Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Balada Tertangguknya Si Ikan Besar

Lewat pengejaran berliku, akhirnya Hambali tertangkap. Sekadar menyepi di Ayutthaya atau menyiapkan teror terhadap pertemuan APEC?

31 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APARTEMEN itu berlantai enam, dengan lingkungan yang hiruk-pikuk, tak jauh dari jalan raya Ayutthaya, sekitar 80 kilometer di utara Bangkok, Thailand. Jalanan penuh galian di kiri-kanan. Ada sebuah gang kecil yang menghubungkan sebuah pertigaan yang sibuk. Ada pasar kecil di situ: pedagang ikan segar, makanan, dan toko kelontong. Hanya sekitar 25 meter dari situ, menjulanglah Apartemen Boonyarak, tempat Hambali, sang buron teroris kelas wahid yang diincar banyak negara termasuk Amerika Serikat, pernah "mondok" selama dua pekan.

Seorang lelaki bertubuh kecil tiba-tiba keluar ketika TEMPO melongok ke balik pintu kaca apartemen di pusat Kota Ayutthaya itu. Ia langsung mengangkat tangan dan membuang muka. Kepalanya bergeleng-geleng, "No mo-chi-lim (moslem) here," ujarnya dalam bahasa Inggris berlogat Thai saat ditemui Senin pekan lalu. Meski didesak dengan berbagai pertanyaan, dia tetap tak mau buka mulut. Sambil memijit-mijit kening, ia bicara keras, setengah mengusir. "Saya tak tahu apa-apa. Silakan Anda pergi," ujarnya bersungut-sungut. Ia langsung balik kanan, lalu mengunci pintu.

Untuk masuk ke apartemen bernomor 120/5 Moo 5 itu, tamu harus melewati pintu kaca di lantai satu. Itu pintu utama. Di samping kiri bangunan, ada lagi pintu masuk lain. Pintu masuk itu berada di sudut kiri dari empat pintu ruang yang ada di lantai satu. Dua pintu lainnya adalah salon kecantikan, dan satu lagi kedai kelontong. Tapi, sejak Hambali alias Riduan Isamuddin alias Encep Nurjaman, 39 tahun, tertangkap di sana dua minggu lalu, pintu-pintu itu jadi lebih sering terkunci rapat.

Lingkungan apartemen tak menyiratkan tradisi muslim. Dua perempuan berkaus ketat serta bercelana sangat pendek dan ketat, yang saat itu sedang berbelanja di kedai kelontong, seakan memperkuat kesan "sekuler" itu. Rambutnya disemir pirang. Keduanya hanya cekikikan saat ditanya soal Hambali. "Kami tak tahu apa-apa," ujar mereka. Lhek Ying, perempuan muda penjaga kedai kelontong, mengaku melihat sekelompok orang merangsek ke salah satu kamar tempat sang tokoh Jamaah Islamiyah dan istrinya, Noralwizah Lee, tinggal. Tapi ia tidak tahu detail cerita selanjutnya. "Saya tahu setelah peristiwa terjadi," katanya.

Operasi pencidukan memang berlangsung singkat. Senin tengah malam dua pekan lalu, selusin agen rahasia mengendap-endap masuk apartemen. Mereka langsung naik ke lantai enam. Beberapa detik kemudian mereka menjebol pintu dan merangsek ke kamar nomor 601. Tak ayal, Hambali dan istrinya pun kaget. Hambali kabarnya sempat meraih pistol, tapi tak sempat menembak. Suami-istri ini langsung digelandang dan diinapkan entah di mana.

Dua hari kemudian, beberapa aparat intelijen dari CIA lalu menjemput tokoh yang disebut-sebut Presiden George W. Bush sebagai salah seorang petinggi Al-Qaidah itu. Istrinya diserahkan kepada aparat Malaysia. "Pesawat khusus dari Amerika Serikat itu membawanya pada Rabu pagi," kata seorang pejabat tinggi di negeri Siam. Hambali kemudian ditahan di pangkalan AS di Baghram, Afganistan. Kejadian ini mirip dengan diciduknya Al-Farouq, Mei 2002, di sebuah masjid di Bogor, Jawa Barat. Tokoh yang diduga pentolan Al-Qaidah itu lalu "dijemput" lewat pesawat khusus AS yang siaga di Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta.

Seorang tetangga kamar Hambali bercerita ihwal penangkapan yang terjadi sekitar pukul 23.20 malam itu. "Saya mendengar suara keributan yang keras. Itu saja yang saya dengar," ujarnya. Ia tak mengira petinggi Jamaah Islamiyah itu tinggal di apartemen mereka. Hambali memang jarang bergaul. Bahkan para tetangga kamarnya tidak tahu bahwa istrinya pun tinggal di situ. Menurut Lhek Ying, suami-istri itu juga tak pernah belanja di kedainya (lihat, Kota Tua Warisan Raja Songtham).

Penangkapan Hambali tak berlangsung tiba-tiba. Menurut seorang sumber militer Thailand, kisah sukses ini bermula dari penangkapan Arifin bin Ali alias John Wong, Mei lalu. Dalam interogasi, Arifin mengaku bertemu tiga anggota Jamaah Islamiyah di Thailand. "Mereka diidentifikasi sebagai si Ayah, si Anak, dan si Dokter," ujarnya. Ketiga orang itu ditangkap di Narathiwat, Thailand selatan, Juni lalu. Kini mereka ditahan di Bangkok. Seorang lagi yang dicokok akhirnya dirangkul aparat Negeri Gajah Putih dan dijadikan informan.

Arifin lalu "dikirim" ke Singapura sesuai dengan permintaan aparat negeri Tumasek itu. Saat diperiksa, Arifin lalu "bernyanyi". Ia mengaku kenal dengan seseorang bernama Zubair Mohammad. Warga Malaysia yang punya julukan si Keranjang Uang ini konon penanggung jawab penyediaan dana bagi pengembangan jaringan Jamaah Islamiyah di Thailand dan Kamboja. Dia dikabarkan sering berhubungan dengan Hambali.

Intelijen Singapura rupanya tak asing dengan Zubair. Mereka bahkan telah memberi tahu Thailand soal peran sang penenteng duit sejak delapan bulan sebelum penangkapan Hambali. Tapi Thailand tak bertindak. Mereka mencoba menjaga citra tak ada teroris di negerinya, karena khawatir turis jadi takut melancong. "Perdana menteri tahu soal adanya orang-orang Jamaah Islamiyah, tapi tidak melakukan apa-apa," kata sebuah sumber TEMPO.

Akhirnya Zubair, yang dijuluki pemerintah Thailand sebagai si Ikan Kecil itu, ditangkap di apartemennya di Ramkamhang, wilayah selatan Thailand, akhir Juli lalu. Penangkapan itu dilakukan secara diam-diam agar Hambali, si Ikan Besar, tidak keburu lari. Siapa kira, belakangan ketahuan bahwa Hambali malah sempat menyaksikan penggerebekan Zubair di Ramkamhang. Polisi sama sekali tidak tahu bahwa ia dan istrinya tinggal di apartemen yang sama. Selama 18 bulan lebih tinggal di Thailand, Hambali sering melakukan perjalanan dari Bangkok ke Narathiwat, tempat tinggal si Ayah, si Anak, dan si Dokter.

Dalam tahanan, Zubair, bekas mujahidin di Afganistan ini, membocorkan persembunyian dan rencana perjalanan Hambali. "Ia tahu di mana Hambali dan ini mengungkapkan semuanya," kata sumber itu. Si Ikan Kecil ini juga memberikan informasi tentang peran pembantu Hambali yang bernama Li Li. Saat itu Hambali diduga telah menyeberang ke Thailand dari Laos dan Kamboja.

Polisi juga mendapat keterangan soal posisi Hambali di Kamboja dari Wan Min Wan Mat, seorang warga Malaysia anggota Jamaah Islamiyah yang sudah ditangkap awal tahun lalu. Hambali konon sempat tinggal di Kamboja selama tujuh bulan. Dalam pengejaran atas sang tokoh, seorang warga Thailand dan warga Mesir kemudian ditangkap di sebuah madrasah di dekat Phnom Penh.

Kamboja jelas tak aman bagi Hambali. Ia lalu kembali ke Bangkok pada Mei tahun lalu. Agar tak terlacak, di sana ia selalu berpindah tempat. Menurut seorang pejabat keamanan Thailand, Hambali tak pernah menetap di satu tempat yang sama lebih dari satu bulan. Saat itu Hambali memegang paspor Spanyol, dengan nama Daniel. Laporan intelijen Thailand menyebutkan, Hambali meninggalkan Kamboja, April lalu, kemudian menuju Malaysia.

Setelah lebih dari dua minggu, lalu ia masuk Thailand via Laos lewat perbatasan Chiang Khong di Provinsi Chiang Rai, kemudian ke Ayutthaya. Tapi, menurut The Washington Post dari sumber intelijen AS, Hambali meninggalkan Malaysia menuju Myanmar dengan kapal. Ia lalu masuk Thailand lewat distrik Mae Sai di Provinsi Chiang Rai, yang berbatasan dengan Myanmar. Dari sana ia menuju Chiang Mai, Nakhon Sawan, dan kemudian bersembunyi di Ayutthaya.

Meski mengantongi paspor Spanyol, ia sama sekali tak pernah menggunakannya saat masuk wilayah Thailand. Untuk mengelabui petugas, ia menyuruh Li Li ke Chiang Mai. Di sana, Li Li menyogok petugas imigrasi agar mencap paspor Daniel untuk mengesankan bahwa Hambali masuk Thailand melalui perbatasan Laos, Chiang Khong.

Tapi justru di sinilah pangkal nahas Hambali. Li Li sudah lama diincar polisi. Berdasarkan informasi Zubair, warga Malaysia ini disinyalir pernah membantu memalsukan visa Mohammed Monsour Jabarah, warga Kuwait yang dituduh pemerintah Bush terlibat dalam serangan ke World Trade Center, Amerika Serikat, 11 September 2001.

Li Li akhirnya diringkus pada 11 Agustus, hanya empat jam sebelum penangkapan Hambali. Awalnya dia bungkam seribu bahasa. Tapi, ndilalah, kunci Apartemen Boonyarak nomor 601 juga ada di sakunya. Polisi langsung menyerbu apartemen itu. Dan tertangkaplah si Ikan Besar. Sebelum tertangkap, kabarnya Hambali sempat menelepon seseorang di Indonesia. Ia menggunakan telepon seluler yang nomornya tak bisa dilacak. Namun, penyelidik bisa melacak nomor orang yang dihubunginya itu. Pelacakan ini semakin memudahkan penangkapan tersebut.

Karena sering mondar-mandir, Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra menduga Hambali tengah mempersiapkan serangan saat pertemuan APEC Oktober mendatang. Sebab, Presiden Bush akan hadir. "Hasil investigasi menunjukkan adanya persekongkolan teroris untuk menyerang pertemuan APEC," ujar Thaksin. Namun, menurut sumber polisi kepada jurnalis The Nation, Hambali menyangkal saat interogasi. "Dia mengaku ke Thailand untuk menyepi," ujarnya.

Thailand memang telah menjadi surga para teroris. Menurut Ketua South-East Asian Press Alliance (SEAPA), Kavi Chongkittavorn, di negeri ini sangat mudah mendapat paspor palsu. Apalagi pemerintah mencoba menutup mata terhadap isu terorisme karena takut ditinggalkan para turisnya. Sementara itu, kebanyakan orang Buddha—mayoritas penduduk Thailand—juga tidak begitu peduli dengan orang beragama lain. "Terutama dengan nama-nama Arab, yang begitu susah mereka ingat," kata asisten editor The Nation, koran terkemuka di Bangkok, ini.

Ahli soal Jamaah Islamiyah ini yakin bahwa Thailand tak akan mengalami serangan terorisme seperti di Indonesia dan Filipina. Sebab, dalam Jamaah dikenal adanya pembagian wilayah. Malaysia dijadikan tempat mengumpulkan dana. Filipina adalah tempat mendapatkan senjata dan pelatihan militer. Sementara itu, Thailand menjadi tempat pertemuan, perencanaan, propaganda, dan sembunyi. Tapi ternyata si Ikan Besar justru tertangkap di liang persembunyiannya, di Apartemen Boonyarak, pada tengah malam ketika kawasan padat itu jauh dari suasana rutin yang hiruk-pikuk.

Hanibal W.Y. Wijayanta, Purwani D. Prabandari (Bangkok), Nezar Patria (Ayutthaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus