Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Empat Sutradara di Hari Jadi

Dalam rangka ulang tahunnya yang ke-13, SCTV memutar empat buah sinetron lepas. Terobosan segar untuk sebuah tontonan di layar kaca.

31 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI ini, Jakarta melahirkan empat cerita. Cerita itu bermuara dari keluarga Ilham Hasan (Piet Burnama), yang memiliki empat anak: Radit (Mathias Muchus), Irawan (Hefri Olifian), Yarra (Ria Irawan), dan Naila (Andara Early). Keluarga inilah yang menjadi jantung dari semua empat sinetivi (ini istilah lain lagi dari telesinema atau film televisi atau sinetron) yang masing-masing berjudul Bengkel, Bekisar Merah, Pria Idaman, dan Perayaan Besar. Keempat kisah yang diarahkan oleh empat sutradara yang berbeda kemudian masing-masing menampilkan empat Hasan bersaudara itu sebagai peran utama dalam keempat telesinema itu, saling mengait, meski tetap berdiri sebagai satu drama televisi yang mandiri. Dan empat karya ini tentu saja lahir dari tangan dingin prosuder Mira Lesmana dengan tim penulis skenario yang andal. Lalu apa bedanya empat sinetivi (atau telesinema atau film televisi, atau apa pun namanya) dengan sinetron yang sehari-hari menyakitkan mata dan jiwa kita itu?

Pertama, karena keempat karya ini adalah "pesanan" SCTV dalam rangka ulang tahun yang ke-13, segalanya menjadi serba khusus, mulai dari bujet, produser, hingga sutradara dipilih yang memiliki jaminan mutu. Jujur saja, keempat sinetron ini memang kayak martabak, renyah dan gurih. Tak mengherankan bila dibandingkan dengan ratusan sinetron yang muncul saban hari di televisi, empat sinetron itu menjadi pembicaraan para penonton. Bukan saja penggarapannya serius, ceritanya pun masuk akal. Selain itu, akting para pemainnya lebih alamiah natural, dan yang penting, hampir semua cerita tidak seperti berada di negeri antah berantah dengan persoalan yang pelik dan mengada-ada. Keempat sinetron lepas ini tak jauh dari keseharian, ide ceritanya lebih membumi.

Kedua, meski tak penting betul, Mira Lesmana dan timnya sengaja menyempilkan angka 13 di mana-mana sekadar perlambang ini hari ulang tahun SCTV yang ke 13. Nah, alhasil, semua sinetron ini mengandung angka 13. Angka ini pun serempak muncul. Bekisar Merah bercerita tentang pengalaman seorang Alisa Hasan (putri Irawan Hasan), yang berusia 13 tahun, yang pertama kali mendapatkan menstruasi. Pria Idaman bertutur tentang tiga orang perempuan, Yarra Hasan, April, dan Jasmine, yang bersahabat selama 13 tahun. Lalu Bengkel berkisah tentang romantika rumah tangga Radit Hasan dalam usia perkawinan mereka yang memasuki tahun ke-13. Dan yang terakhir Perayaan Besar, yang merupakan muara dari semua tiga kisah sebelumnya, merangkai dengan jumlah anggota keluarga besar Ilham Hasan yang berjumlah 13 orang dalam sebuah pesta di rumah sang ayah, Ilham Hasan.

Bekisar Merah, karya Lasya Fauzia, tampil bersinar mengisahkan Alisa Hasan, gadis puber putri keluarga Irawan Hasan yang gemar main sepak bola dan baru saja mendapat menstruasi. Kisah coming of age ini memang sulit dipisahkan dari kesan kita terhadap pengaruh film Bend it Like Beckham, yang juga mengisahkan dua putri remaja Inggris yang bergairah untuk menjadi anggota tim sepak bola Inggris. Dalam Bend it Like Beckham, yang jadi penghadang adalah tradisi. Sedangkan Alisa terhadang oleh soal teknis negara ini, yang tak memiliki tim sepak bola perempuan, hingga dia terpaksa menyamar menjadi anak lelaki. Keseluruhan cerita digarap dengan semangat drama komedi yang wajar. Misalnya sang pelatih, si Abang Total yang tampil galak, karikatural, dan mendominasi layar karena dia menjadi alasan kuat penonton agar tidak berpindah saluran.

Pria Idaman karya Wisnu Adi dan Bengkel arahan Agung Sentausa tampil dengan keistimewaan masing-masing. Pria Idaman berkisah tentang persahabatan tiga perempuan yang sama-sama terlibat dalam sebuah tim pengasuh acara talk show di televisi. Hadirnya seorang pria yang membuat mereka sama-sama tertarik membuat persahabatan mereka terganggu. Kisah klasik yang mengandung sebuah stereotip: perempuan cenderung bersaing untuk memperoleh lelaki. Tapi tak apa, karena penggarapan episode ini sangat unik. Setiap segmen, bak akhir sehelai komik, dihentikan dengan teknik freeze-frame dan sehelai kertas post-it dengan warna mencolok berisi komentar sineas pembuat film. Cerdas dan penuh warna! Menampilkan novelis Ayu Utami dan aktris Dian Sastro yang memerankan dirinya sendiri juga sebuah pilihan cerdik. Dalam adegan wawancara, presenter Jasmine, seorang cewek cantik airhead alias tidak melakukan pe-er sebelum mewawancarai Ayu Utami, adalah adegan terbaik. Jasmine bertanya kapan novel Supernova 3 keluar kepada Ayu Utami, yang kemudian disambut dengan bola mata yang hampir melompat keluar. Dengan muka sepet, Ayu menjawab, "Saya tidak menulis Supernova, tapi sebentar lagi akan terbit novel Superkondom, penulis juga seorang wanita dari Bandung...," katanya nerocos sembari kemudian meninggalkan acara itu dengan muka mengkerut.

Keempat sinetron lepas ini memiliki benang merah. Beberapa tokoh dalam sinetron ini muncul dalam sinetron lainnya. Semisal Naila (Andhara Early), yang hadir dalam Bekisar Merah, tampil juga dalam Perayaan Besar, dalam keadaan hamil. Demikian juga Yarra (Ria Irawan), yang tampil dalam Bengkel, kemudian tampil dalam porsi yang besar dalam Pria Idaman. Dan semua tokoh sentral itu berkumpul di episode terakhir, Perayaan Besar, yang akan ditayangkan Selasa pekan ini.

Menyaksikan empat serangkai ini, jelas sekali penggarapan paket ini terlihat serius. Bahkan, menurut Mira Lesmana, prosesnya sudah dimulai sejak 12 bulan silam. Semua itu dimulai pada Juli tahun lalu. Ketika didekati SCTV, Mira memang sempat memberikan syarat, "Saya tidak mau diburu-buru mengerjakan proyek ini. Terutama untuk mendapatkan cerita yang terbaik," ujar Mira. Miles Production, divisi televisi ini, memang perlu hati-hati karena mereka merasa sudah lama tidak menggarap karya televisi. Terakhir, mereka menggarap Anak Seribu Pulau, tujuh tahun lalu, yang ditayangkan lima stasiun televisi.

Setelah semua persiapan dianggap oke, mereka pun baru masuk dalam penggarapan cerita bersama sebuah tim. Prosedur ini merupakan hal rutin, yang kerap mereka lakukan dalam membuat cerita untuk film layar lebar. Tentu saja hal ini penting dilakukan. Pasalnya, persoalannya bukan kepingin mendapat cerita yang membumi, tapi juga harus bisa menyajikan tontonan yang sesuai dengan pesanan SCTV.

Ide cerita itu diramu oleh penulis skenario yang selama ini bekerja sama dengan Mira Lesmana dalam produksi sebelumnya. Mira menggamit nama yang sebelumnya bekerja sama dalam beberapa filmnya. Mereka adalah Jujur Prananto (Petualangan Sherina, Ada Apa dengan Cinta), Rayya Makarim (Rumah Ketujuh), dan Prima Rusdi (Eliana, Eliana). Satu penulis baru adalah Lintang Pramudya (Bukan Cinderella).

Namun, yang paling istimewa, kecuali kepada Enison Sinaro—yang sudah "veteran" di dunia sinetron—Miles mempercayakan penggarapannya kepada sutradara muda, yakni Agung Sentausa (Bengkel), Lasya Fauziah (Bekisar Merah), dan Wisnu Adi (Pria Idaman). Hasilnya pun tidaklah mengecewakan. Ketiga sutradara yang sebelumnya lebih banyak menggarap video musik atau iklan ini mampu menelurkan sebuah tontonan segar yang lain dari sinetron yang ada.

Meski demikian bukan berarti sajian ini steril dari kekurangan. Satu hal yang terasa mencolok, dalam Bengkel. Casting sudah oke; akting Ira dan Muchus sungguh berbeda jika mereka tampil dalam sinetron lain (apakah dialog dan skenario bisa mempengaruhi penampilan seorang aktor?); namun ritme film terasa lama. Penyelesaian rumah tangga yang semua tampak berat tiba-tiba jadi enteng, begitu Radit menerima order perawatan mobil dari perusahaannya tempat bekerja (waduh, kalau dalam hidup nyata persoalan rumah tangga sebegitu mudah selesai, alangkah indahnya). Persoalan kelambanan ritme ini juga terasa dalam Pria Idaman. Sebaliknya, meski Bekisar Merah dan Perayaan Besar memiliki durasi yang sama, durasi sepanjang itu tak mengganggu karena skenario maupun penggarapan sutradara berhasil menjaga mood setiap adegan.

Lepas dari kekurangan itu, toh sajian ini benar-benar terasa tak mubazir. Ada sebuah pelajaran penting, setidaknya bisa menjadi acuan banyak sinetron, supaya tidak lagi menampilkan sesuatu yang tampak bodoh di depan penonton. Sayang, bila tontonan seperti ini cuma muncul sekali dalam setahun. Dan sayang jika SCTV ataupun stasiun lain tak menampilkan tontonan bermutu seperti ini setiap hari.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus