Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Paduan Suara Pemberi Maaf

Menyusul memburuknya kesehatan Soeharto, petinggi negara dan tokoh politik menyerukan pengampunan. Ada apa?

14 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUARA zikir lamat-lamat terdengar dari rumah dinas Wakil Presiden di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu. Ratusan santri dari Majelis Dakwah Islam, organ binaan Partai Golkar, khusyuk berzikir bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Kalla yang mengenakan baju koko putih dengan celana cokelat dan berkopiah putih duduk di jajaran depan bersama sejumlah tokoh Partai Golkar lain. Ada Sekretaris Jenderal Soemarsono, Ketua Fraksi Golkar DPR Priyo Budi Santoso, dan salah satu ketua Partai Beringin Burhanuddin Napitupulu. Selama dua jam mereka takzim mengikuti pengajian yang dipimpin Ustad Muamar Z.A. itu.

Pengajian menyambut bulan Muharram itu digelar untuk mendoakan mantan Presiden Soeharto yang tengah kritis di Rumah Sakit Pusat Pertamina. ”Berdoa untuk pemimpin itu kan wajib,” kata Jusuf Kalla, yang kini Ketua Partai Golkar, seusai acara.

Selain berdoa memintakan kesembuhan mantan Ketua Dewan Pembina Golkar Soeharto, partai itu juga punya harapan lain: penghentian perkara sang jenderal besar. ”Orang sakit tidak bisa diperiksa. Kalau dipaksakan, justru melanggar hukum,” katanya. Menurut Kalla, Golkar menginginkan Soeharto diampuni dalam kasus pidana: manipulasi duit negara di tujuh yayasan yang dipimpin Soeharto. Kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 1,4 triliun dan US$ 416 juta.

Kasus lain yang tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan adalah perkara perdata tujuh yayasan. Pemerintah memberikan kuasa kepada kejaksaan menggugat Soeharto untuk mengembalikan kerugian negara di yayasan-yayasan itu. Menurut Kalla, persidangan itu tetap bisa dilanjutkan. ”Kalau soal perdatanya, terserah kejaksaan saja.”

Tuntutan Partai Golkar tersebut bukan tak punya sejarah. Dalam Rapat Pimpinan Nasional partai itu, November 2005, Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla memutuskan memberikan penghargaan tertinggi Anugerah Bhakti Pratama kepada 45 orang tokoh Golkar, termasuk Soeharto.

Menurut Anton Lesiangi, salah seorang pimpinan Partai Golkar, Jusuf Kalla sendiri yang meminta agar Soeharto diberi penghargaan. ”Beliau pernah menjadi Ketua Dewan Pembina. Jasanya besar terhadap Partai,” kata Jusuf Kalla. ”Jasa ini harus dihargai. Terserah orang mau ngomong apa,” kata Kalla di depan pengurus Partai Golkar menjelang rapat.

Sejumlah fungsionaris Partai Golkar juga menginginkan kejelasan status hukum Soeharto yang ”terpenjara” oleh Ketetapan MPR No. 11 Tahun 1998 tentang Pemerintahan yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Di situ disebutkan MPR meminta korupsi kolusi dan nepotisme Soeharto berikut kroninya diusut.

Dalam rapat pimpinan Golkar itu diputuskan Ketetapan MPR tersebut tidak berlaku lagi. ”Karena sudah ditindaklanjuti dengan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi,” kata Ketua Fraksi Partai Golkar Andi Mattalata, kini Menteri Kehakiman, ketika membacakan keputusan rapat. Rapat pimpinan itu akhirnya malah menghasilkan satu sikap baru: meminta pemerintah menghapus perkara korupsi Soeharto.

Saat itu Soeharto memang sudah dinyatakan tidak bisa diadili karena kerusakan otak. ”Kita tak mau sekadar keputusan hukum. Tapi pernyataan tegas pemerintah bahwa Pak Harto dibebaskan dari tuntutan hukum,” kata Anton pekan lalu. Soal ini penting agar kasus seperti mantan presiden Soekarno tak terulang. ”Ketika Soekarno meninggal, ia dalam status tahanan kota,” ujarnya.

Tak sampai setahun kemudian, perkara Soeharto lalu ”disetop”. Saat itu, Mei 2006, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menerbitkan surat keputusan penghentian penuntutan perkara (SKP3). Dasarnya adalah keputusan Mahkamah Agung pada Februari 2001 bahwa Soeharto tidak bisa disidangkan lantaran sakit permanen. Saat itulah diputuskan untuk menggugat Soeharto secara perdata.

Sehari setelah terbitnya SKP3, Soeharto kembali dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina karena radang paru-paru. Setelah menjenguk Soeharto, saat itu Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra menyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berencana memberikan rehabilitasi kepada Soeharto. ”Insya Allah, mungkin dalam waktu dekat ini,” kata bekas penulis pidato Soeharto itu.

Yusril mengaku sudah menyerahkan rancangan keputusan presiden tentang rehabilitasi terhadap Soekarno dan Soeharto kepada Presiden Yudhoyono. Selain itu, diserahkan juga semua dokumen yang diperlukan, termasuk catatan medis, rekaman pengunduran diri Soeharto, dan keputusan MA. Sebelumnya, guru besar hukum tata negara ini diminta melakukan kajian dan presentasi menyangkut penyelesaian status hukum Soeharto.

Menurut Yusril, amanat Ketetapan MPR Nomor 11/1998 sudah dilaksanakan. ”Tapi persidangan tak bisa berjalan karena Soeharto sakit permanen,” katanya. Agar statusnya tak terus mengambang, pemerintah harus mengambil keputusan. ”Masalah status mantan presiden Soeharto ini menyangkut nasib bangsa,” kata Yusril. Karena butuh pertimbangan, Presiden Yudhoyono kemudian mengundang pimpinan DPR, MPR, DPD, dan Mahkamah Agung ke Istana Negara untuk membahas status pengampunan mantan presiden Soeharto.

Namun tindakan Presiden ini justru menuai kecaman. Amien Rais, mantan Ketua Partai Amanat Nasional, menyatakan pengampunan Soeharto merugikan rakyat. ”Kelak, siapa pun presidennya, kalau melakukan penyimpangan, tidak akan diproses. Sekarang sudah ada contohnya,” katanya. Ketua MPR Hidayat Nur Wahid juga menolak mencabut Ketetapan MPR Nomor 11/ 1998. ”MPR saat ini tidak berwenang lagi. Diperlukan undang-undang khusus untuk menerobosnya,” katanya saat itu.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seperti biasa, memilih menghindari kontroversi. ”Saya memilih mengendapkan masalah ini sampai situasinya tepat. Kita tidak perlu melakukan secara grusah- grusuh. Mari kita kembali berpikir jernih kelak bagaimana memperlakukan kedua mantan presiden kita itu,” katanya dalam pernyataan pers tanpa tanya-jawab di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, pertengahan Mei 2006. Menurut Yudhoyono, dirinya merespons aspirasi yang berkembang dari berbagai kalangan untuk tidak melanjutkan kasus hukum Soeharto yang tengah sakit.

Kini, ketika Soeharto kritis, ide memberikan pengampunan kembali muncul. Tim pengacara Soeharto malah resmi meminta Presiden Yudhoyono mencabut kuasa yang diberikan ke kejaksaan dalam kasus gugatan tujuh yayasan. ”Demi kemanusiaan, supaya beliau meninggal dengan tenang,” kata O.C. Kaligis, koordinator tim kuasa hukum Soeharto, kepada Wenseslaus Manggut dari Tempo.

Presiden Yudhoyono bahkan langsung memanggil sejumlah menteri ke Istana Negara, setelah membesuk Soeharto dua pekan lalu. Namun, menurut Jaksa Agung Hendarman Supandji, sejatinya kasus pidana Soeharto sudah berhenti. ”Pak Harto itu clean. Tidak bersalah,” katanya pekan lalu. Hak prerogatif Presiden untuk memberikan pengampunan berupa grasi, amnesti, rehabilitasi, atau abolisi hanya bisa dilakukan jika ada putusan pidana. ”Tidak pernah ada keputusan apa pun dari pengadilan yang menghukum Pak Harto. Jadi beliau bebas,” kata Hendarman.

Arif A. Kuswardono, Anton Aprianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus