Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Komedi Hitam untuk Jepang

Melalui karangan-karangannya, Idrus mengolok-olok Jepang, hingga terkena sensor. Ia memelopori gaya penulisan prosa realis di sini.

19 Mei 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPUCUK surat dialamatkan ke redaksi majalah Pantja Raja di pengujung November 1946:

”... oentoek mendjaga soepaja para bekas Heiho dan keloearganja jang berfikiran sehat djangan sampai djadi gila, maka dengan ini kami minta dengan hormat dan soedilah kiranja Toean, begitoe poela Toean Idroes menarik kembali karangannja itoe serta meminta maaf dengan setjara Ksatria.... Wassalam, Bekas Heiho jang berfikiran sehat.”

Di awal November tahun itu, majalah Pantja Raja memuat karangan Idrus yang berjudul Heiho. Ini cerita pendek tentang seorang lelaki yang menjadi anggota Heiho karena berharap bisa membela Tanah Air tapi malah dituding sebagai antek penjajah oleh istrinya sendiri. Di akhir cerita, lelaki lugu itu dikisahkan tewas di sebuah pertempuran, sementara sang istri akhirnya kawin lagi dengan lelaki lain.

Kala sastra Indonesia terhuyung-huyung bangkit seusai tiarap di zaman Jepang, Idrus datang menggebrak. Idrus menulis dengan gaya yang belum banyak dianut penulis masa itu. Heiho adalah sebuah tragikomik, sebuah komedi hitam. Ditulis dengan gaya bahasa yang satir. Perhatikanlah kalimat-kalimatnya yang ringkas dan lugas. Sesekali kasar dan jenaka.

Dua tahun kemudian, pada 1948, cerita itu dibukukan dalam himpunan karangan Idrus berjudul Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (selanjutnya Dari Ave Maria). Dicetak oleh Balai Pustaka, tempat Idrus bekerja sebagai redaktur, ada 13 karangan di buku itu, diawali sebuah cerita pendek berjudul Ave Maria—diambil dari judul lagu klasik ciptaan Gounoud—dan ditutup dengan sebuah cerita pendek pula berjudul Jalan Lain Ke Roma. Seolah menandai periode penulisannya, Idrus membagi isi buku yang tak melulu cerita pendek itu menjadi tiga bagian: Zaman Jepang, Corat-coret di Bawah Tanah, dan Sesudah 17 Agustus 1945. Cerita pendek berjudul Heiho itu ada di bagian Corat-coret di Bawah Tanah.

Idrus menulis dua bagian pertama Dari Ave Maria sebelum kemerdekaan—di bawah pengawasan ketat sensor Keimin Bunka Shidoso atau Kantor Pusat Kebudayaan Jepang. Di masa itu, segala macam bentuk seni dan sastra bakal kena sensor bila tak sesuai dengan semangat Asia Timur Raya yang diusung Jepang. Contohnya adalah dibredelnya majalah Pujangga Baru yang dipimpin Sutan Takdir Alisjahbana. Kantor Pusat Kebudayaan menganggap majalah itu berjiwa ”Barat”.

Dua karangan di bagian Zaman Jepang—cerita pendek Ave Maria dan naskah drama Kejahatan Membalas Dendam—juga kena ”cekal”. Seperti majalah Pujangga Baru, keduanya dianggap tak memiliki semangat ”ketimuran”. Ave Maria, dari judulnya, dianggap ”kebarat-baratan”. Bahkan Kantor Pusat Kebudayaan menemukan dosa yang lebih besar. Mereka menganggap di kedua tulisan itu tersembunyi anasir-anasir propaganda yang bisa menghasut rakyat untuk melawan Jepang.

Ketatnya sensor menyebabkan hanya segelintir kesenian, termasuk sastra, hidup di masa itu. Di antara mereka yang hidup ada kelompok sandiwara Maya pimpinan Abu Hanifah alias El Hakim, kakak kandung tokoh film Usmar Ismail. Kelompok sandiwara itu bisa bertahan karena cari aman dengan cara mementaskan naskah ”biasa-biasa” sesuai dengan ketentuan Kantor Pusat Kebudayaan.

Sejak dua tulisannya dilarang beredar, Idrus tetap menulis kendati secara sembunyi-sembunyi. Karangan-karangannya lantas dia simpan di suatu tempat rahasia supaya tidak ditemukan oleh Kempetai. Di dalam Dari Ave Maria, karangan-karangan itu ada pada bagian Corat-coret di Bawah Tanah. Menariknya, Idrus menulis sebagian ceritanya saat ia bekerja di Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa, yang berada di bawah Seksi Propaganda Sendenbu, setelah pindah dari Balai Pustaka karena tak puas dengan gajinya yang kecil.

Demikianlah, bila seorang bekas anggota Heiho saja terpanggang hatinya membaca tulisan Idrus, apalagi Jepang. Maka tak satu pun cerita di dalam Corat-coret di Bawah Tanah terbit pada masa itu. Lelaki yang lahir di Padang, 21 September 1921, ini baru berani mempublikasikan Corat-coret di Bawah Tanah setelah bala tentara Tenno Haika itu hengkang.

Perkenalannya dengan pengarang seperti Sutan Takdir Alisjahbana di Balai Pustaka turut mempengaruhi proses kreatifnya sebagai penulis. Saat menulis Ave Maria dan Kejahatan Membalas Dendam, Idrus menampilkan tulisannya seolah ia adalah penerus tradisi generasi Pujangga Baru. Kedua karangan tersebut memang ditulis dengan gaya penulis masa itu. H.B. Jassin menyebutnya periode romantis.

Namun itu berubah di bagian Corat-coret di Bawah Tanah. Di bagian itu, Idrus tak lagi peduli dengan semangat generasinya. Kesengsaraan dan kemelaratan rakyat dalam cengkeraman Dai Nippon menyebabkan Idrus meninggalkan gaya romantik dan mulai menulis berdasarkan realitas sehari-hari. Menurut Jassin, sikap Idrus di Corat-coret di Bawah Tanah cocok dengan sikap rakyat di masa itu. ”Sikap jiwa masa bodoh terhadap peristiwa-peristiwa yang dianggap besar di masa itu,” kata Jassin.

Setelah Jepang angkat kaki, Idrus tetap menunjukkan sikap yang mencemooh. Di dalam novelet Surabaya, yang terdapat di bagian Sesudah 17 Agustus 1945, ia seolah tak peduli dengan gegap-gempita revolusi (lihat ”Nasionalisme dan Preman di Surabaya”).

Idrus adalah saksi mata dari setiap peristiwa di dalam tulisannya. Dengan kata lain, setiap karangan di dalam Dari Ave Maria merupakan laporan aktual dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa itu. Idrus tak berdiri di luar sejarah. Ia adalah bagian dari sejarah itu sendiri.

Idrus telah melahirkan gaya penulisan baru. Menurut Jassin, bila Chairil Anwar disebut sebagai pelopor Angkatan ’45 di bidang puisi, Idrus layak disebut sebagai pelopor Angkatan ’45 dalam bidang prosa karena berhasil melakukan pembaruan bentuk tulisan. Tengoklah urutan tulisan dalam Dari Ave Maria. Urutan itu memperlihatkan suatu pencarian, baik dalam gaya bahasa maupun gaya berpikir. Saat Idrus mulai menulis tentang realitas, di sanalah, kata Jassin, Idrus tiba pada corak nieuw zakelijkheid atau ”kesederhanaan baru”. ”Suatu kesederhanaan pengucapan yang sebelumnya tak dikenal. Kesederhanaan yang memerlukan kelincahan gerak berpikir,” kata Jassin.

Namun, sebagai pengarang, Idrus juga tak lepas dari pengaruh para pengarang lain. Di antara mereka yang mempengaruhi Idrus ada Vsevolod Ivanov, Ilya Ehrenburg, dan raja cerita pendek Rusia, Anton Chekov. Idruslah yang memperkenalkan Ivanov dan Chekov kepada pembaca Indonesia lewat terjemahannya. Chekov, kita tahu, adalah pengarang yang termasyhur dengan cerita-cerita tragikomiknya. Gaya satire Chekov tampak pada Corat-coret di Bawah Tanah. Bahkan judul itu sendiri mengingatkan kita pada Notes from The Underground-nya Fyodor Dostoyevsky, pengarang besar yang juga berasal dari Rusia.

Kendati banyak didamprat karena tulisannya dianggap menghina revolusi, di kalangan penulis sastra masa itu Idrus segera mendapat pengikut luas. Bukan kebetulan bila pascakemerdekaan karya prosa didominasi cerita pendek. Banyak penulis masa itu memuja tulisan lelaki yang berpulang pada umur 58 tahun itu. Salah satunya Pramoedya Ananta Toer. Suatu kali Pram berkata, ”Ada dua pengarang kesukaan saya. Pertama, John Steinbeck. Kedua, Idrus.”


(45) Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta (1948)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus