Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kota Tua Warisan Raja Songtham

31 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESTINYA Apartemen Boonyarak di Ayutthaya itu adalah tempat yang aman bagi Hambali. Berlantai enam, dengan dua pintu masuk dari depan dan samping kiri, bangunan itu tak begitu mencolok mata. Di belakangnya berdiri rumah berderet-deret. Di sisi kiri masih ada bangunan lain, apartemen plus perkantoran. Seandainya ada sergapan, sebenarnya gampang bagi dia untuk melesat kabur. Apalagi jalan besar cuma beberapa tapak dari apartemen itu.

Tapi nasib berbicara lain. Senin dua pekan silam, Hambali ditekuk oleh selusin agen intelijen Thailand. Malam itu, dia tak bisa berkutik. Kendati sempat juga dia mencabut pistol, petugas jauh lebih gesit. Setelah mengepung rapat, para agen Siam itu mendobrak pintu kamar 601. Mereka mencokok Hambali serta istrinya, Noralwizah Lee. Keduanya menempati kamar bertarif sewa sekitar 3.000 baht (kira-kira Rp 700 ribu) sebulan. "Baru beberapa pekan dia tinggal di sini," ujar Lhek Ying, penunggu kedai kelontong di apartemen yang resik itu.

Di luar nasib Hambali yang apes, Ayutthaya memang menyediakan sejumlah alasan bagi Hambali untuk memilihnya sebagai tempat bersembunyi.

Terletak sekitar 80 kilometer di utara Bangkok, kota itu memang menarik bagi para pengelana. Ratusan kuil Buddha kuno berdiri tegak, hampir menyebar rata di setiap sudut kota. Ayutthaya adalah juga hinterland bagi Bangkok, dengan puluhan pabrik dan ribuan petak sawah yang lapang. Dalam epos Ramayana versi Thai, kota ini diyakini sebagai Ayodhya, kerajaan tempat bercengkerama Rama dan Sinta.

Dan satu fakta penting, ada sekitar 70 ribu anggota komunitas muslim tinggal di sana. "Mereka dipindahkan oleh Raja Songtham dari Pattani, ratusan tahun lalu," ujar Somchai Hamlaor, aktivis sosial dari Forum Asia, Bangkok. Somchai mengaku nenek moyangnya berasal dari wilayah selatan Thailand itu. Raja Songtham memerintah sekitar 1602-1627. Saat itulah banyak pedagang Persia dan India yang mampir ke Siam. Selain berniaga, mereka menyebarkan Islam.

Dari jejak sejarah, Islam tumbuh di Ayutthaya dengan berbagai kembang aliran. Bukti itu bisa dilihat dari sebuah masjid bernama At-Taqiya. Jaraknya sekitar 15 kilometer dari pusat kota. Dengan arsitektur berbau India, di tengah masjid itu ada sebuah makam. Warga setempat menyebutnya makam "Syeh Baba". Menurut literatur, Syeh Baba adalah Syeh Saman Maimun, yang berasal dari India. Dia mendirikan masjid itu sekitar tahun 1610.

Kini makam itu dibuat keramat oleh warga. Dengan satu bangunan cungkup mewah serta nisan berselubung kain pelaminan, banyak orang datang mendaras doa di tengah taburan kembang aneka warna. "Termasuk warga non-Islam," ujar Mohamad Fadil Wan-Aloh, pengajar di Sekolah Yayasan Islam Sriayutthaya.

Mungkin karena kesan keramat itu, Fadil enggan bersalat di sana. "Kami punya masjid sendiri," ujarnya. Sekolah tempat dia mengajar merupakan sekolah terbesar di Ayutthaya. Letaknya di Klongtakian, sekitar 10 kilometer dari kota. Dengan 1.400 murid, tak ada kesan sekolah itu punya muatan politik radikal. Sekolah itu seperti pesantren modern, memasukkan pelajaran bahasa Inggris dan Thai, melengkapi bahasa Arab. Gurunya ada yang datang dari Mesir dan Pakistan. "Cita-cita kami memajukan Islam lewat ilmu pengetahuan," ujarnya.

Menurut Fadil, dia tak tahu Hambali pernah singgah di Ayutthaya. Dari 53 masjid yang resmi terdaftar, tak satu pun pengurusnya mengaku bertemu dengan anak Cianjur itu. "Kami tahu dia telah tertangkap dari berita televisi," ujarnya. Kata dia, warga muslim setempat heboh karena ada anggota Jamaah Islamiyah yang tertangkap di kota mereka. Maklumlah, Klongtakian adalah wilayah tempat mayoritas muslim hidup. Di sana ada enam masjid, dan satu kuil Buddha.

Cerita bahwa Hambali melakukan kontak dengan komunitas muslim setempat agaknya sulit dibuktikan. Seorang penghuni apartemen mengaku pernah beradu muka dengan lelaki dari kamar 601 itu. Tapi lelaki itu selalu membuang muka saat mereka beradu pandang. Hambali, kata dia, kerap keluar pada saat fajar. "Dia sering pakai baju kaus," ujar warga apartemen yang menolak menyebut namanya itu.

Tak jelas ke mana Hambali "bergerilya" selama di Ayutthaya. Dia bahkan tak mampir ke masjid. Abdullah, seorang pengurus Masjid Syapurjan, yang bermazhab Hanafi, juga tak pernah melihat Hambali hadir dalam salat berjemaah. Padahal masjid itulah yang terdekat dengan apartemen, sekitar lima kilometer. "Saya tak kenal dia dan tak mengerti apa yang telah dia lakukan," ujar lelaki berjubah putih yang mengaku keturunan Pakistan itu.

Dua pekan silam, kisah pelarian maestro teror bom di Asia Tenggara itu tamat sudah. Hambali mungkin tak melakukan salat ke masjid. Tapi para agen Siam mencium dia menyelinap di antara ratusan kuil Buddha itu.

Nezar Patria (Ayutthaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus