Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PANTAI Parangkusumo, Parangtritis, Yogyakarta, malam Satu Suro. Pemimpin sanggar spiritual Songgo Buwono, Lia Hermin Putri, 39 tahun, khusyuk bersemadi. ”Bunda Lia”, demikian ia dipanggil, sedang menjalani ritual khusus untuk Soeharto yang tergolek gering ratusan kilometer nun di sana, di Rumah Sakit Pertamina, Jakarta.
Malam Satu Suro—alias 1 Muharam—yang jatuh pada Rabu malam hingga Kamis dini hari pekan lalu dianggap istimewa oleh Bunda Lia bagi dikabulkannya doa. Dalam hening, tiba-tiba tubuhnya menggeletar. Bunda berpeluh, padahal udara dingin bagaikan sembilu. Menurut Bunda Lia, saat itulah pulung keprabon Soeharto cabut.
Pulung, dalam kepercayaan Jawa, adalah cahaya langit yang jatuh ke pemimpin sebagai wahyu. Pulung Soeharto tertanam di Cendana. Selama pulung tidak dicabut, kata Bunda Lia, Soeharto tetap menderita dalam sakit panjang.
Setelah pulung jebol, Bunda Lia punya satu tugas lagi, yakni (nah!) mencopot ageman atau ajimat Soeharto bernama Bathara Karang atau Selo Karang. Ajimat ini, kata Bunda Lia, ada di dalam tubuh Soeharto. Wujudnya semacam benang mengular dari ujung atas hingga paling bawah tubuh, bersimpul pada ubun-ubun, pusar, dan jempol kaki. ”Aji Bathara Karang tidak bisa lepas tanpa bantuan orang lain,” kata Bunda Lia, Kamis pekan lalu.
Berbeda dengan mencabut pulung, yang bisa dilakukan lewat meditasi jarak jauh, melepas ageman perlu kontak fisik. Bunda Lia melakukannya pekan ini. Menurut Bunda Lia, ada semacam kunci untuk bisa melepas ageman Soeharto. Jika lupa kunci, dipastikan ajian tak akan lepas.
Untuk mencopot ageman Soeharto, kata Bunda Lia, perlu orang tertentu. Setidaknya yang sealiran guru batin. Sesungguhnya, Soeharto punya kunci pembuka ageman. Melalui suara batin, Bunda Lia juga mendengar Soeharto ingin membuang ageman miliknya. Tapi, dalam keadaan uzur terbujur, ia tak berdaya. ”Pak Harto sengsara,” kata sang Bunda.
Dalam semadi malam 1 Suro itu, Bunda Lia juga mendapat isyarat. Jika dalam sepuluh hari—terhitung sejak 1 Suro hingga Sabtu pekan ini—kesehatan Soeharto pulih, ia akan bertahan lebih lama. Sebaliknya, jika dalam rentang sepuluh hari itu kesehatan Soeharto tetap buruk, isyarat tadi mengatakan dalam bulan Suro ini pula ia berpulang.
Bukan cuma itu, pulung kepemimpinan yang selama ini bersarang di Cendana telah kembali pada penguasaan alam. Pulung tersebut selanjutnya akan diberikan kepada calon pemimpin bangsa yang memiliki sifat tutur (berkata bijak), uwur (dermawan), dan sembur (pendoa).
Bunda Lia mengatakan ia sudi melakukan dua ritual itu karena tak tega pada kondisi Soeharto saat ini. Apalagi ilmu batin Soeharto dan Bunda Lia berhulu pada guru yang sama, yakni Romo Marto Pangarso. Bunda Lia adalah cicit Romo Marto. Ia punya sanggar kebatinan di Dusun Manding, Jalan Parangtritis, Bantul, Yogyakarta.
Sedangkan Soeharto adalah murid Romo Marto. Adalah (almarhum) Soedjono Hoemardani, mertua Gubernur DKI Fauzi Bowo, yang mempertemukan Soeharto dengan Romo Marto di padepokan dekat Sendang Titis di Dusun Semanggi, Kelurahan Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.
Romo Marto membangun padepokan itu berdasarkan ”bisikan langit” yang ia terima pada 1940-an. Di padepokan itu, pada 1957, Romo Marto menahbiskan Soeharto dan Soedjono Hoemardani menjalin saudara batin. Ihwal ini diungkapkan ahli budaya Jawa dari Universitas Indonesia, Dr Budyapradipta. ”Pak Djono (Soedjono) pernah bercerita, Romo Marto membaptis Pak Harto menjadi Rama, Pak Djono menjadi Lesmana, Bu Tien menjadi Sinta, dan Bu Djono menjadi Kunti,” kata Budyapradipta.
Budyapradipta pernah menjadi sekretaris pribadi Soedjono Hoemardani. Hingga wafat pada 1986, Soedjono menjadi anggota staf pribadi Soeharto untuk urusan dunia kebatinan. Sedangkan Romo Marto meninggal pada November 1994, ketika Gunung Merapi menyemburkan wedhus gembel (awan panas) yang menewaskan sejumlah orang di Dusun Turgo, Sleman.
Sumber Tempo mengatakan Bunda Lia mendapat tugas khusus mencabut pulung dan ageman Soeharto dari penghayat kebatinan Jawa yang sering berkumpul di rumah Soedjono Hoemardani di Menteng, Jakarta, Sabtu dua pekan lalu.
Dalam perkara mistik ini, tidak ada permintaan langsung dari anak-anak Soeharto. Kelompok penghayat ini tidak pula berinisiatif bicara kebatinan kepada anak-anak Soeharto. ”Takut dibilang jualan mistik,” kata sumber itu. ”Apalagi sekarang banyak proposal klenik masuk Cendana.”
Kosmologi Jawa percaya kepergian sosok besar ke alam baka selalu ditandai tengara alam. Bunda Lia melihat, isyarat alam itu sudah ada, yakni lereng Gunung Lawu di kawasan Tawangmangu longsor dan banjir akibat meluapnya Bengawan Solo.
Dua pekan lalu, ketika Soeharto kritis, sebatang pohon berusia ratusan tahun di tepi Sendang Beji, dekat Parangtritis, Yogyakarta, tumbang seakarnya. Buat Bunda Lia, ini juga isyarat. Sebab, Soeharto percaya kebatinan Jawa yang bersumber dari penguasa Laut Selatan.
Perspektif spiritual di seputar sakitnya Soeharto juga datang dari penghayat kebatinan Jawa di Solo, Jawa Tengah. Menurut dia, sejak Kamis hingga Sabtu pekan lalu adalah masa kritis Soeharto jika ditinjau dari perhitungan kalender Jawa.
Soeharto lahir pada 8 Juni 1921. Dalam kalender Jawa, hari kelahiran Soeharto adalah Kamis Pahing. Kamis 1 Suro pekan lalu juga jatuh pada pasaran Pahing. Itu persis sebelas windu, atau 88 tahun, umur Soeharto. Orang Jawa menyebut, selama tiga hari, terhitung sejak hari pas tiba usia sebelas windu, adalah hari puput kringkel (tanggal lalu memeluk tanah).
Kebatinan Jawa percaya, jika ada orang yang sakit keras tapi mampu melewati hari puput kringkel, ia akan bertahan hidup untuk beberapa bulan atau tahun ke depan. Jika orang tadi meninggal pas hari Sabtu, dalam kepercayaan Jawa, itu akan disertai anggota keluarga, sanak kerabat, atau teman dekatnya.
Penghayat kepercayaan Jawa, Permadi—anggota DPR dari PDI Perjuangan—punya versi sendiri. Soeharto, kata dia, menderita luka batin amat pedih karena berdosa kepada Soekarno. Ini mirip bisikan batin yang diterima penghayat kejawen, Marwoto. Ia anak Marsoedi, Komandan Sub Wehrkreise (SWK) 101 Serangan Umum 1 Maret 1949, karib Soeharto.
Ia mendapat bisikan batin ketika berziarah ke makam Bung Karno, November lalu. ”Soeharto bisa berpulang tenang jika meminta maaf kepada Pak Karno,” kata Marwoto.
Ada metode lain mencabut pusaka Soeharto agar lempeng jalan menuju Tuhan. Pemimpin Pondok Pesantren Giri, Pleret, Bantul, Kiai Nasruddin Ansory, mengatakan, untuk melepas jimat itu, cukup mengundang 40 orang berhati bersih. Mereka bersuci lalu melafalkan Quran surat Ar-Ra’du. ”Surat ini untuk menyatukan kehendak Allah dengan takdir,” katanya. Cuma, sang Kiai menambahkan, anak-anak Soeharto belum ikhlas melepas ayah mereka.
Sunudyantoro, Lucia Idayanie (Yogyakarta), Imron Rosyid (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo