Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNTUK urusan kritik-mengkritik kinerja kabinet, Presiden Joko Widodo sudah terbiasa menyentil menteri---menterinya secara terbuka. Salah satunya saat rapat kabinet di Istana Bogor, Senin, 8 Juli lalu. Kali ini giliran Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan serta Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno yang ketiban apes. Hari itu, Jokowi mengingatkan keduanya mengenai tingginya impor di sektor minyak dan gas.
Dua sektor ini menjadi salah satu penyebab melebarnya neraca defisit perdagangan Januari-Mei 2019. Nilainya US$ 2,14 miliar. Kebetulan kementerian yang dipimpin Jonan adalah regulator yang mengurus energi. Adapun kementerian yang dipegang Rini membawahkan PT Pertamina (Persero)—pengimpor minyak terbesar. “Presiden tidak menyerang secara personal, kebetulan saja keduanya yang memegang dua kementerian tersebut,” kata Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo di Jakarta, Rabu, 17 Juli lalu.
Di tengah isu kocok ulang kabinet untuk periode kedua pemerintahan Jokowi, kritik itu justru menjadi pintu masuk kembali bergulirnya kabar penggantian Menteri Rini, yang sebelumnya menjadi sorotan. Rini pernah masuk bursa kocok ulang kabinet jilid pertama pada 12 Agustus 2015. Namanya juga mencuat sebagai menteri yang akan diganti dalam perombakan formasi kabinet kedua, 27 Juli 2016.
Kali ini posisi Rini kian rawan setelah sejumlah badan usaha milik negara tersandung masalah, seperti dalam kasus akrobat laporan keuangan maskapai penerbangan Garuda Indonesia dan sejumlah perkara suap yang menerpa beberapa perusahaan pelat merah. Peneliti ekonomi-politik Faisal Basri melihat, pada periode kedua Jokowi, Rini salah satu nama yang layak diganti.
Dengan aset semua perusahaan pelat merah pada akhir 2018 mencapai Rp 8.207 triliun, sepak terjang Kementerian BUMN memang tak pernah lepas dari sorotan. Posisi Kementerian makin krusial karena Rini sedang menyusun perubahan lembaga, dari kementerian menjadi superholding—layaknya Khazanah Nasional di Malaysia atau Temasek Holdings di Singapura. Bila rencana pembentukan superholding terwujud, posisi Kementerian BUMN akan hilang. Jabatan menteri pun lenyap, diganti dengan direktur utama yang bertanggungjawab langsung kepada presiden.
Dalam setiap rencana kocok ulang kabinet itulah selalu muncul nama Wahyu Sakti Trenggono, yang digadang-gadang menjadi pengganti Rini. Tak terkecuali dalam kocok ulang kabinet untuk periode kedua Jokowi. Trenggono adalah raja menara telekomunikasi yang besar dengan bendera PT Tower Bersama Infrastructure dan PT Teknologi Riset Global Investama. Pada pemilihan presiden 2019, Trenggono menjadi Bendahara Umum Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Dua petinggi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengatakan nama Trenggono selalu masuk bursa berkat kedekatannya dengan Hasto Kristiyanto, sekretaris jenderal partai itu. “Mas Hasto mengajukan Trenggono sejak 2014,” kata mereka.
Trenggono dan Hasto dekat sejak 2014, ketika sama-sama tergabung di Rumah Transisi Jokowi-Jusuf Kalla, setelah pasangan itu memenangi Pemilihan Umum 2014. Sebelumnya, Mas Treng—sapaan Trenggono—menjabat bendahara Partai Amanat Nasional pada 2009-2014. Trenggono juga dikenal dekat dan menjadi penyokong lama Jokowi sejak bekas Gubernur DKI Jakarta itu menjabat Wali Kota Surakarta.
Dua petinggi partai tadi mengungkapkan, Hasto kali ini mencoba lagi menyorongkan nama Trenggono ke Teuku Umar, kediaman Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, untuk dijadikan menteri dari PDIP. “Tapi Ibu belum sreg,” ujar mereka.
Kantor Kementerian Badan Usaha Milik Negara di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta. http://bumn.go.id
Hasto menolak berkomentar tentang orang per orang yang akan menjadi calon menteri. “Saya tidak tahu namanya masuk atau tidak,” kata Hasto di Menteng, Jakarta, Jumat, 19 Juli lalu. “Semua itu urusan Presiden dan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.” PDIP sejauh ini baru sebatas membicarakan desain pengelolaan Kementerian BUMN pada periode kedua Jokowi.
Setelah namanya bolak-balik masuk bursa kandidat Menteri BUMN, Trenggono memilih menarik diri. Ia mengatakan Kementerian BUMN pada periode kedua Jokowi lebih pas dipimpin direktur utama BUMN sekarang. Setelah menyelesaikan tugasnya di TKN, Trenggono kembali ke habitatnya: dunia bisnis. Ia memastikan kedekatannya dengan Hasto tidak berkaitan dengan urusan calon Menteri BUMN. “Kalau itu soal lain, ha-ha-ha…,” tuturnya saat dihubungi, Jumat, 19 Juli lalu.
Selain Trenggono, nama yang kerap muncul sebagai kandidat Menteri BUMN pada periode kedua Jokowi adalah Eko Putro Sandjojo. Bendahara Umum Partai Kebangkitan Bangsa itu masuk Kabinet Kerja sejak 27 Juli 2016, menggantikan koleganya dari PKB, Marwan Ja’far.
Meski berbaju partai, ia lama bekerja sebagai profesional. Karier profesional Eko merentang di industri unggas lewat bendera PT Sierad Produce Tbk sejak 1997. Eko bergabung ketika perusahaan itu masih bernama PT Anwar Sierad Tbk hingga menjadi direktur utama di sana. Dia juga sempat menjadi bos PT Humpuss.
Menurut seorang pejabat, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengusulkan nama Eko langsung kepada Presiden. Eko sendiri mengaku hanya mendengar namanya beredar. Tapi dia tidak tahu persis pengusulan tersebut. “Saya bahkan tidak tahu apakah Pak Luhut bagian dari tim yang ditunjuk Presiden untuk mengusulkan menteri,” ucap Eko di Jakarta, Rabu, 17 Juli lalu.
Eko tidak yakin Presiden akan memberikan kursi Menteri BUMN kepada orang yang berasal dari partai. Kementerian BUMN, kata Eko, harus diberikan kepada orang non-partai agar tidak ada beban. “Kalau dari orang partai, ada beban, seperti dimusuhi partai lain,” ujarnya. Apalagi PKB bukan partai pemenang seperti PDI Perjuangan.
Luhut membantah kabar bahwa ia mengusulkan nama Eko sebagai calon Menteri BUMN menggantikan Rini Soemarno. “Saya tidak tahu-menahu soal penyusunan kabinet,” kata Luhut di kantornya di Jakarta, Rabu, 17 Juli lalu.
Di luar Trenggono dan Eko, beredar nama Budi Gunadi Sadikin, Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium, badan usaha milik negara induk pertambangan. Mantan Direktur Utama Bank Mandiri itu tidak berasal dari partai politik. Ia menghabiskan lebih dari separuh kariernya di industri perbankan.
Status Budi sebagai bukan orang partai itulah yang membuat dia mulai banyak mendapat dukungan anggota koalisi partai penyokong pemerintah. Salah satunya Partai Persatuan Pembangunan. “Saya tidak bisa mengatakan koalisi akan menerima dia atau tidak. Tapi saya, yang kebetulan anggota koalisi, akan menerimanya,” tutur Suharso Monoarfa, Ketua Umum PPP, di Jakarta, Kamis, 18 Juli lalu.
Masalahnya, PDIP sudah kadung menganggap Budi sebagai orang kepercayaan Rini. Bukan rahasia lagi bahwa hubungan PDIP dengan Rini kian buruk. Lewat parlemen, salah satunya Panitia Khusus PT Pelindo II (Persero), partai berlambang banteng itu sejak 2015 berusaha mendongkel Rini dari posisi menteri.
Budi tak mau berkomentar tentang bursa kandidat Menteri BUMN. “Jabatan menteri merupakan hak penuh Presiden.”
Seperti Budi, Suharso menganggap penyusunan kabinet—termasuk jatah kursi buat partai koalisi—ibarat pergantian lakon dalam pentas wayang. Siapa pun boleh mengusulkan nama menteri, tapi yang memutuskan tetap Presiden sendiri. Apalagi untuk posisi Menteri BUMN, yang mengelola lebih dari 150 perusahaan negara.
KHAIRUL ANAM, RETNO SULISTIYOWATI, PUTRI ADITYOWATI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo