Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SORE itu, 1 Oktober 2023, Ponsianus Lewang baru saja pulang dari kebun ketika istrinya memberi tahu bahwa ada surat panggilan dari Kepolisian Resor Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Pikiran pria 41 tahun itu langsung berkecamuk, bertanya-tanya, karena tak tahu kesalahan atau kejahatan apa yang telah ia lakukan sehingga polisi memanggilnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertanyaan itu terjawab ketika Ponsianus membaca surat tersebut. Polisi mengundangnya untuk mengklarifikasi peristiwa penghadangan terhadap pejabat yang sedang bertugas. Seketika Ponsianus mengingat insiden yang terjadi lima hari sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Rabu, 27 September 2023, Ponsianus bersama sejumlah warga dari 14 kampung adat di wilayah Pegunungan Pocok Leok, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, menggelar aksi jaga kampung. Mereka menghalau petugas PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN (Persero) yang datang dikawal puluhan aparat keamanan untuk mengukur lahan rencana proyek pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu.
Aksi tersebut diwarnai perdebatan dan saling dorong antara warga dan aparat. “Apakah salah kalau kami mempertahankan tanah kami?” Ponsianus menceritakan kembali peristiwa tersebut ketika ditemui Tempo pada Ahad, 7 Juli 2024.
Ponsianus hanya satu dari tujuh warga Poco Leok yang dipanggil polisi. Enam orang lain adalah Maksimilianus Meter, Agustinus Egot, Heribertus Jebatu, Ponsianus Nogol, Arkadeus Trisno Anggur, dan Heni Harun.
Adapun Poco Leok mencakup 14 gendang atau kampung adat yang tersebar di tiga desa, yaitu Lungar, Mocok, dan Golo Muntas. Pada 2022, sebagian wilayah dengan topografi perbukitan ini ditetapkan sebagai lokasi proyek strategis nasional (PSN) pengembangan PLTP Ulumbu Unit 5-6. Sebelumnya, pembangkit existing PLTU Ulumbu Unit 1-4 dengan kapasitas terpasang 10 megawatt beroperasi sejak 2012 di Desa Wewo, Kecamatan Satar Mese, sekitar 3 kilometer arah barat daya Poco Leok.
Ponsianus mengatakan warga Poco Leok sejak awal menolak kehadiran pengembangan pembangkit panas bumi, betapapun strategisnya proyek ini di mata pemerintah. Pasalnya, PSN ini berada di dalam ruang hidup warga. Bagi orang Manggarai, Ponsianus menjelaskan, ruang hidup yang dimaksud mencakup lima komponen yang berhubungan, yakni natas (kampung), mbaru (rumah), uma/lingko (kebun), wae (sumber air), dan compang (altar atau mazbah sesajian untuk leluhur).
Dalam dokumen PLN yang diperoleh Tempo, hampir semua titik rencana pengeboran panas bumi di Poco Leok berada dekat permukiman. Lokasi rencana 60 titik pengeboran itu juga tersebar di tanah ulayat beberapa kampung adat.
Aksi pada 27 September 2023 itu merupakan unjuk rasa ke-22 yang dilakukan warga Poco Leok untuk menolak proyek geotermal. Penolakan warga tak hanya berujung pemanggilan oleh polisi, tapi juga diwarnai tindak kekerasan, seperti yang terjadi pada 21 Juni 2023 yang menyebabkan sedikitnya empat warga Poco Leok cedera.
Komisioner Komisi Nasional HAM, Anis Hidayah, di Jakarta, September 2022/ Tempo/M Taufan Rengganis
Kampianus Jebarus salah satu korbannya. Pria 55 tahun ini sempat dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Ruteng karena mengalami cedera serius pada leher dan dada akibat pukulan dan tendangan aparat keamanan dalam peristiwa Juni 2023 tersebut. “Sampai saat ini dada saya masih terasa sakit,” tutur Kampianus ketika ditemui Tempo.
Lebih dari 1.000 kilometer ke arah barat dari Poco Leok, warga Desa Batukuwung, Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Banten, mengalami intimidasi serupa atas sikap mereka menolak proyek eksplorasi geotermal di kampung mereka.
Penolakan itu sebenarnya berlangsung sejak 15 tahun lalu, ketika Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menetapkan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Kaldera Danau Banten. WKP ini mencakup kompleks Gunung Karang, Gunung Pulosari, dan Rawa Danau yang sebagian di antaranya berada di wilayah administrasi Padarincang. Namun gerakan penolakan warga makin menghadapi tantangan ketika pengembangan proyek panas bumi ini digadang-gadang sebagai PSN.
Walhasil, lima tahun lalu, setidaknya 60 warga penolak rencana pembangunan PLTP dilaporkan ke Kepolisian Resor Serang. Tiga orang di antaranya akhirnya dipanggil untuk dimintai klarifikasi, termasuk Aunillah, guru mengaji Pondok Pesantren Barkatul Ad'iya di Batukuwung yang beberapa tahun belakangan turut dalam gerakan warga Padarincang.
Dalam pemeriksaan yang digelar pada 9 Oktober 2020 itu, menurut Aunillah, polisi mengajukan seabrek pertanyaan yang bernada tuduhan bahwa warga melakukan pemukulan dan perusakan saat berdemonstrasi di lokasi bakal proyek PLTP. “Laporan itu jelas mengada-ada, karena kejadiannya tidak begitu,” ucap Aunillah kepada Tempo.
Hingga kini, Aunillah dan dua warga Padarincang itu bebas dan tidak ditetapkan sebagai tersangka. Namun mereka waswas karena penanganan kasus tersebut belum juga ditutup.
Sementara itu, ketika Tempo menengok bakal lahan pembangunan PLTP pada 12 Juli 2024, sebagian lahan sudah diratakan. Akses jalan, waduk penampung, dan pos pengamanan yang dibangun sembilan tahun lalu masih tersisa. Namun tak ada aktivitas di sana.
Doif, tokoh masyarakat Padarincang, menceritakan bahwa gerakan masyarakat sebenarnya terbangun sejak 2008 ketika mereka menentang rencana investasi pembangunan pabrik air minum dalam kemasan. Warga Padarincang, yang mayoritas petani, menilai air sebagai sumber kehidupan mereka.
“Kami punya data kekayaan alam Padarincang, 6.000 hektare persawahan saja itu Rp 30 miliar. Rata-rata per keluarga menggarap setengah hektare,” ujar Doif. “Ini lebih bernilai dibanding proyek yang akan mengganggu ekosistem. Di situ pertaruhannya.”
•••
DUA proyek PLTP di Poco Leok dan Padarincang hanya secuil gambaran bahwa proyek-proyek dengan label PSN kerap diikuti intimidasi dan tindak kekerasan terhadap masyarakat. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat, sepanjang 2017-2023, pelaksanaan 35 proyek strategis di lima provinsi telah memicu konflik yang berujung kriminalisasi terhadap warga setempat.
“Para korban adalah petani di Jawa Tengah, Jawa Barat, Padang, Makassar, dan Manado,” kata Direktur YLBHI Muhammad Isnur kepada Tempo, Senin, 1 Juli 2024.
Sedangkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), dalam laporan bertajuk “Atas Nama Proyek Strategis Nasional: Hidup Dirampas, Masyarakat Tertindas” yang dikeluarkan pada awal tahun ini, mencatat 79 dugaan pelanggaran hak asasi manusia selama 2019-2023. Mayoritas kasus terjadi dua tahun terakhir yang berupa kriminalisasi, intimidasi, dan penangkapan sewenang-wenang.
Menurut peneliti Kontras yang juga anggota tim penulis laporan tersebut, Hans Giovanny Yosua, berbagai peristiwa pelanggaran hak asasi manusia dalam pelaksanaan proyek strategis nasional mewakili stagnasi dan regresi demokrasi selama sepuluh tahun rezim Jokowi berkuasa. Begitu juga minimnya partisipasi publik, mundurnya reformasi sektor keamanan, dan pengekangan kebebasan sipil warga negara.
“Terdapat pola pengerahan pasukan secara masif, penggunaan kekuatan dan senjata secara berlebihan, kriminalisasi dan penangkapan terhadap warga yang kritis, serta minimnya partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan terkait dengan PSN,” ujar Hans pada Senin, 23 Juli 2024.
Aksi protes warga Poco Leok terhadap agenda penanaman pilar di wilayah adat Lingko Meter, 21 Juni 2023./Dokumentasi Warga Poco Leok
Komisioner Komisi Nasional HAM, Anis Hidayah, mengungkapkan bahwa lembaganya menerima laporan pelanggaran HAM berlatar belakang PSN sebanyak 535 kasus pada periode 2022-2024. Jumlah kasus tersebut, dia mengimbuhkan, bertambah banyak jika digabungkan dengan laporan pada masa awal pemerintahan Jokowi.
Anis mengatakan laporan terbaru yang tengah ditangani lembaganya adalah kasus kekerasan dalam PSN pembangunan kawasan Rempang Eco-City di Batam, Kepulauan Riau; dan Wadas di Purworejo, Jawa Tengah. Dia memaparkan, sebagai langkah mitigasi, Komnas HAM sudah menyusun kajian dan panduan pembangunan berbasis HAM. Di dalamnya termuat desain dan perencanaan pembangunan dengan ruang partisipasi masyarakat.
“Tapi, sayangnya, panduan yang menjadi kajian kami itu tidak banyak digunakan pemerintah sehingga PSN kemudian banyak melahirkan konflik dan kekerasan,” tutur Anis.
Kajian itu bukan tidak digunakan, menurut Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijono Moegiarso, setiap proyek infrastruktur memang akan mengalami eksternalitas negatif yang timbul dalam proses penyiapan dan pelaksanaannya. Dia mengatakan pemerintah telah membuatkan sederet regulasi untuk mengawal pelaksanaan PSN agar tak melanggar hukum. Termasuk regulasi untuk memastikan masyarakat yang terkena dampak tidak terpinggirkan dan terpenuhi haknya.
“Penolakan warga tidak hanya dalam kasus pembangunan PSN, tapi terjadi secara umum. Ini menjadi salah satu isu atau tantangan utama dalam penyelesaian proyek,” demikian petikan jawaban tertulisnya kepada Tempo.
Tantangan itu amat nyata di Rempang ketika pemerintah sangat kentara berpihak kepada kepentingan investasi dalam konflik PSN Rempang Eco-City. Aparat gabungan bersenjata sampai dikerahkan untuk menghadapi demonstrasi warga yang menentangnya pada 7 dan 11 September 2023.
Bentrokan yang terjadi kala itu menyebabkan 20 warga luka-luka dan 34 orang menjalani proses pidana. Banyak pula warga yang mengalami trauma. Namun masyarakat tak surut menolak relokasi gara-gara proyek strategis bagi pemerintahan Jokowi tersebut. “Kami menolak relokasi, itu adalah harga mati,” ucap Nia, salah seorang warga Pulau Rempang yang mengikuti orasi pada Ahad, 21 Juli 2024.
Wadi, warga Rempang, mengatakan setiap kampung warga Melayu di Rempang saat ini dijaga ketat oleh penghuninya. Tujuan mereka adalah memastikan tidak ada petugas Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam ataupun orang tak dikenal masuk ke kampung untuk merayu warga dan mengukur lahan.
Adapun Aminuddin, warga lain, mengaku belum bisa melupakan intimidasi yang dialami saat menjalani penahanan selepas aksi bela Rempang jilid kedua pada 11 September 2023. Dia dijerat pidana bersama 33 warga lain dan sekarang termasuk yang telah berstatus bebas tahanan. “Saya adalah tawanan pemerintah yang ingin mendapatkan tanah Pulau Rempang dari masyarakat Melayu untuk PSN yang dinamai Rempang Eco-City itu,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo