Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ALAMATNYA Jalan Duren Tiga Selatan VII Nomor 17A, RT 10 RW 02, Kelurahan Duren Tiga, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan. "Gunawan" mencantumkannya pada kartu tanda penduduk guna membuka rekening di BCA dan BNI Warung Buncit pada 5 September 2008.
Meski tak mencantumkan pekerjaan jelas, "Gunawan" menyetor masing-masing Rp 5 miliar ke dua rekening baru itu. Asal dana berasal dari "Gunawan" yang lain: Budi Gunawan, ketika itu Kepala Kepolisian Daerah Jambi berpangkat brigadir jenderal. Yang membuat penyelidik tersenyum, menurut seorang aparat penegak hukum, "Foto Gunawan di kartu tanda penduduk adalah foto Budi Gunawan."
Komisi Pemberantasan Korupsi mencurigai aneka transaksi itu merupakan bagian dari suap dan gratifikasi kepada sang Jenderal. Ia pun ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa pekan lalu, kurang dari sepekan setelah diajukan Presiden Joko Widodo menjadi calon tunggal Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Hampir lima tahun lalu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menyerahkan temuan transaksi mencurigakan ini ke Markas Besar Kepolisian. Dengan gaji resmi sekitar Rp 7 juta, Budi diduga menerima miliaran rupiah di rekeningnya pada periode yang cukup lama. Apalagi ia menutup rekeningnya tak lama setelah dana dipindahkan.
Tempo menelusuri kembali alamat "Gunawan" yang dipakai untuk membuka rekening. Alamat itu merujuk ke rumah kontrakan yang disewakan Rp 2,2 juta sebulan. Jika disewa per malam, tarifnya Rp 400 ribu. Pada 2008, Iie Tiara, polisi anggota staf pribadi Budi Gunawan yang banyak terlibat dalam transaksi bosnya, tinggal di tempat itu. "Dia pindah tiga tahun lalu," kata Rizal Fahlefi, penjaga kontrakan.
Penduduk yang tinggal di sekitarnya mafhum belaka pemilik Wisma Lestari yang terdiri atas 20 kamar itu adalah Budi Gunawan, terakhir menjabat Kepala Lembaga Pendidikan dan Latihan Polri berpangkat komisaris jenderal. Menurut Rizal, sejak Iie Tiara tak lagi tinggal di sana, banyak petugas bank datang mencarinya.
Penyelidik curiga, pembukaan rekening atas nama Gunawan ini untuk menyembunyikan isi kas Budi Gunawan. Sebab, pemindahan dana dilakukan hampir bertepatan dengan munculnya kecurigaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atas empat rekening Budi di BCA.
Budi membuka rekening bernomor akhir 5520 memakai alamat rumah yang ditinggali bersama keluarganya di Jalan Duren Tiga Barat VII Nomor 21, Pancoran, Jakarta Selatan, pada 2 Agustus 2005. Rekening ini paling aktif bertransaksi, selain rekening lain bernomor akhir 9992 yang dibuka pada 23 Maret 2006.
Setoran awal untuk rekening 5520 tergolong superjumbo, yaitu Rp 29 miliar, yang tak dijelaskan sumbernya. Dari rekening ini, Budi Gunawan mentransfer Rp 8 miliar sebanyak empat kali ke rekening Rudy Handojo, yang diduga merupakan Direktur Prima Capital Securities, perusahaan sekuritas.
Dari Rudy, uang tersebut dialirkan lagi ke rekening BCA nomor 552-022-5333 atas nama Muhammad Herviano Widyatama, anak sulung Budi Gunawan. Saat membuka rekening pada 1 Agustus 2005, Herviano juga menyetor dana jumbo: Rp 25 miliar.
Selama 2007-2008, rekening Herviano menerima dan mengalirkan uang dalam jumlah besar ke rekening Iie Tiara, yang ditransfer lagi ke rekening lain milik Budi di BCA. Pada Desember 2007, misalnya, Herviano mendapat tiga kali transfer dari Yuliana, Manajer Keuangan PT Sumber Jaya Indah, senilai Rp 13,9 miliar. Sebulan kemudian, ada juga transfer dari Sintawati sebesar Rp 7,5 miliar.
Untuk memeriksa temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan itu, Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri mengklaim telah meminta keterangan Yuliana dan Herviano. Dalam laporan penyelidikan disebutkan bahwa Budi Gunawan menyatakan Rp 57 miliar yang masuk ke rekening milik dia dan anaknya merupakan pinjaman dari Pacific Blue International Limited, yang dicairkan tunai.
Dalam laporan yang sama, Yuliana, pegawai akuntansi Sumber Jaya Indah, mengatakan transfer uang tersebut merupakan pengembalian modal dan keuntungan yang ditanamkan Herviano ke perusahaan tambang timah itu. "Atas perintah Herviano, saya juga mentransfer ke rekening Budi Gunawan sebesar Rp 5 miliar," katanya, tertulis dalam laporan 18 Juni 2010 itu.
Semua transaksi dari PT Sumber Jaya dilakukan pada Desember 2007. Menurut Yuliana, kontrak dengan PT Mitra Abadi Berkatindo—perusahaan Herviano—berakhir sebulan sebelumnya. Menurut seorang karyawan di sana kepada Tempo, Sumber Jaya berhenti mengekspor timah, terutama setelah seorang pemilik sahamnya ketahuan menimbun 35 ton timah di rawa-rawa di belakang kantor.
Pemodal PT Sumber Jaya, menurut karyawan ini, bukan hanya Budi Gunawan dan anaknya. "Jenderal-jenderal polisi atasannya juga punya saham di sini," ujarnya. Karena itu, kasus pengerukan timah ilegal pada 2007 tak menjadi kasus besar kendati polisi menemukan 13 truk timah yang dikeruk dari luar area konsesi 75 hektare di Pangkalpinang.
Sejak berhenti mengekspor itu, perusahaan vakum dan kini masih dalam tahap persiapan untuk beroperasi kembali setelah perusahaan dikendalikan Sendy Pranata. Sendy menjabat Direktur Utama Sumber Jaya. Menurut koleganya, ia punya hubungan erat dengan sejumlah petinggi Markas Besar Polri.
Sendy, yang populer dengan nama Ateng, dikenal sebagai pengatur uang untuk para jenderal. Ia tak ada di rumahnya ketika disambangi di Perumahan Bangka Asri di Jalan Soekarno-Hatta, Pangkalpinang. Panggilan dan pesan pendek ke telepon selulernya juga tak berbalas. "Di sini tak ada yang tak kenal dengan Pak Sendy," kata Tommy, karyawan PT Cirindo, yang menjadi pengembang perumahannya.
Tak hanya menyetor, kas Iie Tiara di Bank Mandiri juga mendapat transfer dari rekening Herviano sebesar Rp 7 miliar selama Januari-Juni 2008. Setahun sebelumnya, Iie Tiara tercatat mentransfer jumlah yang sama ke rekening Budi Gunawan di BCA bernomor akhir 9992. Dari situ, Budi mentransfer lagi ke rekeningnya yang lain di BCA dengan nomor akhir 5520 sebesar Rp 5 miliar. Dalam laporan polisi, Iie Tiara dikutip menyatakan, "Itu transaksi wajar sebagai bisnis Saudara Herviano."
MENURUT seseorang yang mengetahui detail transaksi, sumber dana di rekening Budi Gunawan itu diduga berkaitan dengan lima hal: mendagangkan posisinya sebagai ajudan Presiden Megawati 2001-2004, suap untuk mutasi jabatan dari koleganya di kepolisian pada saat menjadi Kepala Biro Pembinaan Karier, suap dan beking pengusaha hitam ketika menjadi kepala kepolisian daerah, fee pengadaan di kepolisian, serta perlindungan atas pengemplang pajak.
Suap yang berkaitan dengan mutasi antara lain dilakukan pada 2004, ketika Budi Gunawan menjadi Kepala Biro Pembinaan Karier. Di situ tercatat aliran dari Inspektur Jenderal Firman Gani sebesar Rp 5,5 miliar ke rekening Budi Gunawan pada Juni-Juli 2004. Firman, Kepala Polda Jawa Timur, diduga meminta Budi merekomendasikan pemindahannya ke Polda Metro Jakarta Raya.
Transfer dilakukan pada 21 Juni serta 1 dan 11 Juli 2004. Dalam sekuel waktu, lima hari setelah itu terbit Keputusan Kepala Polri Nomor Kep/538/VII/2004 yang antara lain menetapkan Firman Gani menjadi Kepala Polda Metro Jaya. Beberapa nama lain yang tercatat menyetor uang dengan jumlah Rp 300 juta-1,5 miliar dimutasikan ke jabatan kepolisian daerah kelas A, seperti Sumatera Utara.
Firman Gani meninggal dua tahun lalu. Kepada Tempo yang meminta komentar, Widya Suraannisa, putri sulung Firman Gani, meminta ayahnya tak dikaitkan dengan kasus Budi Gunawan. "Semasa beliau hidup tak pernah bercerita soal itu," katanya.
Selain Firman, beberapa perwira tercatat mengirim uang secara rutin ke rekening Budi Gunawan, kebanyakan pejabat Direktorat Lalu Lintas Kepolisian di berbagai daerah. Di antaranya dari Syahtria Sitepu, kini pengajar di Sekolah Pimpinan Polri berpangkat inspektur jenderal. Ia terdeteksi 13 kali mentransfer total senilai Rp 1,5 miliar ketika menjabat Direktur Lalu Lintas Polda Sumatera Utara pada Agustus 2004-Maret 2006. Syahtria belum bisa dimintai konfirmasi.
Uang yang berkaitan dengan pengusaha, berdasarkan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, adalah dari PT Masindo Lintas Pratama. Perusahaan pengembang yang antara lain membangun apartemen Hollywood Residence di Jakarta Selatan ini tercatat mengirim uang ke rekening Herviano pada 17 November 2006 sebesar Rp 1,5 miliar. Masindo juga diduga banyak memperoleh proyek di Korps Lalu Lintas Polri.
PT Masindo didirikan Haryadi Kumala alias A Sie pada 15 Oktober 2004 bersama Dedi Djajasastra dan Leo Hudiono Kadarisman. Haryadi tak lain adik Cahyadi Kumala, pengusaha properti pemilik Sentul City yang kini menjadi tersangka penyuapan Bupati Bogor Rachmat Yasin.
Haryadi tak bisa ditemui untuk dimintai konfirmasi. Disambangi di rumahnya di Widya Chandra dan ditunggui di Golden Boutique Hotel, tempat sehari-hari ia berkantor, Cahyadi tak kunjung muncul. Adapun Dedi mengatakan tak tahu tuduhan komisi antikorupsi ke Masindo.
Transaksi-transaksi Budi Gunawan juga melibatkan adiknya, Sintawati. Ia tercatat mentransfer Rp 7,5 miliar ke rekening Herviano pada 17 Januari 2008. Dalam laporan polisi, ia dikutip menjelaskan bahwa uang itu merupakan penyertaan modal pembangunan Hotel The Palais Dago di Bandung yang dikerjakan keponakannya itu.
Kepala Bidang Pajak Pendaftaran Kota Bandung Gun Gun Sumaryana memberi konfirmasi bahwa hotel bintang tiga bergaya Eropa di Jalan Juanda itu milik Herviano. Dalam laporan kekayaan Budi Gunawan yang diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2013, tanah dan bangunan yang merupakan alamat The Palais dicantumkan hanya bernilai Rp 3,62 miliar dan merupakan hasil sendiri yang diperoleh pada 2007.
MESKI melakukan berbagai transaksi jumbo, penghasilan resmi Budi Gunawan jauh di bawah angka-angka itu. Gajinya sekitar Rp 7 juta pada 2008 dan Rp 28,2 juta pada lima tahun setelahnya. Ia mencantumkan penghasilan lain sebesar Rp 900 juta per tahun pada 2008 dan Rp 560 juta pada 2013. Adapun istrinya mengaku memperoleh penghasilan Rp 120 juta setahun.
Untuk konsumsi rumah tangga, transportasi, pendidikan, dan keperluan lain, Budi mengaku mengeluarkan Rp 560 juta per tahun. Dengan "neraca" keuangan seperti itu, keluarga ini mencantumkan aset berupa harta tak bergerak berupa 34 bidang tanah dan bangunan yang tersebar di Jakarta dan Subang, Jawa Barat.
Budi Gunawan menolak permintaan wawancara yang diajukan melalui surat dan ia terima langsung. Di dalam surat itu telah disebutkan aneka transaksi yang hendak dimintakan konfirmasi. Dalam pertemuan dengan Tempo, Kamis dua pekan lalu, ia juga menolak semua keterangannya dikutip.
Pada saat uji kelayakan dan kepatutan di Dewan, Budi mengatakan sudah transparan melaporkan harta dan cara memperolehnya. Ia mengutip laporan penyelidikan Badan Reserse Kepolisian yang menyatakan transaksi di rekening-rekeningnya wajar dan legal. "Tak ada yang ditutupi atau direkayasa," katanya.
Komisi Pemberantasan Korupsi rupanya memiliki pandangan lain. Ia pun terancam hukuman maksimal seumur hidup, dan kini telah dicegah bepergian ke luar negeri.
Bagja Hidayat, Dewi Suci (Jakarta), Servio Maranda (Pangkalpinang), Iqbal Lazuardi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo