Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM pecahan seratus ribuan, uang Rp 57 miliar terdiri atas 570 ribu lembar. Perlu koper besar untuk mengangkut uang sebanyak itu.
Muhammad Herviano Widyatama, anak pertama Komisaris Jenderal Budi Gunawan, menerima pinjaman dari Pacific Blue International Limited sejumlah itu pada Juli 2005 dalam bentuk tunai. Mengklaim menerima pinjaman US$ 5,9 juta, ia mencairkannya dalam rupiah.
Begitulah pengakuan Herviano, ketika itu mahasiswa 19 tahun, yang dicatat Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia pada Juni 2010. "Dana tersebut dimasukkan Iie Tiara ke rekening BCA melalui setoran tunai," begitu tertulis dalam surat yang ditandatangani Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Ito Sumardi ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan pada 18 Juni 2010. Iie, anggota staf Budi, adalah seorang polisi.
"Penyelidikan" dilakukan Markas Besar Kepolisian pada Mei 2010 merespons surat PPATK, yang menemukan transaksi mencurigakan di rekening Budi Gunawan, ketika itu Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, dan anaknya. Disebutkan, Herviano antara lain menerima total Rp 25 miliar pada 1 Agustus 2005 dan Budi memperoleh Rp 29 miliar esok harinya.
Badan Reserse, yang menyelidiki laporan ini kurang dari satu bulan, menerima begitu saja pengakuan Budi dan "saksi-saksi" lain: mereka menyimpulkan semua transaksi legal dan tidak ada masalah. Ito mengklaim meminta keterangan delapan saksi.
BUDI Gunawan dan anaknya menyodorkan alasan "bisnis keluarga" untuk menangkis kecurigaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Dalam "klarifikasi"-nya, Herviano menyebutkan berencana berbisnis tambang dan hotel. Karena dananya terbatas, ia meminta bantuan orang tuanya, yang kemudian mengenalkan dia dengan Robert Priantono Bonosusatya.
Robert adalah pemilik PT Jasuindo Tiga Perkasa, yang memperoleh proyek pengadaan material buku pemilik kendaraan bermotor di Kepolisian. Dia kemudian disebutkan mengenalkan Herviano kepada David Koh, kuasa direksi Pacific Blue International Limited, perusahaan yang beralamat di Level 2, The Public Trust Building, 442 Moray Place, Dunedin, Selandia Baru.
Pacific Blue, menurut klarifikasi itu, setuju memberikan pinjaman US$ 5,9 juta atau sekitar Rp 57 miliar selama tiga tahun sejak 6 Juli 2005. Robert berperan sebagai penjamin. Disebutkan, bunga pinjaman mengikuti Singapore Interbank Offered Rate plus 2 persen yang dihitung bulanan. Utang inilah yang dicairkan Herviano dalam bentuk kas. Upaya Tempo mewawancarai Robert membentur dinding. Dua nomor teleponnya tak aktif.
Sebagian uang dimasukkan ke rekening Herviano, sebagian lain ke rekening ayahnya "untuk mengawasi, mengingat dana pinjaman sangat besar". Herviano mengklaim menjalankan bisnis smelter di Bangka Belitung, bekerja sama dengan PT Mitra Abadi Berkatindo dan PT Sumber Jaya Indah. Ia juga mendirikan Hotel The Palais Dago, Bandung, bekerja sama dengan Sintawati, kakak ayahnya.
Herviano mengklaim memiliki bisnis surat berharga, meski kemudian dihentikan karena rugi Rp 2 miliar. Ia juga mengaku menjalankan bisnis barang antik milik keluarga. Ia menjalankan niaganya itu didampingi Iie Tiara, polisi anggota staf ayahnya. Herviano tak dapat dihubungi Tempo untuk dimintai konfirmasi.
Di Dunedin, kota indah di tepi pantai dengan kontur perbukitan di wilayah selatan Selandia Baru, berdiri rumah-rumah petani. "Pusat kotanya segede Blok M, Jakarta," ujar Taufiq S., pengusaha yang pernah tinggal di rumah petani di kota itu pada 2011. "Mayoritas penduduknya petani dan peternak, bukan pedagang."
Tempat yang dicantumkan sebagai alamat Pacific Blue International Limited merupakan kantor jasa trust and corporate service. Jadi, menurut Taufiq, besar kemungkinan Pacific Blue merupakan perusahaan virtual yang hanya meminjam alamat alias paper company.
Dari penelusuran di Internet, alamat Pacific Blue pada 2005-2006, ketika Herviano mengklaim memperoleh pinjaman dari perusahaan ini, bahkan hanya berupa kotak surat satu rumah di pinggiran Dunedin. Melalui Google Street View, terlihat bahwa alamat perusahaan yang memberikan pinjaman Rp 57 miliar tanpa agunan ini merujuk pada sebuah bangunan sederhana di pinggir Jalan Caversham. Tak ada nomor telepon ataupun alamat tercantum pada aneka dokumen Pacific Blue.
Pada 2005, Direktur Pacific Blue adalah Nicolaas Jan Carel Francken, bukan David Koh seperti yang disebutkan dalam "pengakuan" Budi Gunawan, Herviano, dan Robert kepada Badan Reserse Kriminal. David Koh, orang berkewarganegaraan Singapura, yang beralamat di kawasan pinggiran negeri tetangga itu, baru tercantum sebagai anggota direksi pada 11 Mei 2010—beberapa saat sebelum "penyelidikan" oleh Badan Reserse.
Informasi yang dikumpulkan dari sejumlah sumber menyebutkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan serta Komisi Pemberantasan Korupsi pernah mengecek ke Selandia Baru soal klaim pinjaman Budi Gunawan itu. Pemerintah kedua negara menjalin kerja sama dalam perang melawan pencucian uang. "Mereka bilang tidak pernah ada pinjaman itu," kata seorang pejabat penegak hukum.
PPATK juga menyoroti klaim bahwa pinjaman dolar dicairkan tunai dalam bentuk rupiah. Apalagi tidak tercatat adanya aliran dari keluarga Budi Gunawan ke perusahaan itu sebagai pembayaran utang dan bunganya. Begitu pula tidak ada aliran dana dari The Palais Dago ke rekening mereka.
Dalam daftar kekayaan yang disetorkan ke komisi antikorupsi, 26 Juli 2013, Budi Gunawan tidak mencantumkan penghasilan dari The Palais Dago. Tercatat di situ, ia melaporkan penghasilan dari "obyek wisata" sebesar Rp 180 juta per tahun pada 2008 dan menghilang pada 2013.
Dalam daftar aset Budi Gunawan tercatat bangunan 244 meter persegi dan tanah 1.157 meter persegi di Jalan Juanda 90, Bandung, yang merupakan alamat The Palais Dago. Hotel ini dicantumkan hanya bernilai Rp 3,62 miliar, yang diperoleh pada 2007.
BADAN Reserse Kriminal tak menelusuri sejumlah kejanggalan pengakuan Budi Gunawan itu dalam penyelidikan 2010. Kepada Tempo, Jumat pekan lalu, Ito Sumardi mengatakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan tidak pernah meminta Kepolisian memperdalam perkara ini lagi. "Jadi, bagi kami, masalah itu sudah clear," ujarnya.
Menurut Ito, kini duta besar di Myanmar, penyelidikan perkara ini ditangani tim gabungan. Mereka, kata Ito, meminta bukti-bukti dari perwira yang dicurigai melakukan transaksi mencurigakan. "Kami cek dokumen ke perusahaan," tuturnya.
Ito mengatakan tim ini tidak bekerja berdasarkan kecurigaan, tapi mencari asal uang di rekening para perwira. "Kami hanya tanya uang dari mana, mana buktinya," ujarnya. "Klarifikasi Budi Gunawan bisa diterima karena melampirkan dokumen-dokumen."
Pejabat penegak hukum yang mengetahui betul perkara ini menyebutkan Badan Reserse sebenarnya tidak pernah meminta keterangan saksi-saksi. Laporan 17 halaman yang dikirimkan ke PPATK, menurut pejabat yang mengaku mendapat cerita langsung dari Ito, justru dibuat sendiri oleh Budi Gunawan.
Dimintai konfirmasi ulang soal ini, Ito mengatakan, "Enggak, dong, itu keterangan saksi-saksi."
Surat Ito Sumardi menjadi dasar Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Komisaris Besar Arief Sulistyanto—kini Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Barat dengan pangkat brigadir jenderal—mengirim surat ke Budi Gunawan pada 20 Oktober 2010. Isinya: lalu lintas keuangan di rekening sang Jenderal dianggap wajar. Surat dibuat karena ada kewajiban penyidik untuk memberi tahu pihak yang beperkara soal kelanjutan dan perkembangan penyidikan. Dimintai konfirmasi, Arief menolak berbicara.
Rabu pekan lalu, ketika menghadapi uji kelayakan dan kepatutan sebagai Kepala Polri, Budi Gunawan menunjukkan dokumen-dokumen itu kepada Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Ia, yang sehari sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka oleh komisi antikorupsi, mengatakan, "Ini produk hukum yang sah, dari lembaga penegak hukum yang juga memiliki kekuatan hukum."
Budi Setyarso, Dewi Suci Rahayu, Arif Zulkifli
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo