Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perlawanan Abadi Siti Nurbaya

Tak sekadar menyorot kawin paksa, roman itu juga mendobrak kekakuan adat. Sebuah referensi klasik sastra Indonesia.

19 Mei 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SITI Nurbaya belum mati. Entah sejak kapan nama itu menjadi lambang perempuan modern yang tertindas kekolotan adat. Boleh dibilang, tak ada tokoh fiktif sastra Indonesia modern yang bisa menandingi nilai personifikasi sosok perempuan ini.

Tokoh sentral dalam roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli itu telah hadir di ruang-ruang kelas sekolah sejak diterbitkan Balai Pustaka pada 1922. Siti Nurbaya bahkan mengilhami beberapa sutradara untuk mengangkat kisahnya ke layar kaca. Di Padang, Siti Nurbaya hadir seperti sosok riil. Ada jembatan atas namanya, ada pula makam lengkap dengan cungkup dan kelambunya.

Siti Nurbaya memang telah mempengaruhi kehidupan nyata. Yang menarik, beberapa lama setelah roman itu lahir, terjadi perubahan dalam kebudayaan masyarakat Minangkabau, terutama berkaitan dengan kawin paksa. Roman ini kemudian menjadi counter-culture, yang mengejek setiap orang tua ketika hendak memaksa anak perempuannya kawin dengan perjodohan paksa: ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya.

Siti Nurbaya adalah roman Marah Rusli yang paling masyhur di angkatan Balai Pustaka. Marah Rusli dinilai sebagai salah satu pelopor yang mengakhiri zaman kesusastraan lama. Persoalan yang dikemukakan di dalam karya-karyanya bukan lagi istana-sentris dan hal-hal bersifat fantasi belaka, melainkan gambaran realitas masyarakat pada masa itu.

Roman Siti Nurbaya berkisah tentang percintaan melodramatis Siti Nurbaya dengan Syamsul Bahri. Namun orang tua Siti tak menyetujui. Siti pun menikah dengan Datuk Maringgih, orang tua kaya berhati licik. Siti akhirnya meninggal diracun anak buah Datuk Maringgih. Syamsul pun mati.

Siti Nurbaya menarik karena roman ini mampu membangun pemahaman baru akan kegelisahan perempuan terhadap adat dan kebudayaan yang mencengkeram mereka. Cerita ini sekaligus menggambarkan pengorbanan perempuan–Siti Nurbaya–untuk kedua orang tuanya dengan menikahi Datuk kaya demi melunasi utang orang tua.

Ini yang membuat roman tersebut kuat. Rusli–kelahiran Padang, 7 Agustus 1889–mengalirkan gagasannya hingga terasa mendahului zamannya. Lewat dialog tokoh-tokohnya, Rusli menyampaikan gagasan tentang kekolotan di kalangan bangsawan yang merugikan, kearifan hidup pada zaman perubahan, corak perkawinan ideal, keburukan poligami, serta masalah hubungan laki-laki dan perempuan.

Lewat romannya itu, seperti pernah ditulis sejarawan Taufik Abdullah di majalah Tempo, Rusli seakan menginginkan reformasi sosial. Ia mencita-citakan perkawinan tanpa paksaan. Ia juga menentang keras poligami. Secara karikaturis ia mengecam kebiasaan bangsawan yang kawin tanpa tanggung jawab.

Alhasil, roman setebal 271 halaman itu (Balai Pustaka, Jakarta, 1990) masih bisa dikatakan relevan hingga sekarang. Perbenturan modern-tradisional, Barat-Timur, dan feminin-maskulin, tak pernah lekang digerus zaman. Andai usia Rusli yang wafat pada 17 Januari 1968 itu bisa lebih panjang, boleh jadi ia akan melihat sendiri bahwa apa yang dirasakannya pada tahun-tahun lampau masih bisa dijumpainya hari-hari ini.


(43) Siti Nurbaya Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta (1920)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus