang bisa membawanya masuk ke pelosok desa. Padahal, dalam kasus yang dialami penduduk Desa Leorema, Liquica, ketiadaan angkutan itu tak sepenuhnya benar. Pada 6 Januari lalu, mendengar bantuan beras masih teronggok di gudang World Vision di Liquica, para penduduk desa harus merogoh Rp 8 juta dari kocek mereka sendiri yang sudah amat tipis itu untuk mencarter empat truk.
Toh, semua tudingan itu dibantah keras baik oleh pihak LSM internasional maupun UNTAET. Soedarto, Corporate Planning World Vision untuk Indonesia, tegas menyangkal semua tudingan yang dialamatkan ke LSM yang berkiprah di Indonesia sejak 1960 dan di Tim-Tim sejak 1995 itu. Menurut dia, selama ini distribusi beras oleh WV menjangkau sampai ke pelosok, dan tak hanya di kawasan yang memiliki infrastruktur memadai. Sementara itu, pihak WFP tak bersedia memberikan klarifikasi, dengan alasan penanggung jawabnya tak berada di tempat.
Hal itu dikuatkan oleh juru bicara UNTAET, Manuel Almeida da Silva. ”Tidak masuk akal,” katanya. Peta pembagian wilayah kerja LSM yang dikirimkan UNTAET memang menunjukkan bahwa semua kawasan di Tim-Tim habis dijangkau, meski itu belum tegas-tegas menggambarkan seberapa dalam mereka masuk ke daerah pelosok.
Soedarto juga menyangkal laporan Yayasan HAK yang menyatakan cuma menggaji staf lokalnya dengan 10 kilogram beras per bulan. ”Menurut laporan yang kami terima, staf lokal bahkan sampai tak bisa mengangkut sendiri beras bagiannya karena saking banyaknya,” katanya lagi. Besar gaji sesuai dengan standar umum yang berlaku di semua perwakilan WV. Adapun gaji dalam bentuk beras itu adalah hasil kesepakatan dengan pekerja lokal.
Ihwal ada beberapa persoalan dalam koordinasi dengan LSM lokal memang diakui Manuel. Tapi, katanya lagi, ”masalah itu sangat wajar untuk kasus Tim-Tim, yang memiliki program sangat luas dengan pelaku yang sangat banyak.” Dan itu tak berarti koordinasi tak dilakukan. Pertemuan rutin diadakan dua kali seminggu, yang selalu dihadiri Timorese NGO Forum, organisasi yang memayungi LSM lokal.
Manuel juga menilai, tudingan menciptakan ketergantungan itu terlalu berlebihan. Ia menyebut satu contoh. Pola pembagian bahan pangan pada periode awal (November 1999-Januari 2000), yang ditujukan pada seluruh populasi, kini telah diubah. Setelah masa darurat lewat, distribusi ditujukan hanya kepada kelompok masyarakat lemah, yang belum mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Tujuan perubahan ini justru untuk menghindari efek ketergantungan itu.
Anehnya, Yayasan HAK pun terkesan tak konsisten dengan laporannya. Beberapa tudingan belakangan mereka ralat sendiri. Ketika dikonfirmasi, nada suara Aniceto tak segalak laporannya. Ia, misalnya, tak tegas-tegas menyatakan lembaga-lembaga asing itu sama sekali tak memiliki program pemberdayaan. ”Saya cuma belum melihatnya sampai sekarang,” katanya.
Jadi, apa pokok pangkalnya? Mulai merebaknya sentimen antiasing? Entahlah. Boleh jadi, persoalannya sederhana saja, seperti yang diungkapkan Aniceto, ”Kami ini sudah ada sebelum LSM internasional itu datang. Kami butuh pengakuan itu.” Intinya, setelah lepas dari cengkeraman Indonesia, mereka rupanya tak juga merasa menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.
Karaniya Dharmasaputra, IG.G. Maha Adi
LSM Internasional | Bidang Garapan |
ACF (Action Contre la Faim) | Air & Sanitasi, Pemukiman |
AMI-F (Aide Medicale Internationale - France) | Kesehatan |
AMI-P (Assistencia Medica Internacional) | Kesehatan |
CARE (CARE Australia) | Pangan, Non-Pangan, Air & Sanitasi, Pemukiman |
CARITAS (CARITAS International) | Pangan, Kesehatan, Pemukiman |
CRS (Catholic Relief Services) | Pangan, Non-Pangan, Pemukiman, Pertanian, Pendidikan |
ICRC (International Committee of the Red Cross) | Pangan, Non-Pangan, Repatriasi, Pengungsi, Pemukiman |
IMC (International Medical Corps) | Kesehatan |
IOM (International Organization for Migration) | - |
IRC (International Rescue Committee) | Kesehatan, Pemukiman |
MDM-F (Medecins du Monde - France) | Kesehatan |
MDM-P (Medecins du Monde - Portugal) | Kesehatan |
MERLIN (Medical Emergency Relief International) | Kesehatan |
MSF (Medecins Sans Frontieres) | Kesehatan |
OXFAM (OXFAM International) | Kesehatan, Air & Sanitasi, Pendidikan Kesehatan |
PHM (Portuguese Humanitarian Mission) | Kesehatan |
PWJ (Peace Winds Japan) | Non-Pangan, Pemukiman |
SCF/CCF (Save the Children/Christian Children's Fund) | Pemukiman |
TA (Timor Aid) | Pangan, Non-Pangan, Kesehatan, Pemukiman |
UNICEF (United Nations International Children's Emergency Fund) | - |
WFP (World Food Programme) | Pangan |
WV (World Vision) | Pangan |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo