Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerita itu ditulis seseorang yang memakai nama “Kipandjikusmin”. Sampai hari ini, lebih dari setengah abad kemudian, tak jelas siapa nama sebenarnya. Dari H.B. Jassin, yang menerbitkan cerita itu dalam majalah yang dipimpinnya, Sastra, kita hanya tahu bahwa “Kipandjikusmin” orang muda yang pemalu, pendiam, tak banyak bergaul, dan suka merenung.
Dan tampaknya ia belum bisa menulis dengan baik. “Langit Makin Mendung” adalah sebuah percobaan membuat satire yang kikuk.
Ceritanya, dengan agresif dan ketawa masam, menampilkan buruknya keadaan Indonesia di akhir pemerintahan Bung Karno. Presiden yang disebut “Pemimpin Besar Revolusi” itu ditampilkan konyol, sembarangan, justru dengan kekuasaannya yang besar. Di istananya, ia dan para penjilatnya bernyanyi dan menari-nari; di luar Istana, terpampang hal-hal yang sengsara dan menjijikkan. Di wilayah Pasar Senen, misalnya, “Sundal tua mengerang... kena raja singa.” “Kemaluannya penuh borok, lalat-lalat pesta mengisap nanah.” Udara berbau kencing berjengkol dan orang berzina....
Apa yang terjadi? Jawab cerita ini: karena ”pengaruh adanya Nasakom”.
Dari semua itu dengan mudah bisa ditebak: “Langit Makin Mendung” adalah sepotong fiksi anti-Sukarno. Tapi lebih dari itu, anti-komunis. Satire ini menganggap ide “Nasakom”—persatuan nasionalisme, agama, dan komunisme—sebuah agama baru dan Sukarno nabinya, “nabi palsu”.
Pernyataan permusuhan ini sebenarnya lumrah dalam satire. Dalam kesusastraan Inggris satire jenis “Juvenalian” bahkan dibangun dengan gambaran yang pahit dan tajam menusuk pihak lawan. Humor tak selalu harus ada, meskipun satire terbaik sanggup membuat kita ketawa dan setelah itu berpikir, menelaah hal-hal yang perlu dikecam. Seperti Gulliver’s Travels Jonathan Swift.
“Langit Makin Mendung” jauh dari kualitas itu. Cerita pendek ini tak mengundang untuk dibaca ulang; membosankan: sebuah propaganda politik yang telanjang, yang mengambil bahan tanpa diolah dari pamflet-pamflet anti-Sukarno dan anti-komunis model “Orde Baru” di tahun 1960-an. Jenakanya terbatas. Tak ada ironi. Dalam “Langit Makin Mendung”, pernyataan bisa begitu yakin, stabil, tak main-main, bahkan bombastis:
“Sabda Allah tak akan kalah. Betapapun Islam, ia ada dan tetap ada, walau bumi hancur sekalipun!”
Suara Nabi mengguntur dahsyat, menggema di bumi, di lembah-lembah, di puncak-puncak gunung, di kebun-kebun karet, dan berpusar-pusar di laut lepas.
Gaungnya terdengar sampai ke surga, disambut takzim ucapan serentak: “Amien, amien, amien.” Neraka guncang, iblis-iblis gemetar menutup telinga.
Aneh bahwa cerita yang divonis hakim sebagai “menghina agama” ini sesungguhnya memihak Islam dalam menghadapi komunisme. Perspektif politiknya moralistis: komunisme dilawan karena tak bertuhan dan sebab itu dekat dengan tak adanya akhlak.
Dalam konteks yang berbeda, sikap yang tersirat dalam “Langit Makin Mendung” akan cepat bertemu dengan pandangan ala Ikhwanul Muslimin. Tapi di Indonesia, tuduhan “menghina agama” dengan gampang diteriakkan dan orang dengan mudah dipojokkan, bahkan dihukum: di antara kita ada sejenis cemas yang laten—mungkin paranoia—yang selalu risau tentang posisi agama, seakan-akan di tiap saat ada yang mengancamnya. Suara marah kepada cerita “Kipandjikusmin” pada dasarnya ditujukan kepada sisi yang berbeda dari isinya.
Inti cerita “Langit Makin Mendung” adalah perjalanan imajiner Nabi Muhammad dari surga, untuk melihat apa yang salah dalam kehidupan di Indonesia. Ia mengambil prakarsa menulis petisi kepada Tuhan untuk mendapat izin kembali ke bumi. Idenya didukung para “pensiunan nabi” yang bosan di “suargaloka”.
Tuhan tak menyangka akan ada permintaan seperti itu.
“Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir…,” demikian tertulis di sana.
Deskripsi semacam itulah yang dianggap menghina Tuhan, Nabi, dan Islam—juga ketika Tuhan disebut mengenakan kacamata emas dan Nabi menyamar jadi burung untuk leluasa meninjau bumi. Dan H.B. Jassin pun dihukum.
Ini hukuman yang sebenarnya dijatuhkan buat bahasa dan imajinasi. Si hakim mengabaikan kenyataan bahwa orang selalu menggunakan bahasa yang me-manusia-kan Tuhan: “Allah bersabda...”, “Allah murka…”, “tangan Tuhan”... tanpa kegaduhan. Apalagi, juga dalam “Langit Makin Mendung”, jika disebut dengan hormat.
Bahasa, sebuah kancah yang tak stabil yang membentuk pengetahuan manusia, tak pernah pasti dan memadai untuk mendeskripsikan pengalaman, apalagi tentang Tuhan. Bahasa tak dihidupkan dengan kepastian, tapi dengan imajinasi.
Dan hanya dengan takabur orang bisa menghukum imajinasi.
GOENAWAN MOHAMAD
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo