Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian akan melaporkan Polri ke Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK hari ini, Senin, 2 September 2024 pukul 11.30 WIB. Mereka mendapati temuan yang diduga kuat mengarah pada korupsi pengadaan alat pelontar gas air mata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Untuk itu, koalisi akan melaporkan dugaan korupsi tersebut ke KPK,” kata Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian dalam rilis yang diterima Tempo pada Senin dini hari, 2 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polri kembali menjadi sorotan soal penggunaan gas air mata untuk membubarkan keramaian. Setelah menuai polemik dalam tragedi Kanjuruhan pada awal Oktober 2022 dan bentrok Pulau Rempanh pada September tahun lalu, Polri tak kapok menggunakan gas air mata untuk mengondusifkan demonstrasi.
Terbaru adalah saat menindak keramaian ribuan masyarakat mendemo DPR RI di kompleks parlemen, Senayan dan di sejumlah kota di Indonesia pada Kamis, 22 Agustus 2024. Unjuk rasa bertajuk #PeringatanDarurat guna mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu disebut menelan sejumlah korban.
“Kekerasan aparat dalam berbagai aksi demonstrasi, satu di antaranya aksi #PeringatanDarurat lalu, banyak menelan korban,” kata Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian.
Hal itu disebabkan tindakan represif aparat keamanan dan ketertiban yang tak kunjung tobat menggunakan gas air mata sebagai opsi membubarkan massa. Zat yang membuat netra pedih dan menyakitkan itu seolah adalah hal biasa untuk disemburkan ke arah rakyat.
“Salah satu sebabnya karena aparat dibekali senjata, terutama gas air mata yang tentu ditujukan kepada rakyat sebagai peserta aksi. Bahkan tidak jarang, senjata ini digunakan secara berlebihan dan membabi buta,” kata koalisi tersebut.
Gas air mata di Tragedi Kanjuruhan, bentrokan di Pulau Rempang, dan Demo Kawal Putusan MK
Selanjutnya: Kontroversi Gas Air Mata dalam Tragedi Kanjuruhan
Penggunaan gas air mata oleh polisi saat membubarkan massa aksi baru-baru ini bagai membuka luka yang masih segar. Barangkali masih terekam jelas di ingatan para penyintas Tragedi Kanjuruhan bagaimana ngerinya peristiwa itu. Ribuan orang berhimpitan mencari jalan keluar setelah aparat menembakkan gas air mata. Sebab himpitan dan kehabisan napas, ratusan di antaranya tewas.
Malapetaka itu terjadi pascapertandingan Liga 1 antara Persebaya vs Arema FC pada 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan, Malang. Insiden bermula ketika peluit panjang dibunyikan wasit dalam pertandingan yang berakhir dengan skor 3-2 untuk kemenangan Persebaya. Beberapa orang pendukung Arema FC kemudian masuk ke lapangan untuk memberi semangat kepada pemain tuan rumah.
Namun, aparat keamanan juga ikut merangsek ke para pendukung Arema itu. Cilakanya, mereka kemudian menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton. Tribun yang disesaki pendukung tuan rumah pun berubah jadi neraka. Asap pekat yang membuat dada sesak dan mata perih itu membuat ribuan orang kocar-kacir menuju pintu keluar. Sebanyak 135 orang tewas dan ratusan lainnya terluka akibat peristiwa ini.
Tim Gabungan Independen Pencari Fakta atau TGIPF Tragedi Kanjuruhan menyimpulkan gas air mata jadi penyebab utama kematian massal di insiden tersebut. “Kemudian yang mati dan cacat, serta sekarang kritis dipastikan itu terjadi karena desak-desakan setelah ada gas air mata yang disemprotkan, itu penyebabnya,” kata Ketua Tim TGIPF Tragedi Kanjuruhan Mahfud MD dalam konferensi pers di Istana, Jumat, 14 Oktober 2022.
Awalnya ada 6 orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka yakni Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi, Komandan Kompi Brimob Polda Jatim AKB Hasdarman, dan Kabag Operasional Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto. Sedangkan dari sipil: Dirut PT Liga Indonesia Baru (LIB) Akhmad Hadian Lukita, Ketupel Pertandingan Abdul Haris, dan Security Officer Suko Sutrisno.
Haris dan Hasdarmawan divonis 1 tahun 6 bulan penjara. Suko divonis 1 tahun penjara. Akhmad bebas dari tahanan pada Desember, berkasnya tak kunjung lengkap. Dua tahun berselang, statusnya masih tak jelas. Bambang dan Wahyu sempat divonis bebas. Namun, Mahkamah Agung menganulir vonis tersebut dan menjatuhkan masing-masing 2 tahun dan 2,5 tahun penjara.
Selanjutnya: Gas Air Mata dalam Bentrok di Pulau Rempang
Nyaris setahun kemudian, tepatnya 11 bulan setelah Tragedi Kanjuruhan, polisi kembali menuai sorotan karena lagi-lagi menggunakan gas air mata untuk membubarkan bentrokan rakyat dengan aparat di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Parahnya, selongsong gas air mata tersebut dilemparkan ke arah lingkaran sekolah dasar di mana terdapat anak-anak di dalamnya.
Kejadian itu terjadi pada Kamis, 7 September 2023. Bentrok di Pulau Rempang disebabkan rencana pengembangan kawasan Rempang Eco City di wilayah tersebut. Ribuan warga terancam digusur dan di relokasi ke Pulau Galang. Mereka menolak wacana tersebut dan menghadang aparat saat hendak memasang patok tapal batas di Pulau Rempang hari itu.
Warga pun melakukan pemblokiran dengan menebang pohon hingga meletakkan blok kontainer di tengah jalan. Warga juga melakukan lemparan batu yang kemudian disambut oleh gas air mata yang ditembakkan oleh aparat. Atas kejadian tersebut enam warga dilaporkan ditangkap. Puluhan masyarakat mengalami luka-luka dan anak-anak sekolah pun dibubarkan paksa akibat gas air mata.
Salah seorang warga, Bobi mengatakan, saat mengevakuasi warga tiba-tiba gas air mata ditembakan ke sekolah. “Kondisi itu membuat anak-anak menangis dan belarian,” kata Bobi. Padahal, kata Bobi, guru-guru SD tersebut sudah meminta agar gas air mata tidak ditembakan ke arah sekolah. “Tetapi gas air mata sudah tiba di atap sekolah,” katanya.
Lucunya, Polri justru menyatakan tembakan gas air mata yang dilepaskan aparat kepolisian saat bentrokan mengarah ke sekolah karena tertiup angin. Bahkan, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan juga membantah ada korban luka-luka yang menimpa aparat keamanan maupun warga.
“Yang ada karena tindakan pengamanan oleh aparat kepolisian dengan menyemprotkan gas air mata ketiup angin, sehingga terjadi gangguan penglihatan untuk sementara,” kata Ramadhan di Gedung Bareskrim Polri, pada Jumat, 8 September 2023.
Namun, bantahan Polri bersebrangan dengan temuan Komnas HAM. Dalam investigasinya, Komnas HAM menemukan beberapa selongsong peluru gas air mata di atap dan di dekat pekarangan Sekolah Dasar Negeri 024 Galang. SD tersebut merupakan salah satu lokasi yang terkena dampak tembakan gas air mata saat bentrokan antara aparat dan masyarakat di kawasan Jembatan IV Barelang.
“Itu (temuan selongsong peluru gas air mata) akan kami lakukan penyelidikan sendiri,” kata Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, Putu Elvina saat ditanya awak media soal temuan selongsong peluru tersebut, Sabtu, 16 September 2023.
Selanjutnya: Lontarkan Gas Air Mata Saat Demo Lawal Putusan MK
Polisi kembali menggunakan gas air mata untuk membubarkan demonstrasi Kawal Putusan MK atau revisi UU Pilkada di berbagai kota. Di Jakarta, demonstrasi berakhir ricuh dan polisi menangkap puluhan orang dan sudah menetapkan 19 di antaranya sebagai tersangka pengrusakan fasilitas umum.
Di Semarang, demo turunkan Jokowi di depan komplek Balai Kota dan Dewan DPRD Kota Semarang dibubarkan paksa oleh polisi pada Senin, 26 Agustus 2024. Polisi melontarkan gas air mata untuk membubarkan massa.
Situasi serupa terjadi di Makassar. Demo gabungan mahasiswa se-Makassar menolak politik dinasti Presiden Jokowi itu berakhir ricuh di bawah flyover Jalan AP Pettarani, Makassar pada hari yang sama.
Tindakan represif ini mendapat kritik keras sejumlah lembaga negara, organisasi masyarakat sipil dan akademisi. Mereka menilai bahwa pendekatan kekerasan oleh aparat tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga memperburuk situasi dan mengancam demokrasi.
Respons keras dari aparat terhadap demonstran ini memicu kekhawatiran semakin sempitnya ruang untuk menyampaikan aspirasi di Indonesia, terutama di tengah meningkatnya ketegangan politik belakangan ini.
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) telah menyurati Mabes Polri untuk mengevaluasi penggunaan gas air mata saat pengamanan demonstrasi. Komisioner Kompolnas Poengky Indarti mengatakan, surat tersebut dikirimkan pada hari ini. “Kami kirim hari ini,” kata Poengky kepada Tempo ketika dihubungi, Jumat, 30 Agustus 2024.
Dalam surat resmi tersebut, Kompolnas meminta dua hal penting kepada Polri. “Bagaimana prosedur penggunaan gas air mata saat Polri melakukan tindakan pembubaran massa aksi unjuk rasa menolak Revisi UU Pilkada tersebut,” tulis surat dengan nomor registrasi B-314/Kompolnas/8/2024 tertanggal 30 Agustus 2024.
Kedua, Kompolnas juga meminta Polri untuk menjamin profesionalitas institusi penegak hukum itu dalam melaksanakan tugasnya untuk menghindari korban jiwa akibat penggunaan gas air mata yang berlebihan.
Kompolnas juga meminta Polri mengevaluasi penggunaan gas air mata dalam penanganan demonstrasi. Kapolri, tutur Poengky, harus memimpin langsung evaluasi tersebut. Evaluasi bertujuan untuk melihat kembali apakah pelaksanaan pengamanan oleh para personel di lapangan sudah profesional atau tidak.
“Apakah tidak berlebihan dalam menembakkan gas air mata, sehingga masyarakat yang tidak ikut demonstrasi turut terkena dampaknya,” katanya.
Poengky menjelaskan, gas air mata memang tidak mematikan, tapi polisi tetap harus waspada dalam penggunaannya. Jangan sampai, prosedur penanganan demonstrasi tersebut justru menyebabkan orang luka-luka atau sakit.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | INTAN SETIAWANTY | YOGI EKA SAHPUTRA